عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ  قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِيْنَ، فَقَالَ تَعَالَى : ((يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا ))  وَقَالَ تَعَالَى : ((يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ))  ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ: أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ، يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ ؟
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam besabda: “Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan kepada kaum mukminin seperti yang Dia perintahkan kepada para rasul. Maka, Allah Ta’ala berfirman, ’Wahai para rasul! Makanlah dari (makanan) yang baik-baik, dan kerjakanlah kebajikan’ –Qs al-Mu’minûn/23 ayat 51- dan Allah Ta’ala berfirman,’Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rizki yang baik yang Kami berikan kepada kamu’ –Qs al-Baqarah/2 ayat 172- kemudian Rasulullah n menyebutkan orang yang lama bepergian; rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan kedua tangannya ke langit, ‘Wahai Rabb-ku, wahai Rabb-ku,’ sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi kecukupan dengan yang haram, bagaimana doanya akan dikabulkan?”
TAKHRÎJ HADITS

Hadits ini shahîh, diriwayatkan oleh:

  1. Muslim, no. 1015.
  2. Ahmad, II/328.
  3. At-Tirmidzi, no. 2989.
  4. Ad-Dârimi, II/300.
  5. Al-Baihaqi, III/346.
  6. Al-Bukhâri dalam kitab Raf’ul Yadaini fish-Shalâh, no. 158.
SYARAH HADITS

Pertama. Mensucikan Allah Ta’ala dari Segala Kekurangan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mensucikan diri-Nya dari segala kekurangan dan aib. Allah Ta’âla telah mensucikan dirinya dari memiliki isteri dan anak, Allah Ta’âla berfirman:

وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَٰنُ وَلَدًا ﴿٨٨﴾ لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا ﴿٨٩﴾ تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا ﴿٩٠﴾أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَٰنِ وَلَدًا﴿٩١﴾وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَٰنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا
Dan mereka berkata, “(Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai anak”. Sungguh, kamu telah membawa sesuatu yang sangat mungkar, hampir saja langit pecah, bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh (karena ucapan itu), karena mereka menganggap (Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai anak. Dan tidak mungkin bagi (Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai anak. [Maryam/19:88-92].
Allah Ta’âla juga mensucikan diri-Nya sendiri dari sifat zhalim. Allah Ta’âla berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ
 Sungguh, Allah tidak menzhalimi seseorang walaupun sebesar dzarrah… . [an-Nisâ`/4:40].
Dan selainnya dari ayat-ayat Al-Qur`ân yang Allah Ta’ala mensucikan diri-Nya dengannya dari segala hal yang tidak sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya.
Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,  إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ  (sesungguhnya Allah itu baik), adalah bentuk pensucian beliau terhadap Allah Ta’ala dari segala kekurangan dan aib. Sebab, makna thayyib (baik) ialah suci dan bersih dari segala aib dan kekurangan.[1]
Kedua. Makna  “Hal-hal yang Baik”.

Ada hadits tentang sedekah yang semakna dengan hadits ini, yaitu Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Tidaklah seseorang bersedekah dengan sedekah dari pendapatan yang baik, dan Allah tidak menerima kecuali yang baik-baik ….”[2]

Maksudnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menerima sedekah kecuali sedekah yang berasal dari pendapatan yang baik dan halal.
Ada yang mengatakan, maksud hadits yang sedang kita bahas, yaitu hadits, “Allah tidak menerima kecuali yang baik.” Itu lebih luas, maksudnya ialah bahwa Allah tidak menerima amal perbuatan kecuali amal perbuatan yang baik dan bersih dari semua hal yang merusaknya seperti riya’ dan ujub. Allah juga tidak menerima harta kecuali harta yang baik dan halal. Jadi, kata ‘baik atau suci’ itu disifatkan pada amal perbuatan, perkataan, dan keyakinan. Ketiga hal tersebut (yakni keyakinan, perbuatan, dan perkataan) terbagi dalam dua bagian: baik dan buruk.
Ada yang mengatakan, sifat baik (dalam hadits ini) masuk dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
قُلْ لَا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ
Katakanlah (Muhammad), “Tidaklah sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya keburukan itu  menarik hatimu…” [al-Mâidah/5:100].
Allah Ta’âla membagi perkataan menjadi dua jenis, baik dan buruk, seperti firman-Nya:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ
Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat, dan cabangnya (menjulang) ke langit. [Ibrâhîm/14:24].
Juga firman-Nya:
وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ
Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk. [Ibrâhîm/14:26].
Dan firman-Nya:
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ 
… Kepada-Nyalah akan naik perkataan-perkataan yang baik dan amal kebajikan Dia akan mengangkatnya …. [Fâthir/35:10].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam disifati sebagai orang yang menghalalkan hal-hal yang baik dan mengharamkan hal-hal yang buruk. Allah Ta’ala berfirman:
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
… Yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka… [al-A’râf/7:157].
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati kaum mukminin sebagai orang-orang yang baik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ تَتَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ طَيِّبِينَ
(Yaitu) orang yang ketika diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan baik… [an-Nahl/16:32].
Jadi, hati, lidah, dan tubuh orang mukmin itu baik karena iman yang bersemayam di hatinya. Dzikir pun terlihat di lidahnya dan amal-amal shalih -yang merupakan buah iman dan masuk dalam namanya- juga terlihat pada tubuhnya. Semua hal-hal yang baik tersebut diterima Allah Azza wa Jalla.[3]
Ketiga. Memakan yang Halal.

Di antara hal teragung yang menghasilkan amal yang baik bagi seorang mukmin ialah makanan yang baik dan berasal dari sumber yang halal. Dengan makanan yang baik amalnya jadi berkembang.

Dalam hadits di atas terdapat isyarat bahwa amal tidak diterima dan tidak berkembang kecuali dengan memakan makanan yang halal, dan bahwa makanan haram itu merusak amal dan membuatnya tidak diterima. Setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “sesungguhnya Allah tidak menerima kecuali yang baik”, beliau bersabda bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kaum mukminin seperti yang Dia perintahkan kepada para rasul. Allah Ta’âla berfirman:
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا
Wahai para rasul, makanlah dari (makanan) yang baik-baik dan kerjakanlah kebajikan…. [al-Mu`minûn/23: 51]
Maksudnya, bahwa para rasul dan umat mereka masing-masing diperintahkan memakan makanan yang baik yang merupakan makanan yang halal. Mereka juga diperintahkan beramal. Jika makanannya halal, maka amalnya shalih dan diterima. Sebaliknya, jika makanannya tidak halal, bagaimana amal bisa diterima?
Setelah itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang doa. Bagaimana doa tersebut diterima dengan sesuatu yang haram? Itu sebuah perumpamaan tentang tidak diterimanya amal jika makanan pelakunya adalah haram.
Ath-Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang di dalamnya terdapat kelemahan, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda: “Jika seseorang berangkat untuk berhaji dengan bekal halal, meletakkan kakinya di pelana, dan berkata, ‘Labbaikallahumma labbaik,’ penyeru dari langit menyerunya, ‘Labbaika wa sa`daika, bekalmu halal, dan hajimu halal, dan hajimu mabrur, tidak berdosa’. Jika seseorang berangkat berhaji dengan bekal haram, meletakkan kakinya di pelana, dan berseru, ‘Labbaikallahumma labbaik,’ penyeru dari langit menyerunya, ‘Lâ labbaika wa lâ sa`daik, bekalmu haram, nafkahmu haram, dan hajimu tidak mabrur’.”[4]
Hadits yang semakna juga diriwayatkan dari ‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu anhu dengan sanad yang juga lemah.[5]
Keempat. Tidak Diterima Mempunyai Dua Makna.

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :  لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا  (tidak menerima kecuali yang baik). Terdapat banyak hadits yang serupa dengan hadits ini, yang di dalamnya terdapat pernyataan tidak diterimanya sebagian dari amal perbuatan dan perkataan. Hal itu karena pelakunya terjatuh dalam larangan atau menyepelekan syarat atau rukun dari amalan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Rabb-nya Azza wa Jalla. Maka, harus dipahami makna tidak diterimanya suatu amalan seperti yang dipahami oleh para ulama.

Tidak diterimanya suatu amalan memiliki dua makna:
  1. Tidak diterima dalam artian tidak mendapat pahala dan ganjaran, namun amalan yang wajib telah gugur darinya, contohnya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً.
Barang siapa yang mendatangi tukang ramal (dukun), kemudian bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh malam.[6]
  1. Tidak diterima dalam artian tidak sah dan batal, seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ.
Allah tidak menerima shalat seorang dari kalian jika dia berhadats sampai dia berwudhu`.[7]
Makna tidak diterima dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا (tidak menerima kecuali yang baik), ialah tidak diperolehnya pahala dan ganjaran, keridhaan, pujian, dan sanjungan dari Allah di sisi para malaikat. Adapun dari segi diterimanya shadaqah dari harta yang haram maka itu tidak bisa diterima, hal itu berdasarkan sabda Rasulullah:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةً بِغَيْرِ طُهُوْرٍ وَلاَ صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ.
Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci dan shadaqah dari ghulûl (mengambil harta rampasan perang sebelum dibagikan).[8]
Maksud yang sesungguhnya, wallahu a’lam, ialah tidak diterima dengan makna pertama atau kedua. Itulah, wallahu a’lam, yang dimaksud firman Allah Ta’ala:
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
… Allah hanya menerima (amal) dari orang yang bertakwa. [al-Mâ`idah/5:27].
Oleh karena itu, ayat itu di atas sangat ditakuti generasi Salaf. Mereka khawatir tidak termasuk orang-orang yang bertakwa dan takut jika amal mereka tidak diterima.
Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya tentang makna al-muttaqîn (orang-orang yang bertakwa) pada ayat di atas kemudian ia menjawab: “Yaitu orang yang menjaga dirinya dari hal-hal (yang syubhat) kemudian tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak halal baginya”.[9]
Abu Abdullah as-Saji rahimahullah berkata, “Ada lima hal, yang dengannya amal menjadi sempurna: (1) beriman dengan mengenal Allah Azza wa Jalla, (2) mengenal kebenaran, (3) mengikhlaskan amal karena Allah, (4) beramal sesuai dengan Sunnah, dan (5) memakan yang halal. Jika salah satu dari kelima hal tersebut ada yang hilang, amal menjadi tidak naik. Jika engkau mengenal Allah Azza wa Jalla, namun tidak mengenal kebenaran, engkau menjadi tidak berguna. Jika engkau mengenal Allah dengan mengenal kebenaran, namun tidak mengikhlaskan amal, engkau menjadi tidak berguna. Jika engkau mengenal Allah, mengenal kebenaran, dan mengikhlaskan amal, namun tidak sesuai dengan Sunnah, engkau menjadi tidak berguna. Jika engkau memenuhi keempat syarat tersebut, namun makananmu tidak halal, engkau menjadi tidak berguna”.[10]
Adapun sedekah dengan uang haram, maka tidak diterima seperti disebutkan dalam Shahîh Muslim dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةً بِغَيْرِ طُهُوْرٍ وَلاَ صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ.
Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci dan sedekah dari ghulûl (mengambil harta rampasan perang sebelum dibagikan).[11]
Dalam Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim disebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah seseorang bersedekah dengan sedekah dari pendapatan yang baik (halal) –dan Allah tidak menerima kecuali yang baik- melainkan sedekah tersebut diambil oleh (Allah) Yang Maha Pengasih dengan tangan kanan-Nya …”.[12]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ جَمَعَ مَالاً حَرَامًا، ثُمَّ يَتَصَدَّقَ بِهِ، لَمْ يَكُنْ فِيْهِ أَجْرٌ، وَكَانَ إِصْرُهُ عَلَيْهِ.
Barang siapa mengumpulkan harta yang haram, kemudian bersedekah dengannya, ia tidak mendapatkan pahala di dalamnya dan dosa menjadi miliknya.[13]
Disebutkan dalam hadits-hadits mursal al-Qâsim bin Mukhaimirah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa memperoleh harta dari perbuatan dosa, lalu menyambung kekerabatan dengannya, atau bersedekah dengannya, atau menginfakkannya di jalan Alah, maka Allah mengumpulkan semua itu lalu melemparnya ke neraka Jahannam dengannya”.[14]
Diriwayatkan dari Abu Darda` dan Yazîd bin Maisarah bahwa keduanya mengumpamakan orang yang mendapatkan harta tidak halal kemudian bersedekah dengannya seperti orang yang mengambil harta anak yatim kemudian membeli pakaian dan memakaikannya kepada janda-janda.[15]
Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma ditanya tentang orang yang beramal. Namun, sebelumnya ia berbuat zhalim dan mendapatkan harta haram lalu bertaubat. Ia melaksanakan ibadah haji, memerdekakan budak, dan bersedekah dengan harta tersebut? Ibnu ‘Abbâs menjawab: “Sesungguhnya keburukan tidak bisa dihapus dengan keburukan”.[16]
Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu juga berkata: “Sesungguhnya keburukan tidak bisa dihapus dengan keburukan dan hanya kebaikan yang bisa menghapus keburukan”.[17]
Ketahuilah bahwa bersedekah dengan uang haram itu terjadi dalam dua bentuk.

Pertama, pencuri, pengkhianat, perampas, perampok, koruptor, dan selainnya bersedekah dengan harta yang haram atas namanya sendiri. Inilah yang dimaksudkan hadits di atas bahwa sedekah tidak diterima darinya dalam arti ia tidak diberi pahala karenanya, justru ia berdosa karena ia menggunakan harta orang lain tanpa seizinnya. Pemilik harta (orang yang hartanya dicuri) tersebut juga tidak mendapatkan pahala, karena sedekah tersebut tidak karena maksud dan niatnya. Itulah pendapat sejumlah ulama, di antaranya Ibnu ‘Aqîl –sahabat kami-.(dari Hanabilah)

Dari Zaid bin al-Akhnas al-Khuzâ’i rahimahullah bahwa ia bertanya kepada Sa’îd bin al-Musayyib rahimahullah : “Aku menemukan barang tercecer, apakah aku boleh bersedekah dengannya?” Sa’îd bin al-Musayyib menjawab: “Engkau dan pemiliknya tidak diberi pahala”.[18] Bisa jadi, yang dimaksud Sa’îd bin al-Musayyib ialah orang tersebut bersedekah dengan barang tersebut sebelum mengumumkannya.
Jika penguasa atau salah seorang pejabatnya mengambil uang dari Baitul-Mâl yang bukan haknya kemudian bersedekah, atau memerdekakan budak dengannya, atau membangun masjid atau lain-lain yang manfaatnya dirasakan manusia, maka yang diriwayatkan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma ialah bahwa ia seperti perampas jika ia bersedekah dengan uang hasil rampasannya. Itu pula yang dikatakan Ibnu ‘Umar kepada ‘Abdullah bin ‘Amir, Gubernur Basrah. Menjelang kematiannya, orang-orang berkumpul di tempat ‘Abdullah bin ‘Amir dan menyanjungnya atas kebaikannya. Di sisi lain, Ibnu ‘Umar diam. ‘Abdullah bin ‘Amir meminta Ibnu ‘Umar bicara, kemudian Ibnu ‘Umar meriwayatkan hadits untuk ‘Abdullah bin ‘Amir: “Allah tidak menerima harta sedekah dari ghulûl (pencurian harta rampasan perang sebelum dibagikan)”. Setelah itu, Ibnu ‘Umar berkata kepada ‘Abdullah bin ‘Amir: “Dan engkau adalah Gubernur Basrah”.[19]
Sejumlah orang yang sangat wara’, seperti Thâwus rahimahullah dan Wahib bin al-Ward rahimahullah, tidak mau memanfaatkan apa saja yang dibuat oleh para raja. Sedang Imam Ahmad, ia memberi rukhshah (dispensasi) terhadap fasilitas-fasilitas umum yang dibuat para raja. Misalnya, masjid, jembatan, dan pabrik, karena hal-hal tersebut dibangun dari harta fa’i, terkecuali jika seseorang yakin betul bahwa mereka membangunnya dengan uang haram, misalnya uang dari pajak, bea cukai, harta rampasan, dan lain sebagainya, maka ia tidak boleh memanfaatkan sesuatu yang dibangun dengan harta haram. Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma mengecam para gubernur yang mengambil uang dari Baitul-Mâl untuk kepentingan pribadi dan klaim mereka bahwa apa yang mereka kerjakan setelah itu dengan uang tersebut adalah sedekah dari mereka. Itu mirip dengan harta rampasan. Kecaman sejumlah ulama terhadap pembangunan masjid-masjid oleh para raja tidak lain karena sebab ini.
Jika uang tersebut haram atau hasil rampasan, maka semua penggunaan uang tersebut haram. Uang tersebut seterusnya dikembalikan kepada pemiliknya atau ahli warisnya. Jika pemilik uang tersebut atau ahli warisnya tidak diketahui, uang tersebut dikembalikan ke Baitul-Mâl dan digunakan untuk kemashlahatan umum atau sedekah.
Kedua, penggunaan perampas terhadap harta yang dirampasnya. Jika ia menyedekahkannya atas nama pemiliknya karena ia tidak bisa mengembalikannya kepada pemiliknya atau ahli warisnya, itu diperbolehkan menurut sebagian besar ulama, di antaranya Imam Maalik, Abu Hanîfah, Ahmad dan selain mereka.
Imam Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata bahwa Imam az-Zuhri, Mâlik, ats-Tsauri, al-Auzâ’i, dan al-Laits berpendapat bahwa jika para tentara telah berangkat, sedang pencuri rampasan perang tidak bisa menyusul mereka, ia harus menyerahkan seperlima hasil curiannya dari rampasan perang dan bersedekah dengan sisanya.[20]
Pendapat yang sama diriwayatkan dari ‘Ubâdah bin ash-Shâmit, Mu’âwiyah, dan al-Hasan al-Bashri. Pendapat tersebut mirip dengan pendapat Ibnu Mas’ûd dan Ibnu ‘Abbâs. Mereka berdua berpendapat bahwa seseorang harus bersedekah dengan uang yang tidak ia ketahui siapa pemiliknya. Para ulama juga sepakat tentang dibolehkan sedekah dengan luqathah (barang temuan) setelah diumumkan kepada khalayak  dan pemiliknya tidak bisa diketahui. Jika pemilik luqathah datang, para ulama memberinya hak pilih antara pahala atau pengganti. Harta rampasan juga begitu.
Diriwayatkan dari Mâlik bin Dinâr rahimahullah, dia berkata bahwa aku pernah bertanya kepada ‘Atha` bin Abi Rabâh rahimahullah tentang orang yang memegang harta haram, tidak mengetahui siapa pemiliknya, dan ingin terbebas darinya. ‘Atha’ bin Abi Rabâh berkata: “Ia menyedekahkannya namun aku tidak berkata itu sah baginya”.
Imam Mâlik rahimahullah berkata: “Perkataan ‘Atha’ bin Abi Rabâh tersebut lebih aku sukai daripada emas seberat perkataan tersebut”.
Sufyan rahimahullah juga berkata seperti itu tentang orang yang mendapat warisan dari ayahnya dan dulu ayahnya menjual barang kepada orang yang bermuamalah dengannya dimakruhkan. Sufyan rahimahullah berkata: “Ia bersedekah sebesar keuntungan dan mengambil sisanya.” Pendapat yang sama juga diriwayatkan dari sejumlah sahabat, di antaranya ‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu anhu dan ‘Abdullah bin Yaziid al-Anshâri.
Pendapat yang masyhur dari Imam asy-Syâfi’i rahimahullah tentang harta haram ialah harta tersebut dijaga dan tidak disedekahkan hingga pemiliknya diketahui.
Tentang orang yang memegang harta haram dan tidak mengetahui pemiliknya, al-Fudhail bin Iyâdh rahimahullah berpendapat bahwa ia harus merusaknya, membuangnya ke laut, dan tidak bersedekah dengannya. Al-Fudhail bin Iyâdh berkata: “Orang tersebut tidak bertaqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali dengan harta yang halal”.
Pendapat yang benar ialah harta tersebut disedekahkan. Karena, merusak dan manghambur-hamburkan harta dilarang agama, menyimpannya selama-lamanya juga membuatnya rusak, dan menimbulkan kegelapan pada orang yang bersangkutan. Sedekah dengan harta tersebut bukan atas nama orang yang mendapatkannya. Sebab, jika itu terjadi berarti ia bertaqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan harta haram, namun sedekah tersebut atas nama pemiliknya agar manfaatnya di akhirat bisa ia rasakan karena ia tidak merasakannya di dunia.[21]
Kelima. Sebab-sebab Dikabulkannya Doa.

Ucapan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu “kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan orang yang lama bepergian, rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan kedua tangannya ke langit, ‘Wahai Rabb-ku, wahai Rabb-ku,’ padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi makan dengan yang haram, bagaimana doanya dikabulkan?”

Dengan hadits di atas, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin menunjukkan etika berdoa, sebab-sebab yang menjadikan doa dikabulkan, dan sebab-sebab yang menjadikan doa seseorang itu tidak dikabulkan. Dalam hadits di atas, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan empat hal yang membuat doa dikabulkan, yaitu:
1. Lama bepergian. 

Bepergian itu sendiri menyebabkan doa dikabulkan seperti terlihat pada hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ يُسْتَجَابُ لَهُنَّ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ : دَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ لِوَلَدِهِ.
Tiga doa yang dikabulkan dan tidak ada keraguan di dalamnya: (1) doa orang yang terzhalimi, (2) doa musafir (orang yang sedang bepergian jauh), dan (3) doa seorang ayah untuk  anaknya.[22]
Dalam riwayat lain disebutkan, “doa keburukan seorang ayah untuk anaknya”.
Jika seseorang telah lama bepergian, doanya sangat mungkin dikabulkan karena dugaan kuat orang tersebut sedih karena lama terasing dari negerinya dan mendapatkan kesulitan. Sedih adalah sebab terbesar yang membuat doa dikabulkan.
2. Terjadinya keusangan pada pakaian dan penampilan dalam bentuk rambut kusut dan berdebu.

Hal ini juga membuat doa terkabul seperti terlihat pada hadits yang masyhur, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda:

رُبَّ أَشْعَثَ ذِيْ طِمْرَيْنِ، مَدْفُوْعٌ بِاْلأَبْوَابِ، لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللهِ َلأَبَرَّهُ.
Bisa jadi orang yang rambutnya kusut, berdebu, mempunyai dua pakaian lusuh, dan pintu-pintu tertutup baginya, namun jika ia berdoa kepada Allah, Dia pasti mengabulkannya.[23]
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar rumah untuk mengerjakan shalat Istisqa’, beliau keluar dengan pakaian lusuh, tawadhu`, dan merendahkan diri.[24]
Keponakan Mutharrif bin ‘Abdullah dipenjara, kemudian Mutharrif bin ‘Abdullah rahimahullah mengenakan pakaian usang miliknya dan mengambil tongkat dengan tangannya. Dikatakan kepadanya, “Kenapa engkau berbuat seperti itu?” Mutharrif bin ‘Abdullah menjawab, “Aku merendahkan diri kepada Rabb-ku, mudah-mudahan Dia memberi syafa’at kepadaku untuk keponakanku”.[25]
3. Menengadahkan kedua tangan ke langit.

Ini termasuk adab berdoa, dan dengan cara seperti itu, diharapkan doa tersebut dikabulkan. Disebutkan dalam sebuah hadits dari Salmân Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إنَّ اللهَ حَيِيٌّ كَرِيْمٌ يَسْتَحْيِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ.
Sesungguhnya Allah Maha Pemalu dan Maha Mulia. Dia malu bila seseorang menengadahkan kedua tangan kepada-Nya, namun Dia mengembalikan keduanya dalam keadaan kosong tidak mendapatkan apa-apa.[26]
Hadits yang semakna juga diriwayatkan dari hadits Anas bin Mâlik,[27] Jâbir,[28] dan selain keduanya.
Cara Menengadahkan Tangan Dalam Berdoa.
  • Mengangkat kedua tangan hingga sejajar dengan kedua pundak dengan menghadapkan kedua telapak tangan ke langit dan menghadapkan bagian luarnya ke tanah. Menengadahkan kedua tangan seperti itu diperintahkan dalam banyak hadits ketika seseorang berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Disebutkan dari Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah dan Ibnu Sirîn bahwa itulah doa dan permintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala .
  • Menengadahkan kedua tangan sejajar dengan pundak dan menghadapkan bagian luar tangan ke arah kiblat ketika menghadap ke sana dan menghadapkan bagian dalam tangan ke wajah.[29] Salah seorang generasi salaf berkata,“Menengadahkan kedua tangan seperti itu adalah sikap merendahkan diri.”
  • Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menengadahkan kedua tangan beliau dengan tinggi ketika shalat Istisqa` hingga ketiak beliau yang putih bersih terlihat. Yaitu, dengan menghadapkan bagian luar telapak tangan ke langit dan bagian dalamnya menghadap ke tanah.[30]
  • Menengadahkan kedua tangan dengan posisi tangan bagian dalam menghadap ke langit dan bagian luarnya menghadap ke tanah. Salah seorang dari generasi Salaf berkata, “Menengadahkan kedua tangan seperti itu adalah meminta perlindungan kepada Allah Azza wa Jalladan berlindung diri kepada-Nya.” Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa jika beliau berlindung diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , beliau menengadahkan kedua tangan seperti itu.[31]
  • Beristighfar dengan berisyarat satu jari. Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau berbuat seperti itu ketika beliau berada di atas mimbar.[32]
  • Adapun ibtihâl (yaitu istighatsah) dengan mengangkat tangan tinggi-tinggi.[33] Beliau menengadahkan kedua tangan beliau pada Perang Badar guna meminta pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas kaum musyrikin hingga pakaian beliau jatuh dari kedua pundak beliau.[34]
4. Terus-menerus berdoa kepada Allah Ta’ala dengan mengulang-ulang kerububiyyahan-Nya. 

Cara seperti ini termasuk aspek penting yang membuat doa terkabul.
Ath-Thabrâni dan lain-lain meriwayatkan hadits dari Sa’ad bin Khârijah rahimahullah, dia berkata, “Salah satu kaum mengeluhkan ketiadaan hujan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian beliau bersabda, ‘Kumpulkan rombongan kepadaku dan katakan, ‘Rabbi… Rabbi…’. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat jari telunjuk ke langit kemudian mereka diberi hujan hingga mereka ingin air hujan tersebut diberhentikan dari mereka”.[35]

Yazid ar-Raqqâsyi rahimahullah berkata, dari Anas bin Mâlik, “Tidaklah seorang hamba berkata ‘Rabbî (wahai Rabb-ku), Rabbî (wahai Rabb-ku),’ melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepadanya, ‘Aku penuhi panggilanmu, Aku penuhi panggilanmu’.”
Diriwayatkan dari Abu ad-Darda` dan Ibnu ‘Abbas bahwa keduanya berkata: “Nama Allah terbesar ialah Rabbî (wahai Rabb-ku), Rabbî (wahai Rabb-ku)”.[36]
Disebutkan dari ‘Athaa` rahimahullah ia berkata: “Tidaklah seorang hamba berkata ‘Rabbî, Rabbî hingga tiga kali melainkan Allah melihatnya”.
Perkataan tersebut disebutkan kepada al-Hasan rahimahullah kemudian al-Hasan berkata: “Tidakkah kalian membaca Al-Qur`ân?” Setelah itu al-Hasan membaca firman Allah Ta’ala Surat Ali ‘Imrân ayat 191-195.
Barang siapa mencermati doa-doa yang disebutkan dalam Al-Qur`ân, ia menemukan pada umumnya doa-doa tersebut dimulai dengan kata “Rabb”, misalnya firman Allah Ta’ala: “Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari siksa Neraka”. [al-Baqarah/2:201].
Atau firman Allah Ta’ala: “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya.” [al-Baqarah/2:286].
Juga firman-Nya:“Ya Rabb kami, janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi”. [Ali ‘Imrân/3:8].
Dan ayat-ayat lainnya yang banyak sekali di dalam Al-Qur`ân.
Sedang penyebab doa tidak dikabulkan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan di antaranya ialah karena mengkonsumsi barang haram, baik dalam makanan, minuman, pakaian, dan memberi makanan kepada orang lain. Tentang hal ini, telah disebutkan hadits Ibnu ‘Abbaas, dan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Sa’ad bin Abi Waqqaash: “Wahai Sa’ad, hendaklah makananmu baik, niscaya engkau menjadi orang yang doanya dikabulkan”. Dari sisi ini, bisa disimpulkan bahwa makan sesuatu yang halal, meminumnya, mengenakannya, dan memberikannya kepada orang lain merupakan penyebab doa seseorang dikabulkan.
‘Ikrimah bin ‘Ammaar rahimahullah meriwayatkan bahwa al-Ashfar berkata kepadaku bahwa dikatakan kepada Sa’ad bin Abi Waqqâsh: “Engkau orang yang doanya dikabulkan di antara sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”.
Sa’ad bin Abi Waqqaash berkata: “Aku tidak mengangkat sesuap makanan ke mulutku, melainkan aku tahu asal usulnya dan ke mana makanan tersebut hendak keluar”.
Diriwayatkan dari Wahb bin Munabbih rahimahullah, ia berkata: “Barang siapa ingin doanya dikabulkan Allah, hendaklah ia makan makanan yang baik (halal)”.
Diriwayatkan dari Sahl bin ‘Abdillah rahimahullah, dia berkata: “Barangsiapa makan makanan halal selama empat puluh pagi (hari), doanya dikabulkan”.
Diriwayatkan dari Yusuf bin Asbath rahimahullah, dia berkata: “Diberitahukan kepada kami bahwa doa seorang hamba ditahan dari langit, karena makanannya haram”.[37]
Keenam. Sebab-Sebab Doa Tidak Dikabulkan

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ (bagaimana doanya dikabulkan?), maksudnya, bagaimana doa orang tersebut bisa dikabulkan. Sabda tersebut merupakan pertanyaan dengan konotasi keheranan dan kecil kemungkinannya, dan bukan penegasan tentang kemustahilan terkabulnya doa secara umum.

Dari sini, bisa disimpulkan bahwa mengkonsumsi sesuatu yang haram dan memberikannya kepada orang lain termasuk sebab-sebab tidak terkabulnya doa. Bisa jadi, ada sebab-sebab lain yang membuat doa tidak terkabul, misalnya mengerjakan hal-hal yang haram dilakukan. Begitu juga tidak mengerjakan perintah-perintah seperti dijelaskan dalam hadits bahwa tidak melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar menyebabkan doa tidak terkabul, serta mengerjakan perintah-perintah membuat doa terkabul.[38]
Oleh karena itu, orang-orang yang masuk ke dalam gua kemudian gua tersebut tertutup oleh batu, mereka bertawassul dengan amal shalih yang mereka niatkan karena Allah, dan mereka berdoa kepada Allah dengannya kemudian doa mereka dikabulkan.[39]
Wahb bin Munabbih rahimahullah berkata: “Perumpamaan orang yang berdoa tanpa amal ialah seperti orang yang memanah tanpa anak panah”.[40]
Juga diriwayatkan dari Wahb bin Munabbih rahimahullah, dia berkata: “Amal shalih membuat doa sampai (kepada Allah)”, kemudian Wahb bin Munabbih membaca firman Allah Ta’ala: “… Kepada-Nyalah akan naik perkataan-perkataan yang baik dan amal kebajikan Dia akan mengangkatnya…” [Fâthir/35:10][41]
‘Umar bin al-Khaththaab Radhiyallahu anhu berkata: “Dengan sikap wara` (meninggalkan apa saja yang diharamkan Allah),  Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima doa dan tasbih”.[42]
FAWÂ`ID HADITS
  1. Ath-Thayyib (baik) termasuk dari nama-nama Allah, berdasarkan sabda beliau: “Sesungguhnya Allah itu baik”, dan ini mencakup baik dalam Dzat-Nya, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, dan hukum-hukum-Nya.
  2. Kesempurnaan Allah Ta’ala dalam Dzat, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, dan hukum-hukum-Nya.
  3. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala Mahakaya terhadap hamba-Nya, dan tidak menerima kecuali yang baik. Maka, amal yang terdapat perbuatan syirik di dalamnya tidak akan diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala karena amal itu tidak baik. Demikian pula bersedekah dengan harta curian tidak akan diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala karena sedekah itu tidak baik, begitu pula bersedekah dengan harta yang haram pada dzatnya tidak akan diterima Allah karena harta itu tidak baik.
  4. Amal terbagi menjadi dua, yaitu yang diterima dan yang tidak diterima.
  5. Sesungguhnya para nabi dan rasul diberikan perintah dan larangan oleh Allah Ta’ala. Demikian pula kaum mukminin, mereka diberikan perintah dan larangan.
  6. Perintah bagi para rasul dan kaum mukminin untuk memakan makanan yang halal dan baik.
  7. Wajib mensyukuri nikmat Allah Ta’ala dengan cara melakukan ketaatan kepada-Nya.
  8. Diharamkannya berbagai hal yang najis (buruk) yang dianggap buruk oleh syari’at.
  9. Orang yang memakan harta yang haram doanya sangat kecil kemungkinannya untuk dikabulkan meskipun dia melakukan sebab-sebab yang membuat doa dikabulkan. Artinya, makan yang halal termasuk sebab dikabulkannya doa.
  10. Safar (bepergian jauh) merupakan sebab dikabulkannya doa.
  11. Rambut yang kusut berdebu termasuk sebab terkabulnya doa.
  12. Mengangkat tangan ketika berdoa termasuk sebab dikabulkannya doa.
  13. Termasuk sebab dikabulkannya doa, yaitu bertawassul dengan sifat Rububiyyah Allah Ta’ala.
  14. Peringatan keras dari memakan makanan yang haram karena itu sebagai sebab tertolaknya doa meskipun syarat terkabulnya doa telah terpenuhi.
MARAJI
  1. Al-Qur`ân dan terjemahnya.
  2. Al-Mustadrak ‘ala Shahîh
  3. Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawâwiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyiddîn Mustha.
  4. Hilyatul Auliyâ`.
  5. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhîm Bâ
  6. Kutûbus Sittah.
  7. Mushannaf ‘Abdur-Razzâ
  8. Mushannaf Ibni Abi Syaibah.
  9. Musnad Abu Ya’la.
  10. Musnad Imam Ah
  11. Qawâ’id wa Fawâ`id minal ‘Arba’în an-Nawâwiyyah, karya Nâzhim Muhammad Sulthâ
  12. Raf’ul Yadaini fish-Shalâh, karya Imam al-Bukhâri, Tahqîq: Badî’uddin ar-Rasyidi.
  13. Shahîh Ibni Hibbâ
  14. Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin.
  15. Syarhus-Sunnah lil Baghawi.
  16. Tafsîr ath-Thabari.
  17. Tafsîr Ibni Katsîr.
  18. Dan kitab-kitab lainnya yang disebutkan dalam catatan kaki.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XI/1428H/2007M. Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله]

_______
Footnote
[1] Lihat al-Qawâ’id wa Fawâ`id minal-Arba’în an-Nawâwiyyah, karya Syaikh Nazhim Muhammad Sulthan, hlm. 113.
[2] Shahîh. HR al-Bukhâri, no. 1410. Muslim, no. 1014. Ahmad, II/418. At-Tirmidzi, no. 662. An-Nasâ`i, V/57. Ibnu Mâjah, no. 1842, dan Ibnu Hibbân, no. 270 dalam at-Ta’lîqâtul-Hisân.
[3] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/259).
[4] Dha’îf. HR ath-Thabraani dalam al-Mu’jamul-Ausath, no. 5224. Di dalamnya terdapat seorang perawi dha’if yang bernama Sulaimaan bin Daawud al-Yamaami, dari Yahya bin Abi Katsiir. Imam al-Bukhâri mengatakan, “Munkarul-hadîts.”. Ibnu Hibbaan berkata, “Dha’îf,” dan yang lainnya mengatakan, “Matruuk”. Lihat Kitab adh-Dhu’afâ,) karya al-‘Uqaili, Daar Sumai’i, Cet. I, Th. 1420 H (II/491, no. 608) dan Lisânul- Mîzân, karya Ibnu Hajar al-‘Asqalâni, Cet. Darul Fikr (III/83, no. 297).
[5] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, I/261-262.
[6] Shahîh. HR Muslim, no. 2230. Ahmad, IV/68, V/380. Lafazh ini milik Muslim, dari Shafiyyah Radhiyallahu nanhuma.
[7] Shahîh. HR al-Bukhâri, no. 135 dan Muslim, no. 225, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[8] Shahîh. HR Muslim, no. 224. Ahmad, II/20 dan at-Tirmidzi, no. 1.
[9] Jâmi’ul Ulûm wal-Hikam, I/262.
[10] Diriwayatkan Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, 9/323, no. 14016. Nama Abu ‘Abdillah as-Saji ialah Sa’îd bin Yazîd.
[11] Shahîh. HR Muslim, no. 224. Ahmad, II/20, dan at-Tirmidzi, no. 1.
[12] Shahîh. HR Ahmad, II/418. Al-Bukhâri, no. 1410. Muslim, no. 1014. At-Tirmidzi, no. 662. An-Nasâ`i, V/57. Ibnu Mâjah, no. 1842, dan Ibnu Hibbaan, no. 270 dalam at-Ta’lîqâtul Hisân.
[13] Hasan. HR Ibnu Hibbaan, no. 3356. Lihat at-Ta’lîqâtul Hisân.
[14] Lihat Tahdzîbul-Kamal (XXIII/446), karya al-Mizzi dan Siyar A’lâmin Nubalâ` (V/203) dari al-Qasim bin Mukhaimirah dan tidak meneruskannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
[15] Lihat az-Zuhd oleh Imam Ahmad, hlm. 137. Dinukil dari Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, I/264.
[16] Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, I/2640.
[17] Ibid.
[18] Mushannaf ‘Abdur-Razzâq, no. 18622.
[19] Shahîh. HR Ahmad, II/20, 51, 73, dan Muslim, no. 224.
[20] Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Ibnul Mundzir berkata,’Para ulama sepakat bahwa pencuri harta rampasan perang harus mengembalikan apa yang ia ambil sebelum rampasan perang dibagikan’. Sedangkan setelah pembagian, ats-Tsauri, al-Auzâ’i, dan Imam Mâlik berkata,‘Ia harus mengembalikan seperlimanya kepada imam (penguasa kaum muslimin) dan bersedekah dengan sisanya’.” Lihat Fat-hul Bâri, VI/186.
[21] Diringkas dari Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, I/264-268.
[22] Hasan. HR Abu Dawud, no. 1536. At-Tirmidzi, no. 1905, 3448. Ibnu Maajah, no. 3862. Ahmad, II/258, dan al-Bukhâri dalam al-Adabul-Mufrad, no. 32, 481. Dishahîhkan Ibnu Hibbân, no. 2688 dalam at-Ta’lîqâtul Hisân. Hadits ini mempunyai hadits penguat, dari hadits ‘Uqbah bin ‘Amir  dalam riwayat Ahmad, IV/154.
[23] Shahîh. HR Muslim, no. 2622, 2854, dan Ibnu Hibbân, no. 6449 dalam at-Ta’lîqâtul-Hisân. Lafazh ini milik Ibnu Hibbân.
[24] Hasan. HR Ahmad, I/230. Abu Dawud, no. 1165. At-Tirmidzi, no. 558. An-Nasâ`i, III/163, dan Ibnu Mâjah, no. 1266. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbâs, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dengan pakaian lusuh, menampakkan kemiskinan, merendahkan diri, dan tawadhu`.” Dishahîhkan Ibnu Hibbân, no. 2851 dalam at-Ta’lîqâtul-Hisân, dan redaksi tersebut miliknya..
[25] Diriwayatkan Ibnu Asakir dalam kitab Târîkh-nya, XVI/290, dan adz-Dzahabi dalam Siyar A’lâmin Nubalâ`, IV/195. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, I/270.
[26] Shahîh. HR Ahmad, V/438. Abu Dâwud, no. 1488. At-Tirmidzi, no. 3556, dan Ibnu Mâjah, no. 3865, dan Ibnu Hibbân, no. 873, 877. Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah, no. 1385, dan al-Hakim (I/497) beliau menshahîhkannya dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[27] HR ‘Abdur-Razzaq, no. 19648. Ath-Thabraani dalam ad-Du’a, no. 204, 205. Al-Hakim, I/497-498, dan al-Baghawi (no. 1386) dengan sanad-sanad lemah.
[28] HR Abu Ya’la, no. 1862. Al-Haitsami dalam Majma’uz-Zawâ`id, X/149, dan ia juga menisbatkan hadits tersebut kepada ath-Thabraani dalam al-Ausath. Ia berkata, “Di sanadnya terdapat Yûsuf bin Muhammad bin al-Munkadir ia menganggapnya tsiqah (terpercaya), padahal ia perawi dha’if, namun para perawi lainnya adalah para perawi ash-Shahîh”.
[29] Lihat hadits Anas bin Maalik dalam Shahîh al-Bukhâri, no. 1031, dan Shahîh Muslim, no. 895. Juga hadits ‘Umair, mantan budak Abu Lahm, yang diriwayatkan Abu Daawud (no. 1168), Ahmad (V/223), dan al-Hakim (I/327) beliau menshahihkannya dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Lihat juga atsar Ibnu ‘Umar dalam Fat-hul Bâri, XI/143.
[30] Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 1031), Muslim (no. 895), Ahmad (III/241), Abu Dâwud (no. 1171), dan Ibnu Hibbân (no. 2852), dari Anas bin Mâlik.
[31] HR Ahmad (IV/56) dari Khalad bin as-Sâ`ib secara mursal. Di sanadnya terdapat Ibnu Lahî’ah yang merupakan perawi dhaif. Hadits tersebut juga disebutkan al-Haitsami dalam Majma’uz Zawâ`id (X/168) dan berkata bahwa sanad hadits tersebut hasan.
[32] Shahîh. HR Ahmad (IV/135), Muslim (no. 874), an-Nasâ`i (III/108), Abu Dâwud (no. 1104), dan Ibnu Hibbân (879-at-Ta’lîqâtul Hisân), dari ‘Imârah bin Ruwaibah. Dishahîhkan.
[33] Shahîh. HR Abu Dâwud, no. 1490, dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abi Dâwud, I/279, no. 1322.
[34] Shahîh. HR Muslim (no. 1763) dan Ibnu Hibbân (no. 4773) dari ‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu anhu .
[35] Hadits tersebut tidak shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bazzâr (no. 665) dan al-Bukhâri dalam at-Târîkh, VI/457. Di sanadnya terdapat Amir bin Kharijah. Al-Bukhâri berkata, “Di sanadnya terdapat catatan. Abu Hatim berkata seperti dinukil darinya oleh anaknya (III/188), ‘sanad hadits tersebut munkar’.”
[36] HR Ibnu Abi Syaibah, X/272. Atsar tersebut dishahîhkan al-Hâkim, I/505. Atsar tersebut juga disebutkan as-Suyûthi di ad-Durrul Mantsûr (II/410) dan menambahkan bahwa atsar tersebut juga diriwayatkan Ibnu Abi Hâtim.
[37] Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, I/275.
[38] Hasan. HR Ahmad (VI/159) dan al-Bazzâr (no. 3304) dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai  manusia, sesungguhnya Allah berfirman kepada kalian, ‘Perintahkan yang baik dan laranglah yang munkar sebelum kalian berdoa kepada-Ku kemudian doa kalian tidak Aku kabulkan, kalian meminta kepada-Ku kemudian tidak Aku berikan, dan kalian meminta pertolongan kepada-Ku kemudian Aku tidak menolong kalian’.”
[39] Lihat Shahîh al-Bukhâri, no. 2215, Shahîh Muslim, no. 2743, Shahîh Ibni Hibbân, no. 894.
[40] Diriwayatkan Ibnul Mubâarak di az-Zuhdu, no. 307, dan Abu Nu’aim di al-Hilyah, IV/56, no. 4730.
[41] Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, I/276.
[42] Ibid.

Image result for baik halal

0 comments:

Post a Comment

 
Pusat Kajian Hadits © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top