64 - وَعَنْ عَائِشَةَ: «أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَبَّلَ بَعْضَ نِسَائِهِ، ثُمَّ خَرَجَ إلَى
الصَّلَاةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ» ، أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَضَعَّفَهُ
الْبُخَارِيُّ
64. Dari Aisyah , “Bahwa Nabi mencium salah seorang
istrinya kemudian keluar shalat dan tidak berwudhu.” (HR. Ahmad dan didha'ifkan
oleh Al Bukhari)
[Shahih: Abu Daud 208]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Tafsir Hadits
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Abu Daud, At Tirmidzi,
An Nasa'i dan Ibnu Majah.
At Tirmidzi berkata, “Saya mendengar Muhammad bin Ismail
mendha'ifkan hadits ini.” dan Abu Daud mengeluarkannya dari jalan Ibrahim At
Taimi dari Aisyah , sementara ia tidak mendengar sesuatu darinya maka hadits
tersebut adalah mursal. An Nasa'i berkata, “Dalam bab ini tidak ada
hadits yang lebih baik darinya, akan tetapi hadits tersebut mursal.” Penulis
berkata, “Diriwayatkan sepuluh jalur dari Aisyah , disebutkan oleh Al Baihaqi
dalam Al Khilafiyat lalu ia mendha'ifkannya.” Ibnu Hazm berkata, “Tidak
ada sedikit pun yang shahih dalam bab ini, meskipun shahih, maka hal itu berlaku
untuk sentuhan yang terjadi sebelum turunya perintah wudhu.”
Jika hal ini telah Anda ketahui, maka hadits tersebut adalah
dalil bahwa menyentuh dan mencium perempuan tidak membatalkan wudhu, dan inilah
hukum dasarnya. Hadits tersebut menetapkan hukum asalnya, dan inilah yang
dipegang oleh Ahlul Bait semuanya, dan dari kalangan shahabat adalah Ali .
Asy-Syafi'iyah berpendapat bahwa menyentuh perempuan yang
haram dinikahi membatalkan wudhu, berdasarkan firman Allah :
{أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ}
“.... atau menyentuh perempuan...” (QS. Al-Maidah [5]:
6), maka wajib berwudhu lantaran menyentuh perempuan. Mereka
berkata, ‘Kata al lams hakikatnya menyentuh dengan tangan, makna ini
dikuatkan oleh bacaan ‘aw lamastumunnisaa’, ayat ini dengan jelas
menunjukkan bahwa hanya dengan sentuhan laki-laki tanpa sentuhan perempuan. Ini
menegaskan bahwa lafazh tersebut tetap pada makna sebenarnya. Bacaan ‘au
lamastum’, demikian pula karena pada dasarnya kedua bacaan itu sama
maknanya.”
Pendapat tersebut dapat dijawab dengan memalingkan makna
sebenarnya, yaitu dengan adanya indikasi (qarinah), sehingga dapat dipahami
secara majaz, yaitu bahwa makna al mulasamah di sini adalah jima’,
demikian pula al-lamas. Qarinahnya adalah hadits Aisyah yang telah
disebutkan. Meskipun terdapat cela sebagaimana yang telah Anda dengar, akan
tetapi masing-masing jalannya menguatkan satu dengan lainnya.
Hadits Aisyah dalam Al Bukhari bahwa ia pernah
tidur terlentang pada kiblat (tempat shalat) Rasulullah . maka jika berdiri
shalat, beliau merabanya lalu memegang kedua kakinya, yaitu ketika beliau sujud,
dan jika beliau berdiri Aisyah membentangkan keduanya. Ini menguatkan hadits
tersebut dan menguatkan tetapnya pada makna asal, serta menunjukkan bahwa bukan
menyentuh (biasa) seperti itu yang membatalkan wudhu.
Adapun alasan penulis dalam Fathul Bari tentang hadits
Aisyah ini bahwa sangat boleh jadi hal itu beliau lakukan dengan kain
penghalang, atau hukumnya khusus baginya, maka hal itu sangat jauh dan
bertentangan dengan zhahir hadits.
Ali menafsirkan Al mulasamah dengan jima, dan juga
ditafsirkan oleh Ibnu Abbas, dialah yang didoakan agar diajarkan ta’wil oleh
Allah. Abdun bin Humaid meriwayatkan darinya bahwa dia menafsirkan
mulasamah setelah meletakkan kedua jari pada telinganya, ‘Ketahuilah,
yaitu bersetubuh’. Dan diriwayatkan darinya oleh Ath Thastisy bahwa ia di
atasnya oleh Nafi bin al Azraq tentang ‘mulasamah’, maka ia menafsirkan
dengan jima.
Di samping itu, susunan ayat dan uslubnya menunjukkan bahwa
yang dimaksud dengan mulasamah adalah jima. Karena Allah menyebutkan
bahwa di antara yang membolehkan tayamum adalah kembali dari buang air besar,
untuk menegaskan atas hadat kecil, dan menyebutkan al mulasamah untuk
menegaskan atas hadats besar. Hal tersebut sepadan dengan firman Allah mengenai perintah mencuci dengan air:
{وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا
فَاطَّهَّرُوا}
“Dan jika kamu junub maka mandilah...” (QS. Al-Maidah
[5]: 6)
Seandainya mulasamah dipahami dengan sentuhan yang
membatalkan wudhu, niscaya akan hilang penegasan bahwa tanah dapat menggantikan
air dalam menghilangkan hadats besar, dan bertentangan dengan awal ayat, dan Al
Hanafiyah memiliki keterangan rinci yang tidak dapat dijadikan sebagai dalil.
=====================
=====================
Kandungan hadits :
. Teks hadits membuktikan bahwa mencium dan menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu. Hadits itu memperkuat hukum asal yang menetapkan bahwa pada dasarnya segalanya tidak membatalkan wudhu ( kecuali ada dalil yang membuktikan sebaiknya ).
. Namun hadits ini bertentangan dengan kata ” laamastum ” dalam firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 43.
Kata lams pada hakikatnya itu berarti menyentuh dengan tangan, meskipun dapat diartikan jima’ ( bersetubuh ) sementara jika berdasarkan bacaan ” lamastum ” maka dhohirnya adalah menyentuh dengan tangan. Kedua bacaan tersebut yaitu laamastum dan lamastum diakui oleh para ulama.
. Yang terbaik adalah menempatkan hadits di atas untuk mencium yang tidak diiringi dengan syahwat, yaitu semacam ciuman kasih sayang. Sementara sekedar bersentuhan dengan wanita tidak membatalkan wudhu berdasarkan kisah Aisyah yang berada melintang didepan nabi saat beliau shalat, beliau meraba-raba kedua kaki Aisyah agar menggesernya.
Pada dasarnya, menyentuh wanita itu tidak membatalkan, namun ia menjadi dugaan kuat munculnya syahwat. Dengan demikian, sekedar bersentuhan normal tanpa syahwat tetap pada hukum asal, yaitu tidak membatalkan.
. Kalaupun diasumsikan hadits diatas berlaku apa adanya, maka hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah karena ia lemah. Bukhari melemahkan hadits tersebut. Para penyusun kitab sunnan juga mengatakan hadits itu mempunyai cacat.
=============================
Fawaid hadits:
1. Menyentuh wanita tidak membatalkan wudlu.
2. Ulama yang menganggap batal berhujjah dengan qiro’at: “au lamastumunnisaa”. Artinya atau kamu memegang wanita. Namun ibnu Abbas menafsirkan bahwa maknanya adalah bersetubuh. Dan penafsiran ibnu Abbas ini yang hendaknya diambil, agar tidak bertabrakan dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam .
3. Indahnya akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam mempergauli istri-istrinya.
65 - وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -
«إذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا، فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ: أَخَرَجَ
مِنْهُ شَيْءٌ، أَمْ لَا؟ فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنْ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ
صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا» أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ.
65. Dari Abu Hurairah ia berkata, ‘Rasulullah bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian mendapatkan sesuatu dalam
perutnya, lalu membuatnya ragu, apakah telah keluar sesuatu darinya ataukah
tidak? Maka janganlah sekali-kali ia keluar dari masjid hingga ia mendengar
suara atau mencium bau.” (HR. Muslim)
[Shahih: Muslim 362]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Tafsir Hadits
Mendengar suara dan mencium bau bukanlah syarat dalam hal
tersebut, akan tetapi yang dimaksudkan adalah adanya keyakinan.
Hadits yang mulia ini adalah salah satu kaidah ushul dan
kaidah fikih yang sangat mulia, yang menunjukkan bahwa segala sesuatu dihukumi
atas tetapnya pada hukum asalnya hingga terjadi keyakinan yang menyelisihinya,
dan bahwa tidak ada pengaruh keraguan yang mencampurinya. Barangsiapa yang ragu
atau mengira bahwa ia berhadats, sementara ia yakin bahwa ia masih suci, maka
hal itu tidak merusak shalatnya hingga ia yakin, sebagaimana yang ditegaskan
sabda beliau, ‘hingga ia mendengar suara atau mencium bau.’ Karena
sesungguhnya beliau mengaitkannya dengan terjadinya yang dapat diindera.
Menyebutkan keduanya hanyalah sebagai misal, jika tidak maka demikianlah semua
hal-hal yang membatalkan wudhu, seperti madzi dan wadi, dan akan datang hadits
Ibnu Abbas: “Sesungguhnya setan mendatangi salah seorang kamu pada pantatnya,
lalu ia mengkhayalkan kepadanya bahwa ia telah berhadats padahal ia tidak
berhadats, maka janganlah ia berpaling hingga ia mendengar suara atau
mendapatkan bau.”
Hadits tersebut umum, baik bagi yang sedang shalat maupun
yang tidak, ini adalah pendapat jumhur, sedang Al Malikiyah memiliki rincian dan
perbedaan antara orang-orang yang sedang shalat dengan yang di luar shalat,
tetapi tidak dapat dijadikan sebagai dalil.
=======================
Fawaid hadits:
1. Hadits ini menunjukkan kepada sebuah kaidah besar yaitu: Al Yaqin laa yazuulu bisyakk “Yang yaqin tidak boleh kalah oleh keraguan”. Karena yang diragukan adalah apakah keluar angin atau tidak, sedangkan yang yaqin adalah ia masih di atas kesucian. Maka keraguan itu hendaknya dibuang.
2. Buang angin membatalkan wudlu.
3. Haramnya keluar dari shalat tanpa sebab yang kuat.
4. Al Khathabi berkata, “Hadits ini menjadi hujjah untuk orang yang mewajibkan hadd atas orang yang tercium dari mulutnya bau arak”.
=============
Kandungan hadits :
. Hadits ini merupakan salah satu kaidah :
اليقين لا يزول بالشّك
” Suatu keyakinan tidak dapat hilang sebab adanya keraguan ”
. Hadits ini merupakan dasar Islam dan kaidah fiqih yang amat penting. Yaitu bahwa suatu perkara dihukumi tetap pada asalnya sehingga diyakini sebaliknya. Keraguan yang muncul tidak mampu membatalkannya.
. Akal normal mengakui kebenaran kaidah tersebut, karena keyakinan lebih kuat daripada keraguan, sebab keyakinan dibangun atas hukum qath’i ( pasti ). Sehingga tidak dapat roboh hanya karena adanya keraguan.
. Jika muncul bayangan keraguan pada diri seseorang, bahwa apakah sesuatu yang membatalkan wudhu telah keluar dari tubuhnya atau tidak, maka ia tetap dalam kondisi suci. Wudhunya tidak batal. Ia tidak perlu membatalkan shalatnya hingga ia yakin bahwa sesuatu itu benar-benar telah keluar, karena keyakinan tidak dapat dihilangkan hanya oleh keraguan.
. Angin yang keluar dari dubur, baik disertai dengan suara maupun tidak, membatalkan wudhu.
. Dilarang membatalkan shalat tanpa sebab yang jelas.
==============================
66 - وَعَنْ طَلْقِ بْنِ عَلِيٍّ - رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ - قَالَ: «قَالَ رَجُلٌ مَسِسْت ذَكَرِي، أَوْ قَالَ: الرَّجُلُ يَمَسُّ
ذَكَرَهُ فِي الصَّلَاةِ، أَعَلَيْهِ الْوُضُوءُ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ - صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - لَا، إنَّمَا هُوَ بَضْعَةٌ مِنْك» أَخْرَجَهُ
الْخَمْسَةُ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ، وَقَالَ ابْنُ الْمَدِينِيِّ: هُوَ
أَحْسَنُ مِنْ حَدِيثِ بُسْرَةَ
66. Dari Thalq bin Ali , ia berkata, “Seorang laki-laki
berkata, ‘Aku menyentuh kemaluanku’, atau ia berkata, ‘Seorang yang menyentuh
kemaluannya dalam shalat, apakah ia wajib berwudhu?” maka Nabi menjawab,
“Tidak, ia hanyalah bagian dari anggota badanmu.” (HR. imam yang lima,
dan dishahihkan Ibnu Hibban, dan Ibnu Al Madini berkata, Hadits ini lebih kuat
dari hadits Busrah)
[Shahih: At Tirmidzi
85]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Biografi Perawi
Al Madini dinisbatkan kepada kakeknya, jika tidak berarti dia
adalah Ibnu Ali bin Abdullah. Adz Dzahabi berkata, “Ia adalah seorang Hafizh
pada masanya, teladan dalam bidang ini. namanya adalah Abu Al Hasan Ali bin
Abdullah dan memiliki berbagai karya ilmiah. Lahir tahun 161 dan di antara
murid-muridnya adalah Al Bukhari dan Abu Daud.”
Ibnu Mahdi berkata, “Ali bin al Madini adalah orang yang
paling tahu mengenai hadits Rasulullah .” An Nasa'i berkata, “seolah-olah Ali
al Madini memang diciptakan untuk ilmu ini.’ An Nawawi berkata, “Ali Al Madini
memiliki sekitar 100 karya ilmiah.”
Penjelasan Kalimat
Aku menyentuh kemaluanku’, atau ia berkata,
‘Seorang yang menyentuh kemaluannya dalam shalat, apakah ia wajib berwudhu?”
maka Nabi menjawab, “Tidak, (artinya tidak wajib
berwudhu) ia hanyalah (yaitu
kemaluan tersebut) bagian dari anggota
badanmu.”(yaitu sama dengan tangan, kaki dan
yang lainnya, dan telah diketahui bahwa tidak perlu berwudhu lagi, bagi yang
menyentuh anggota badannya).
Tafsir Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Ad Daruquthni. Ath
Thahawi berkata, “Isnadnya lurus dan tidak goncang” dan dishahihkan oleh At
Thabrani dan Ibnu Hazm, tetapi didha'ifkan oleh Asy-Syafi'i, Abu Hatim, Abu
Zur’ah, Al Bazzar, Ad Daruquthni, Al Baihaqi dan Ibnu Al Jauzi.
Hadits tersebut adalah dalil bahwa menyentuh kemaluan tidak
membatalkan wudhu, pendapat ini diriwayatkan oleh Ali , Al Hadawiyah, dan Al
Hanafiyah. Sekelompok shahabat dan tabiin berpendapat bahwa menyentuh kemaluan
membatalkan wudhu, dan dari kalangan imam mazhab adalah imam Ahmad dan imam
Asy-Syafi'i, berdasarkan hadits berikut:
67 - وَعَنْ بُسْرَةَ بِنْتِ صَفْوَانَ - رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهَا - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -
قَالَ: «مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ» أَخْرَجَهُ الْخَمْسَةُ، وَصَحَّحَهُ
التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ حِبَّانَ، وَقَالَ الْبُخَارِيُّ: هُوَ أَصَحُّ شَيْءٍ فِي
هَذَا الْبَابِ
67. Dari Busrah binti Shafwan bahwa Rasulullah bersabda, “Barangsiapa menyentuh kemaluannya, maka hendaklah ia
berwudhu.” (HR. Imam yang lima, dishahihkan At Tirmidzi dan Ibnu Hibban. Al
Bukhari berkata, “Hadits tersebut paling shahih dalam bab ini)
[Shahih: Abu Daud 181 dan At Tirmidzi
82]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Biografi Perawi
Busrah, adalah putri Shafwan bin Naufal Al Quraisyiah al
Asadiyah. Termasuk di antara yang berbaian kepada Rasulullah .
Tafsir Hadits
Hadits ini juga dikeluarkan oleh Asy-Syafi'i, Ahmad, Ibnu
Khuzaimah, Al Hakim dan Ibnu Jarud. Ad Daruquthni berkata, “Shahih dan tsabit.”,
dan dishahihkan oleh Yahya bin Ma’in, Al Baihaqi dan Al Hazimi.
Cacat yang ada padanya adalah bahwa ia diriwayatkan oleh
Urwah dari Marwan dan dari seorang laki-laki yang tidak diketahui identitasnya,
hal ini tidak benar karena telah ditegaskan bahwa Urwah telah mendengarnya dari
Busrah tanpa perantara, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Khuzaimah dan yang
lainnya dari para imam hadits. Demikian pula cacat yang terdapat padanya bahwa
Hisyam bin Urwah perawi hadits tersebut dari ayahnya tidak mendengarnya dari
ayahnya. Ini pun tidak benar, karena telah ditegaskan bahwa ia mendengar dari
ayahnya, maka celaan tersebut dapat terbantahkan dan hadits tersebut shahih.
Hadits tersebut dijadikan dalil oleh sekelompok shahabat dan
tabiin, Imam Ahmad dan Imam Asy-Syafi'i bahwa menyentuh kemaluan membatalkan
wudhu. Maksudnya adalah menyentuh tanpa penghalang karena diriwayatkan oleh Ibnu
Hibban dalam shahihnya dari hadits Abu Hurairah:
«إذَا أَفْضَى أَحَدُكُمْ بِيَدِهِ إلَى فَرْجِهِ
لَيْسَ دُونَهَا حِجَابٌ وَلَا سِتْرٌ فَقَدْ وَجَبَ عَلَيْهِ
الْوُضُوءُ»
“Apabila salah seorang dari kalian menyentuhkan tangannya
kepada kemaluannya, yang tidak terdapat penghalang dan penutup di antaranya,
maka wajib baginya wudhu.” [1]
Dishahihkan oleh Al Hakim dan Ibnu Abdil Barr. Ibnu As Sakan
berkata, hadits ini paling baik yang diriwayatkan dalam bab ini.
Asy-Syafi'iyah berdalil bahwa yang dimaksud dengan
ifdha adalah dengan menyentuhkan telapak tangan bagian dalam, dan tidak
batal jika menyentuh kemaluan dengan bagian luar telapak tangan. Para peneliti
menjawabnya bahwa ifdha menurut bahasa adalah sampai, lebih umum daripada
hanya bagian luar atau bagian dalam telapak tangan. Ibnu Hazm berkata, “Tidak
ada dalil atas apa yang mereka katakan, baik dari Al Qur'an, Sunnah, ijma,
perkataan shahabat dan qiyas, bahkan tidak ada pendapat yang shahih.”
Hadits Busrah diperkuat oleh hadits-hadits lainnya dari 17
orang shahabat, yang disebutkan dalam buku-buku hadits, di antara adalah Thalq
bin Ali perawi yang meriwayatkan hadits bahwa menyentuh kemaluan tidak
membatalkan wudhu. Juga diriwayatkan darinya bahwa hal itu membatalkan wudhu.
Bagi yang menyebutkan hadits bahwa hal itu tidak membatalkan wudhu memahami
bahwa hadits itu datang lebih dulu. Karena ia datang pada awal hijrah sebelum
Rasulullah SAW memakmurkan masjidnya, maka haditsnya mansukh dengan hadits
Busrah, karena ia masuk Islam belakangan.
Yang lebih baik dari naskh adalah pendapat mengenai
tarjih, karena hadits Busrah lebih kuat, lantaran banyaknya para imam
yang menshahihkannya dan banyaknya syahidnya. Dan karena Busrah
menceritakannya di negeri kaum Muhajirin dan Anshar yang jumlah mereka cukup
banyak dan tidak ada seorang pun yang membantahnya. Bahkan kami mengetahui bahwa
sebagian mereka cenderung kepadanya, dan ini yang dipegang oleh Urwah dalam
riwayatnya, sebab ia kembali kepada pendapat tersebut, walaupun sebelumnya ia
membantahnya. Ibnu Umar juga meriwayatkan darinya serta ia senantiasa berwudhu
jika menyentuh kemaluannya, hingga meninggal dunia.
Al Baihaqi berkata, “Hadits Busrah menjadi lebih kuat dari
hadits Thalq bin Ali karena kedua penulis kitab shahih tidak meriwayatkan
hadits Thalq, dan keduanya tidak berhujjah dengan seorang pun perawinya.
Sebaliknya, keduanya berhujjah dengan para perawi hadits Busrah, kemudian hadits
Thalq termasuk di antara riwayat Qias bin Thalq. Asy-Syafi'i berkata “Kami telah
bertanya tentang Qias bin Thalq, dan tidak ada seorang pun yang mengenalnya,
sehingga kami tidak menerima khabar yang disampaikannya.” Abu Hatim dan Abu
Zur’ah berkata, “Qais bin Thalq tidak termasuk yang dapat dijadikan hujjah,
keduanya menganggapnya lemah.”
Adapun Malik, karena menurutnya kedua hadits tersebut
bertentangan, maka ia berpendapat bahwa menyentuh kemaluan harus berwudhu,
hukumnya sunnah bukan wajib.
______________
[1] [Shahih Ibnu Hibban 1118, Ta’liq
Al-Albani: Shahih: Al Mawarid 210, Ash Shahihah 1235 –ebook editor]
67 - وَعَنْ بُسْرَةَ بِنْتِ صَفْوَانَ - رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهَا - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -
قَالَ: «مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ» أَخْرَجَهُ الْخَمْسَةُ، وَصَحَّحَهُ
التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ حِبَّانَ، وَقَالَ الْبُخَارِيُّ: هُوَ أَصَحُّ شَيْءٍ فِي
هَذَا الْبَابِ
67. Dari Busrah binti Shafwan bahwa Rasulullah bersabda, “Barangsiapa menyentuh kemaluannya, maka hendaklah ia
berwudhu.” (HR. Imam yang lima, dishahihkan At Tirmidzi dan Ibnu Hibban. Al
Bukhari berkata, “Hadits tersebut paling shahih dalam bab ini)
[Shahih: Abu Daud 181 dan At Tirmidzi
82]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Biografi Perawi
Busrah, adalah putri Shafwan bin Naufal Al Quraisyiah al
Asadiyah. Termasuk di antara yang berbaian kepada Rasulullah .
Tafsir Hadits
Hadits ini juga dikeluarkan oleh Asy-Syafi'i, Ahmad, Ibnu
Khuzaimah, Al Hakim dan Ibnu Jarud. Ad Daruquthni berkata, “Shahih dan tsabit.”,
dan dishahihkan oleh Yahya bin Ma’in, Al Baihaqi dan Al Hazimi.
Cacat yang ada padanya adalah bahwa ia diriwayatkan oleh
Urwah dari Marwan dan dari seorang laki-laki yang tidak diketahui identitasnya,
hal ini tidak benar karena telah ditegaskan bahwa Urwah telah mendengarnya dari
Busrah tanpa perantara, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Khuzaimah dan yang
lainnya dari para imam hadits. Demikian pula cacat yang terdapat padanya bahwa
Hisyam bin Urwah perawi hadits tersebut dari ayahnya tidak mendengarnya dari
ayahnya. Ini pun tidak benar, karena telah ditegaskan bahwa ia mendengar dari
ayahnya, maka celaan tersebut dapat terbantahkan dan hadits tersebut shahih.
Hadits tersebut dijadikan dalil oleh sekelompok shahabat dan
tabiin, Imam Ahmad dan Imam Asy-Syafi'i bahwa menyentuh kemaluan membatalkan
wudhu. Maksudnya adalah menyentuh tanpa penghalang karena diriwayatkan oleh Ibnu
Hibban dalam shahihnya dari hadits Abu Hurairah:
«إذَا أَفْضَى أَحَدُكُمْ بِيَدِهِ إلَى فَرْجِهِ
لَيْسَ دُونَهَا حِجَابٌ وَلَا سِتْرٌ فَقَدْ وَجَبَ عَلَيْهِ
الْوُضُوءُ»
“Apabila salah seorang dari kalian menyentuhkan tangannya
kepada kemaluannya, yang tidak terdapat penghalang dan penutup di antaranya,
maka wajib baginya wudhu.” [1]
Dishahihkan oleh Al Hakim dan Ibnu Abdil Barr. Ibnu As Sakan
berkata, hadits ini paling baik yang diriwayatkan dalam bab ini.
Asy-Syafi'iyah berdalil bahwa yang dimaksud dengan
ifdha adalah dengan menyentuhkan telapak tangan bagian dalam, dan tidak
batal jika menyentuh kemaluan dengan bagian luar telapak tangan. Para peneliti
menjawabnya bahwa ifdha menurut bahasa adalah sampai, lebih umum daripada
hanya bagian luar atau bagian dalam telapak tangan. Ibnu Hazm berkata, “Tidak
ada dalil atas apa yang mereka katakan, baik dari Al Qur'an, Sunnah, ijma,
perkataan shahabat dan qiyas, bahkan tidak ada pendapat yang shahih.”
Hadits Busrah diperkuat oleh hadits-hadits lainnya dari 17
orang shahabat, yang disebutkan dalam buku-buku hadits, di antara adalah Thalq
bin Ali perawi yang meriwayatkan hadits bahwa menyentuh kemaluan tidak
membatalkan wudhu. Juga diriwayatkan darinya bahwa hal itu membatalkan wudhu.
Bagi yang menyebutkan hadits bahwa hal itu tidak membatalkan wudhu memahami
bahwa hadits itu datang lebih dulu. Karena ia datang pada awal hijrah sebelum
Rasulullah memakmurkan masjidnya, maka haditsnya mansukh dengan hadits
Busrah, karena ia masuk Islam belakangan.
Yang lebih baik dari naskh adalah pendapat mengenai
tarjih, karena hadits Busrah lebih kuat, lantaran banyaknya para imam
yang menshahihkannya dan banyaknya syahidnya. Dan karena Busrah
menceritakannya di negeri kaum Muhajirin dan Anshar yang jumlah mereka cukup
banyak dan tidak ada seorang pun yang membantahnya. Bahkan kami mengetahui bahwa
sebagian mereka cenderung kepadanya, dan ini yang dipegang oleh Urwah dalam
riwayatnya, sebab ia kembali kepada pendapat tersebut, walaupun sebelumnya ia
membantahnya. Ibnu Umar juga meriwayatkan darinya serta ia senantiasa berwudhu
jika menyentuh kemaluannya, hingga meninggal dunia.
Al Baihaqi berkata, “Hadits Busrah menjadi lebih kuat dari
hadits Thalq bin Ali karena kedua penulis kitab shahih tidak meriwayatkan
hadits Thalq, dan keduanya tidak berhujjah dengan seorang pun perawinya.
Sebaliknya, keduanya berhujjah dengan para perawi hadits Busrah, kemudian hadits
Thalq termasuk di antara riwayat Qias bin Thalq. Asy-Syafi'i berkata “Kami telah
bertanya tentang Qias bin Thalq, dan tidak ada seorang pun yang mengenalnya,
sehingga kami tidak menerima khabar yang disampaikannya.” Abu Hatim dan Abu
Zur’ah berkata, “Qais bin Thalq tidak termasuk yang dapat dijadikan hujjah,
keduanya menganggapnya lemah.”
Adapun Malik, karena menurutnya kedua hadits tersebut
bertentangan, maka ia berpendapat bahwa menyentuh kemaluan harus berwudhu,
hukumnya sunnah bukan wajib.
______________
[1] [Shahih Ibnu Hibban 1118, Ta’liq
Al-Albani: Shahih: Al Mawarid 210, Ash Shahihah 1235 –ebook editor]
======================
======================
Kandungan hadits No 64:
. Teks hadits membuktikan bahwa mencium dan menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu. Hadits itu memperkuat hukum asal yang menetapkan bahwa pada dasarnya segalanya tidak membatalkan wudhu ( kecuali ada dalil yang membuktikan sebaiknya ).
. Namun hadits ini bertentangan dengan kata ” laamastum ” dalam firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 43.
Kata lams pada hakikatnya itu berarti menyentuh dengan tangan, meskipun dapat diartikan jima’ ( bersetubuh ) sementara jika berdasarkan bacaan ” lamastum ” maka dhohirnya adalah menyentuh dengan tangan. Kedua bacaan tersebut yaitu laamastum dan lamastum diakui oleh para ulama.
Kata lams pada hakikatnya itu berarti menyentuh dengan tangan, meskipun dapat diartikan jima’ ( bersetubuh ) sementara jika berdasarkan bacaan ” lamastum ” maka dhohirnya adalah menyentuh dengan tangan. Kedua bacaan tersebut yaitu laamastum dan lamastum diakui oleh para ulama.
. Yang terbaik adalah menempatkan hadits di atas untuk mencium yang tidak diiringi dengan syahwat, yaitu semacam ciuman kasih sayang. Sementara sekedar bersentuhan dengan wanita tidak membatalkan wudhu berdasarkan kisah Aisyah yang berada melintang didepan nabi saat beliau shalat, beliau meraba-raba kedua kaki Aisyah agar menggesernya.
Pada dasarnya, menyentuh wanita itu tidak membatalkan, namun ia menjadi dugaan kuat munculnya syahwat. Dengan demikian, sekedar bersentuhan normal tanpa syahwat tetap pada hukum asal, yaitu tidak membatalkan.
Pada dasarnya, menyentuh wanita itu tidak membatalkan, namun ia menjadi dugaan kuat munculnya syahwat. Dengan demikian, sekedar bersentuhan normal tanpa syahwat tetap pada hukum asal, yaitu tidak membatalkan.
. Kalaupun diasumsikan hadits diatas berlaku apa adanya, maka hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah karena ia lemah. Bukhari melemahkan hadits tersebut. Para penyusun kitab sunnan juga mengatakan hadits itu mempunyai cacat.
============================
Fawaid hadits 66-67:
1. Dua hadits di atas saling bertentangan, dan para ulama berbeda pandangan dalam menghadapinya. Sebagian mengambil tata cara pengkompromian dua hadits tsb, karena kedua duanya shahih.
Dan sebagian mengambil tata cara tarjih, dengan lebih mengunggulkan hadits Busroh di atas hadits Thalq. Dan sebagian ulama sebaliknya.
Sebagian mengatakan bahwa hadits Busroh lebih terakhir, sehingga hadits Thalq sudah mansukh.
Yang paling rajih -Wallahu a’lam- adalah pendapat syaikhul islam ibnu Taimiyah, yaitu bahwa perintah berwudlu di bawa kepada makna sunnah, karena perintah tsb dipalingkan dari wajib kepada sunnah, dan yang memalingkannya adalah hadits Thalq..
0 comments:
Post a Comment