عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ جُنْدُبِ بْنِ جُنَادَةَ وَ أَبِيْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَـا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ r قَالَ : «اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْـحَسَنَةَ تَمْحُهَا ، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ». رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ ، وَقَالَ : حَدِيْثٌ حَسَنٌ. وَفِي بَعْضِ النُّسَخِ : حَسَنٌ صَحِيْحٌ.
Dari Abu Dzar Jundub bin Junâdah dan Abu Abdirrahman Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhuma , dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Betakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada. Dan ikutilah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapusnya. Dan pergaulilah sesama manusia dengan akhlak mulia.” HR. At-Tirmidzi dan beliau berkata, “Ini adalah Hadits hasan,” dan di sebagian naskah disebutkan, “Hadits ini hasan shahîh.”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini hasan. Diriwayatkan oleh : Ahmad (V/153, 158, 177), at-Tirmidzi (no. 1987), ad-Darimi (II/323), dan al-Hâkim (I/54) dari seorang shahabat Rasulullah yang bernama Abu Dzar al-Ghifâri Radhiyallahu anhu. Diriwayatkan juga oleh Ahmad (V/236); ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (XX/296, 297, 298) dan dalam al-Mu’jamush Shaghîr (I/192), dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ‘ (IV/418, no. 6058) dari Shahabat Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu. Hadits ini dihukumi hasan oleh Imam at-Tirmidzi, an-Nawawi dalam al–Arba’în dan Riyâdush Shâlihîn, dan Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shâghîr no. 97.
SYARAH HADITS
Dalam hadits ini ada tiga pembahasan:
- Bertakwa kepada Allah Ta’ala.
- Mengiringi perbuatan jelek dengan kebaikan.
- Bergaul sesama manusia dengan akhlak yang mulia.
BERTAQWA KEPADA Allah Azza wa Jalla
Definisi Takwa
Menurut bahasa, takwa berarti menjaga diri atau berhati-hati. Dikatakan:
” اِتَّقَيْتُ الشَّيْءَ وَتَقَيْتُهُ أَتَّقِيْهِ وَأَتْقِيْهِ تُقًى وَتَقِيَّةً وَتِقَاءً ” Artinya: aku menjaga diri dari sesuatu atau aku berhati-hati terhadapnya.
Allah Ta’ala berfirman,
هُوَ أَهْلُ التَّقْوَىٰ وَأَهْلُ الْمَغْفِرَةِ
“…Dialah (Allah) yang patut (kita) bertakwa kepada-Nya dan Dia-lah yang berhak memberi ampunan.” [Al-Muddatstsir/74: 56]
Maksud ayat di atas adalah hanya Allah Azza wa Jalla sajalah yang berhak untuk ditakuti siksa-Nya dan hanya Allah Azza wa Jalla sajalah yang berhak untuk diperlakukan dengan apa yang mendatangkan ampunan-Nya.[1]
Inti takwa ialah seorang hamba meletakkan pelindung antara dirinya dengan sesuatu yang ia takutkan dan khawatirkan. Jadi, takwa seseorang kepada Rabb-nya ialah ia meletakkan antara dirinya dan apa yang ia takutkan dari Rabb-nya berupa kemarahan dan hukuman-Nya, sebuah pelindung yang melindungi dirinya dari itu semua yang dia takutkan itu. Pelindung tersebut ialah mengerjakan ketaatan dan menjauhi larangan.[2]
Allah Azza wa Jalla berfirman,
اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ
“…Bertakwalah kalian kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya….” [Ali ‘Imrân/3:102]
‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, “Hendaklah Allah Azza wa Jalla itu ditaati dan tidak dimaksiati, diingat dan tidak dilupakan, serta disyukuri dan tidak diingkari.”[3]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hakikat takwa ialah melakukan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla dilandasi keimanan dan mengharap pahala-Nya karena ada perintah dan larangan sehingga seseorang melakukan perintah Allah Azza wa Jalla dengan mengimani Dzat yang memerintah dan membenarkan janji-Nya, dan ia meninggalkan apa yang Allah larang baginya dengan mengimani Dzat yang melarangnya dan takut terhadap ancaman-Nya.
Sebagaimana dikatakan Thalq bin Habib rahimahullah : ‘Apabila terjadi fitnah, padamkanlah fitnah itu dengan takwa.’ Orang-orang bertanya, ‘Apakah takwa itu?’ Ia menjawab, ‘Takwa adalah engkau melakukan ketaatan kepada Allah berdasarkan cahaya[4] dari Allah karena mengharap pahala dari-Nya, dan engkau meninggalkan segala bentuk kemaksiatan kepada-Nya berdasarkan cahaya dari-Nya karena takut terhadap siksa-Nya.’
Ini adalah sebaik-baik definisi bagi kalimat takwa. Sebab, seluruh amal mesti memiliki permulaan dan tujuan akhir. Suatu amal tidak dikatakan sebagai ketaatan dan qurbah (amalan yang mendekatkan diri kepada Allah) sampai ia bersumber dari keimanan. Dengan demikian, yang menjadi pendorong ia melakukan suatu amal adalah keimanan semata, bukan adat (kebiasaan), hawa nafsu, mengharap pujian dan kedudukan, dan lainnya. Amal tersebut harus diawali dengan keimanan, sedang tujuan akhirnya adalah mengharap pahala dari Allah dan keridhaan-Nya, inilah yang disebut dengan al-ihtisâb(mengharapkan pahala).
Karena itulah, dua pokok ini sering disebutkan secara bergandengan, seperti dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْـمَـانًا وَاحْتِسَابًا…
“Barangsiapa puasa di bulan Ramadhan atas dasar keimanan dan mengharap pahala…”
مَن قَامَ لَيْلَةَ الْقَدَرِ إِيْـمَـانًا وَاحْتِسَابًا…
“Barangsiapa menghidupkan malam Lailatul Qadar atas dasar keimanan dan mengharap pahala…”
Dan hadits-hadits yang semisalnya.
Perkataannya (maksudnya Thalq bin Habîb-red), ‘Berdasarkan cahaya dari Allah,’ sebagai isyarat pada pokok yang pertama, yaitu keimanan yang menjadi awal (permulaan) dari amal sekaligus pendorongnya.
Sedang perkataannya, ‘Karena mengharap pahala dari Allah Azza wa Jalla ,’ sebagai isyarat pada pokok yang kedua, yaitu al-ihtisâb sebagai tujuan akhirnya, dimana karenanyalah amal tersebut diwujudkan dan dimaksudkan.”[5]
Wasiat Takwa Adalah Wasiat Yang Paling Agung
Takwa adalah wasiat Allah Azza wa Jalla untuk generasi terdahulu dan yang terakhir. Allah Azza wa Jalla berfirman,
وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ
“… Dan sungguh, Kami telah memerintahkan kepada orang yang diberi kitab suci sebelummu dan (juga) kepadamu agar bertakwa kepada Allah…” [an-Nisâ’/4: 131]
Takwa adalah wasiat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah pada haji Wada’ di hari penyembelihan hewan kurban, beliau berwasiat kepada manusia agar mereka bertakwa kepada Allah dan mendengar serta taat kepada pemimpin mereka.[6]
Takwa adalah wasiat para generasi Salaf. Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu berkata dalam khutbahnya, “Amma ba’du. Aku wasiatkan kepada kalian, hendaklah kalian bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla , menyanjung-Nya dengan sesuatu yang layak diterima-Nya, memadukan keinginan dengan takut, dan menghimpun permintaan mendesak dengan permintaan, karena Allah Ta’ala menyanjung Nabi Zakariya dan keluarganya dengan berfirman, ‘Sungguh, mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan, dan mereka berdo’a kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.’ [al-Anbiyâ’/21: 90]”[7]
‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu menulis surat kepada anaknya, ‘Abdullah, “Amma ba’du. Aku berwasiat kepadamu, hendaklah engkau bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla , karena barangsiapa bertakwa kepada-Nya, Dia akan melindunginya. Barangsiapa bersyukur kepada-Nya, Dia menambahkan nikmat-Nya kepadanya. Jadikanlah takwa di kedua pelupuk matamu dan hatimu.”[8]
Dan dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a,
اَللَّـهُمَّ إِنِّيْ أَسْـأَلُكَ الْهُدَى ، وَالتُّـقَى ، وَالْعَفَافَ ، وَالْغِنَى .
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, kesucian (dijauhkan dari hal-hal yang tidak baik), dan kecukupan.”[9]
Penyandaran Kata Takwa Dan Maknanya
Apabila kata takwa digandengkan dengan nama Allah Subhanahu wa Ta’ala , seperti dalam firmanNya,
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“… Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu akan dikumpulkan (kembali).” (al Mâ-idah/5: 96) maka maksudnya ialah takutlah kepada kemurkaan dan kemarahan-Nya karena itu adalah hal paling besar yang harus ditakuti. Hukuman dari Allah di dunia dan akhirat ada karena kemurkaan dan kemarahan-Nya.
Terkadang kata takwa digandengkan dengan hukuman Allah Azza wa Jalla dan tempat hukuman tersebut, seperti Neraka atau waktunya seperti hari Kiamat, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ
“Dan periharalah dirimu dari api Neraka, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” [Ali ‘Imrân/3: 131][10]
وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ
“Dan takutlah pada hari (ketika) kamu semua dikembalikan kepada Allah…” [al-Baqarah/2: 281]
Bertakwa Kepada Allah Azza wa Jalla Di Saat Sendirian Maupun Ramai
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada.” Maksudnya ialah bertakwalah kepada-Nya di saat sepi maupun ramai, atau ketika dilihat manusia maupun tidak dilihat manusia.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan dalam do’anya,
أَسْـأَلُكَ خَشْيَتَكَ فِى الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ…
“Aku memohon kepada-Mu rasa takut kepada-Mu di kala sendirian dan disaksikan orang lain.”[11]
Makna ini diisyaratkan Al-Qur-an, yaitu firman Allah Ta’ala,
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“… Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” [an-Nisâ’/4: 1]
Imam asy-Syâfi’i rahimahullah berkata, “Sesuatu yang paling berharga ada tiga : dermawan meskipun miskin, wara’ (takwa) pada saat sendirian, dan berkata benar di depan orang yang diharapkan dan ditakuti.”[12]
Sulaiman at-Taimi rahimahullah berkata, “Jika seseorang mengerjakan dosa pada saat sendirian, maka pada pagi harinya kehinaan terlihat padanya.”[13]
Orang yang bahagia ialah orang yang memperbaiki diri saat ia sendirian, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memperbaiki kondisi dirinya ketika bersama manusia. Barangsiapa mencari pujian manusia dengan kemurkaan Allah Azza wa Jalla , maka orang yang memujinya akan menjadi penghina baginya.
Kesimpulannya, bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla dikala sendirian adalah pertanda kesempurnaan iman dan mempunyai pengaruh positif, yaitu Allah Azza wa Jalla membuat orang tersebut disanjung oleh orang-orang beriman.
Kiat-Kiat Untuk Meraih Takwa
- Menuntut ilmu syar’i.[14]
- Melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla dan menjauhkan larangan-Nya. Perintah yang paling besar adalah tauhid (mentauhidkan Allah) dan larangan yang paling besar adalah syirik (mempersekutukan Allah).
- Bergaul dengan orang-orang yang shalih.
- Selalu merasa diawasi oleh Allah Azza wa Jalla .
Keutamaan-Keutamaan Takwa
Banyak sekali nash-nash dari al-Qur-an dan As-Sunnah yang menjelaskan tentang keutamaan-keutamaan takwa, di antaranya sebagai berikut:
- Surga diwariskan bagi orang-orang yang bertakwa [Maryam/19: 63].
- Takwa sebagai sebab seorang hamba dicintai oleh Allah [Ali ‘Imrân/3: 76].
- Dibukakannya keberkahan dari langit dan bumi bagi orang yang bertakwa [al-A’râf/7: 96]
- Allah Ta’ala bersama orang-orang yang bertakwa [an-Nahl/16: 128].
- Dimudahkannya urusan di dunia dan akhirat serta dimudahkan rizkinya bagi orang yang bertakwa [ath-Thalâq/65: 4]
- Takwa adalah sebaik-baik bekal seorang hamba di dunia dan di akhirat [al-Baqarah/2:197]
- Kesudahan yang baik di dunia dan akhirat adalah bagi orang-orang yang bertakwa [al-A’râf/7: 128]. Dan yang lainnya.[15]
Ciri-Ciri Orang Yang Bertakwa:
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Rabb-mu dan mendapatkan Surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosanya itu, sedang mereka mengetahui. Balasan bagi mereka ialah ampunan dan Rabb mereka dan Surga-Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan (itulah) sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang beramal.” [Ali ‘Imrân/3:133-136]
MENGIRINGI KESALAHAN DENGAN PERBUATAN BAIK
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Iringilah kesalahan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapus kesalahan tersebut.”
Seorang hamba diperintahkan bertakwa di kala sendirian dan ramai, namun meskipun demikian, ia pasti terkadang lalai dalam bertakwa, misalnya ia tidak mengerjakan sebagian hal-hal yang diperintahkan atau mengerjakan sebagian hal-hal yang dilarang. Oleh karena itu, ia diperintahkan mengerjakan perbuatan yang menghapus kesalahan tersebut. Yaitu mengiringinya dengan perbuatan baik.
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ ۚ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
“Dan laksanakanlah shalat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. [Hûd/11: 114]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا أَذْنَبَ عَبْدٌ ذَنْبًا ، فَقَالَ : رَبِّ إِنِّيْ عَمِلْتُ ذَنْبًا ، فَاغْفِرْ لِيْ ، فَقَالَ اللهُ : «عَلِمَ عَبْدِيْ أَنَّهُ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ ، وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ ، قَدْ غَفَرْتُ لِعَبْدِيْ» ، ثُمَّ إِذَا أَذْنَبَ ذَنْبًا آخَرَ إِلَى أَنْ قَالَ فِى الرَّابِعَةِ : «فَلْيَعْمَلْ مَا شَاءَ».
“Apabila seorang hamba mengerjakan dosa, kemudian ia berkata, ‘Rabb-ku, aku telah mengerjakan dosa maka ampunilah aku.’ Allah Ta’ala berfirman, ‘Hamba-Ku mengetahui bahwa ia mempunyai Rabb yang bisa menganmpuni dosa dan menghukum karena dosa. Sungguh, Aku telah mengampuni hamba-Ku tersebut.’ Kemudian hamba itu mengerjakan dosa yang lain hingga pada kali keempat, Allah Ta’ala berfirman, ‘Silakan ia berbuat apa saja yang ia inginkan.’”[16]
Maksudnya, selagi hamba tersebut dalam kondisi seperti itu ketika ia mengerjakan dosa, yaitu setiap kali ia mengerjakan dosa, ia beristighfar dari dosa tersebut.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَا لَا ذَنْبَ لَهُ.
“Orang yang bertobat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosanya.”[17]
Ditanyakan kepada al-Hasan rahimahullah , “Kenapa salah seorang dari kita tidak malu kepada Rabb-nya? Ia beristighfar atas dosa-dosanya, kemudian berbuat dosa lagi lalu beristighfar lagi, kemudian berbuat dosa lagi?” Al-Hasan berkata, “Setan ingin sekali mengalahkan kalian dengan dosa-dosa tersebut. Oleh karena itu, kalian jangan bosan beristighfar.”[18]
Maknanya, bahwa manusia pasti mengerjakan perbuatan dosa yang telah ditakdirkan baginya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كُتِبَ عَلَى بَنِيْ آدَمَ حَظُّهُ مِنَ الزِّنَى ، فَهُوَ مُدْرِكٌ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ….
“Telah ditetapkan bagi manusia bagiannya dari zina, ia pasti menemuinya, tidak bisa dihindari….”[19]
Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan jalan keluar bagi seorang hamba dari perbuatan dosa yang dilakukannya, dan menghapuskannya dengan tobat dan istighfar. Jika ia melakukan hal, itu maka ia telah terbebas dari kejelekan dosa, tetapi jika ia terus-menerus melakukan dosa maka ia akan binasa.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِارْحَمُوا تُرْحَمُوْا ، وَاغْفِرُوا يُغْفَرْ لَكُمْ ، وَيْلٌ ِلأَقْمَاعِ الْقَوْلِ ، وَيْلٌ لِلْمُصِرِّيْنَ الَّذِيْنَ يَصِرُّوْنَ عَلَى مَا فَعَلُوْا وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ
“Hendaklah kalian menyayangi, niscaya kalian akan disayangi, maafkanlah niscaya kalian dimaafkan, celakalah bagi aqmâ’ul qaul (orang yang mendengarkan perkataan namun tidak mengamalkannya), dan celak bagi orang yang terus-menerus melakukan dosa padahal dia mengetahuinya.”[20]
Tafsir dari aqmâ’ul qaul ialah orang yang kedua telinganya seperti corong; jika ia mendengar hikmah atau pelajaran yang baik dan itu semua masuk ke telinganya lalu keluar dari telinganya yang lain. Ia tidak bisa mengambil manfaat apa pun dari apa yang telah didengarnya.[21]
Makna Dari Perbuatan Baik Yang Mengiringi Kesalahan
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Iringilah kesalahan dengan kebaikan.”
Bisa jadi yang dimaksud dengan kebaikan dalam hadits di atas ialah tobat dari kesalahan tersebut. Seperti firman Allah Ta’ala,
إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِنْ قَرِيبٍ فَأُولَٰئِكَ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ
“Sesungguhnya bertobat kepada Allah itu hanya pantas bagi mereka yang melakukan kejahatan karena tidak mengerti, kemudian segera bertobat. Mereka itulah yang diterima Allah tobatnya…” [an-Nisâ’/4: 17]
Ayat di atas menunjukkan bahwa barangsiapa bertobat kepada Allah dengan tobat nasuha dan syarat-syarat tobatnya lengkap, Allah Azza wa Jalla pasti menerima tobatnya sebagaimana keislaman orang kafir dapat dipastikan diterima jika ia masuk Islam dengan keislaman yang benar. Ini pendapat jumhur ulama.
Atau bisa jadi yang dimaksud dengan kebaikan pada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Iringilah kesalahan dengan kebaikan, “ ialah kebaikan yang lebih umum daripada tobat seperti terlihat dalam firman Allah Ta’ala,
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
“…Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan…” [Hud/11: 114]
Diriwayatkan dari Abu HurairahRadhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
«أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ ؟» قَالُوْا : بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ ، قَالَ : «إِسْبَاغُ الْوُضُوْءِ عَلَى الْمَكَارِهِ ، وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْـمَسَاجِدِ ، وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ ةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ ، فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ ، فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ».
“Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang menghapus kesalahan-kesalahan dan meninggikat derajat-derajat?” Para Shahabat berkata, “Mau, wahai Rasulullah.” Nabi bersabda, “Menyempurnakan wudhu’ pada saat-saat sulit (misalnya pada saat cuaca sangat dingin dll.), banyak melangkah ke masjid-masjid, dan menunggu shalat setelah shalat. Itulah ribath (menunggu di pos penjagaan dengan melaksanakan ketaatan-ketaatan yang disyari’atkan), itulah ribath.”[22]
Hadits-hadits yang semakna dengan ini sangat banyak.[23]
Dosa-Dosa Kecil Bisa Dihapus Dengan Melakukan Amal Shalih Disertai Menjauhi Dosa-Dosa Besar.
Sebagian ulama mengatakan bahwa amal shalih hanya menghapuskan dosa-dosa kecil. Ini pendapat yang diriwayatkan dari ‘Atha’ rahimahullah dan selainnya dari generasi Salaf.
Kaum Muslimin bersepakat bahwa tobat adalah wajib, dan kewajiban-kewajiban itu tidak boleh dilakukan kecuali dengan niat dan kemauan, maka jika seandainya dosa-dosa besar itu bisa diampuni dengan wudhu’, shalat, dan pelaksanaan rukun Islam lainnya, maka tobat tidak dibutuhkan lagi, dan ini jelas bathil menurut ijma’ (kesepakatan). Juga, apabila dosa-dosa besar dapat dihapuskan dengan melaksanakan kewajiban, maka tidak ada satu dosa pun bagi oarang yang melakukan berbagai kewajiban syari’at yang akan memasukkannya ke dalam Neraka. Ini menyerupai pendapat Murjiah, dan ini jelas bathil.[24]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ ، وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ لِـمَـا بَيْنَهُنَّ مَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ
“Shalat lima waktu, Jum’at ke Jum’at, dan Ramadhan ke Ramadhan adalah penghapus dosa-dosa diantara keduanya selagi dosa-dosa besar dijauhi.”[25]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنِ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ صَلَاةٌ مَكْتُوْبَةٌ ، فَيُحْسِنُ وُضُوْءَهَا وَخُشُوْعَهَا وَرُكُوْعَهَا ؛ إِلَّا كَانَتْ كَفَّارَةً لِـمَـا قَبْلَهَا مِنَ الذُّنُوْبِ ؛ مَا لَـمْ يُؤْتِ كَبِيْرَةً ، وَذَلِكَ الدَّهْرَ كُلَّهُ.
“Jika waktu shalat fardhu tiba pada seorang Muslim, kemudian ia menyempurnakan wudhu’, khusyu’, dan ruku’nya, maka shalat wajib tersebut adalah penghapus dosa-dosa sebelum shalat wajib tersebut selagi dosa besar tidak dikerjakan. Itu selama setahun penuh.”[26]
Hadits di atas menunjukkan bahwa dosa-dosa besar tidak bisa dihapus dengan kewajiban-kewajiban seperti di hadits tersebut. Akan tetapi dosa besar akan diampuni bila pelakunya bertobat kepada Allah Ta’ala dengan tobat yang nasuh (ikhas, jujur, dan benar).
Dosa-Dosa Besar Hanya Bisa Dihapuskan Dengan Tobat Nasuha
Jumhur ulama berpendapat bahwa dosa-dosa besar tidak bisa dihapus tanpa dengan tobat karena tobat perintah wajib kepada hamba-hamba Allah, dan ini pendapat yang paling benar di antara dua pandapat para ulama. Allah Azza wa Jalla berfirman,
وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.” [al-Hujuraat/49: 11]
Diantara dalil yang menunjukkan bahwa dosa-dosa besar tidak bisa diampuni tanpa tobat atau hukuman karenanya ialah hadits ‘Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Kami berada di samping Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beliau bersabda,
تُبَايِعُوْنِيْ عَلَى أَنْ لَا تُشْرِكُوْا بِاللهِ شَيْئًا ، وَلَا تَزْنُوْا ،وَلَا تَسْرِقُوْا ، وَلاَ تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْـحَقِّ، فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللهِ. وَمَنْ أَصَابَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَعُوْقِبَ بِهِ ، فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ. وَمَنْ أَصَابَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَسَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ ، فَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ. إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ.
“Berbaitlah kepadaku untuk tidak mempersekutukan Allah dengan suatu apa pun, dan tidak berzina, tidak mencuri, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar. Barangsiapa diantara kalian menepati (bai’at), pahalanya ada pada Allah. Dan barangsiapa mengerjakan salah satu dari perbuatan-perbuatan tersebut kemudian ia dihukum karenanya, maka itu penghapus dosa baginya. Barangsiapa mengerjakan salah satu dari perbuatan-perbuatan tersebut kemudian Allah merahasiakannya baginya, maka ia terserah kepada Allah; jika Dia berkehendak maka Dia memaafkannya dan jika Dia berkehendak maka Dia mengadzabnya.”[27]
Ini menunjukkan bahwa hudûd (hukuman syar’i) adalah penghapus dosa.
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Yang paling benar dalam masalah ini – wallâhu a’alam– yaitu masalah penghapusan dosa-dosa besar dengan amal-amal ialah: jika yang dimaksudkan bahwa dosa-dosa besar dapat dihapus dengan mengerjakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dosa-dosa kecil dapat dihapus dengan menjauhi dosa-dosa besar, maka itu batil. Namun jika yang dimaksud bahwa dosa-dosa besar ditimbang dengan amal-amal pada hari Kiamat kemudian dosa-dosa besar dihapus dengan amal-amal yang mengalahkannya hingga amal-amal tersebut habis dan tidak tersisa pahala bagi pelakunya, maka itu bisa saja terjadi.”[28]
Bertobat Dari Dosa-Dosa Kecil
Seorang Muslim sudah selayaknya bertobat dari dosa-dosa kecil, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla, yang maknanya : Katakanlah kepada laki-laki yang beriman:”Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.Katakanlah kepada wanita yang beriman:”Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka.Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. [an-Nûr: 30-31]
Orang yang berbuat baik adalah orang yang selalu bertobat dari dosa besar dan dosa-dosa kecil dan ia selalu beramal kebajikan yang dapat menghapuskan dosa-dosanya. Jika dosa-dosa kecil yang terus menerus dikerjakan berubah menjadi dosa-dosa besar, maka muhsinûn (orang-orang yang berbuat baik) harus menjauhi sikap terus menerus mengerjakan dosa kecil agar mereka bisa menjauhi dosa-dosa besar. Sebagaimana dikatakan: tidak ada dosa kecil jika terus menerus dikerjakan dan tidak ada dosa besar jika pelakunya beristighfar.
AKHLAK YANG BAIK TERMASUK SIFAT TAKWA
Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan bergaullah sesama manusia dengan akhlak yang baik.”
Berakhlak baik termasuk sifat takwa dan takwa tidak sempurna kecuali dengannya. Beliau menjelaskan hal ini karena ada sebagian orang yang menduga bahwa takwa ialah melaksanakan hak Allah tanpa melaksanakan hak hamba-hamba-Nya. Allah Azza wa Jalla mengkategorikan akhlak yang baik terhadap manusia sebagai bagian dari penguat ketakwaan.
Orang yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَكْمَلُ الْـمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ.
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada isterinya.”[29]
Apa Yang Dimaksud Dengan Akhlak Yang Baik?
Sebagian ulama mengatakan bahwa akhlak yang baik itu berupa menahan gangguan, menahan amarah, memberi bantuan, bersabar terhadap gangguan orang lain, wajah yang berseri, tidak mengganggu orang lain, dan berkorban dalam bentuk memberi bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan. Demikian pula dengan amar ma’ruf nahi munkar serta mengembalikan barang-barang yang dizhalimi tanpa melewati batas.[30]
Kiat Meraih Akhlak Yang Baik
Akhlak yang dikatakan alami (bawaan) artinya bahwa sejak awal seseorang telah dianugerahi akhlak yang baik tersebut. Dan adapula yang tadinya seseorang tidak berakhlak baik, namun ia berusaha membiasakan dirinya berakhlak baik hingga benar-benar memilikinya.[31]
Akhlak seorang hamba akan menjadi baik jika ia mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena beliaulah orang yang mewujudkan kedudukan ini dan sebagai teladannya. Allah Ta’ala berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” [al-Ahzâb/33: 21]
Setiap muslim wajib mempelajari jalan hidup beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari semua sisi kehidupannya, bagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berakhlak terhadap Rabbnya? Bagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berakhlak terhadap kaum Muslimin? Bagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bergaul dengan keluarganya? Bagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bergaul dengan para Shahabatnya? Dan bagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bergaul dengan manusia dan lainnya?
Diantara sebab untuk meraih akhlak yang baik ialah dengan duduk dan bergaul bersama orang yang memiliki akhlak yang baik lagi bertakwa dan suci. Karena seseorang akan terpengaruh dengan teman bergaulnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَلرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُـخَالِلُ
“Seseorang dilihat dari agama temannya, maka hendaklah salah seorang di antara kalian melihat dengan siapa ia berteman.”[32]
Demikian juga ia wajib menjauhkan dirinya dari teman-teman yang buruk lagi jahat yang tidak berakhlak dengan akhlak yang terpuji yang diserukan agama Islam yang lurus ini.[33]
FAWAAID HADITS
- Semangatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengarahkan umatnya kepada setiap kebaikan.
- Wajib bagi seseorang untuk memenuhi hak Allah dengan bertakwa kepada-Nya.
- Wajibnya bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla dimana pun seseorang berada. Yaitu dengan cara melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi seluruh larangan-Nya, baik saat bersama orang lain maupun ketika sendirian.
- Wasiat takwa adalah wasiat yang paling agung.
- Wajib seseorang memenuhi hak dirinya dengan bertobat dan berbuat kebajikan.
- Sesungguhnya kebaikan menghapuskan kesalahan.
- Dosa-dosa kecil dapat dihapus dengan melakukan amal-amal yang wajib dan sunnah sesuai dengan syari’at Islam (ikhlas dan ittiba’).
- Dosa-dosa besar hanya bisa dihapus dengan tobat yang nasuh (ikhlas, jujur, dan benar).
- Anjuran bergaul bersama manusia dengan akhlak yang baik.
- Akhlak yang baik termasuk dari kesempurnaan iman dan sifat orang-orang yang bertakwa, serta termasuk puncak dari agama Islam yang lurus.
- Akhlak yang baik termasuk asas dari peradaban hidup manusia, sebagai sebab bersatunya umat, tersebarnya rasa cinta, dicintai Allah Ta’ala, dan diangkatnya derajat pada hari Kiamat.
- Diantara kesempurnaan takwa ialah membenci pelaku maksiat dan menjauhkan diri dari bermajlis dan bergaul dengan mereka apabila tidak mau diajak kepada kebaikan atau tidak mau berhenti dari kemungkaran.
MARAAJI’
- Al-Qur-an dan terjemahnya.
- Kutubus Sab’ah.
- Shahîh Ibni Hibbân dengan At-Ta’liqâtul Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibbân.
- Sunan ad-Darimi.
- Mustadrak al-Hâkim.
- Al-Mu’jamul Kabîr, karya ath-Thabrani.
- Al-Mu’jamush Shaghîr, karya ath-Thabrani.
- Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqiq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrahim Bâ
- Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah.
- Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr.
- Qawâ’id wa Fawâ-id minal ‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nazhim Muhammad Sulthâ
- Al-Wâfi fii Syarhil ‘Arba’în an-Nawawiyyah,, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
- Syarhul ‘Arba’în an-Nawawiyyah,, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.
- Fawâ-idut Taqwa minal Qur-ânil Karîm karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, cet. I Mu-assasah Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, th. 1428 H.
- At-Taqwa al-Ghâyatul Mansyûdah wad Durratul Mafqûdah karya Syaikh Ahmad Farid, cet. I Darush Shuma’i, th. 1414 H.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XII/1429H/2008M.Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله]
_______
Footnote
[1] Lihat Lisânul ‘Arab (XV/378), karya Ibnul Manzhûr.
[2] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/398).
[3] Atsar shahîh: Diriwayatkan oleh ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Kabîr (no. 8502), al-Hâkim (II/294), Ibnu Jarîr dalam Tafsîr ath-Thabari (III/375-376), dan Ibnu Katsîr dalam Tafsîrnya (II/87).
[4] Iman dan ilmu yang benar dari al-Qur-an dan Sunnah yang shahih berdasarkan pemahaman Salafush Shalih.
[5]Risalah Tabûkiyyah (hal. 15-17). Dinukil dari at-Taqwa al-Ghâyatul Mansyûdah (hal. 11).
[6] Shahîh: Ahmad (V/251), at-Tirmidzi (no. 616), dan Ibnu Hibbân (no. 4544) dari Abu Umâmah Radhiyallahu anhu.
[7] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/406).
[8] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/406).
[9] Shahih: HR. Muslim (no. 2721), at-Tirmidzi (no. 3489), Ibnu Mâjah (no. 3832), dan Ahmad (I/416, 437) dari ‘Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu.
[10] Lihat Qawâ’id wa Fâwâ-id (hal. 160).
[11] Shahih: HR. an-Nasâ-i (III/54-55), Ibnu Hibbân (no. 1971) dan selainnya dari Ammâr bin Yâsir z .
[12] Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/408).
[13] Jâmi’ul ‘Ulûm wal (I/411).
[14] Baca buku penulis “Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga”
[15] Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id (hal. 161) dan Fawâ-id Taqwa minal Qur-ânil Karîm karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn
[16] Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 7507) dan Muslim (no. 2758) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[17] Hasan: HR. Ibnu Mâjah (no. 4250) dari ‘Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu.
[18] Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/415).
[19] Shahîh: HR. Al-Bukhâri (no. 6243) dan Muslim (no. 2657 (20)) dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu.
[20] Shahîh: HR. Ahmad (II/165), al-Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad (no. 380), ‘Abd bin Humaid dalam al-Muntakhab (no. 320) dan selainnya dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu.
[21] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/416).
[22] Shahîh: HR. Muslim (no. 251).
[23] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/416-424) dan Qawâ’id wa Fawâ-id (hal. 163-164).
[24] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/425-426).
[25] Shahîh: HR. Muslim (no. 233).
[26] Shahih: HR. Muslim (no. 228).
[27] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 18) dan Muslim (no. 1709) lafazh ini milik Muslim.
[28] Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/438).
[29] Shahih lighairihi: HR. Ahmad (II/250 dan 472), at-Tirmidzi (no. 1162) dan Ibnu Hibbân (no. 1311—al-Mawârid), dari Abu Hurairah z. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 284).
[30] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/454-458).
[31] Lihat Syarh al-Arba’în an-Nawâwiyyah (hal. 221) karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.
[32] Hasan: HR. Abu Dawud (no. 4833), at-Tirmidzi (no. 2378), Ahmad (II/303), dan al-Hâkim (IV/171). Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 928).
[33] Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id (hal. 167-168).
0 comments:
Post a Comment