62 - وَعَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا -
قَالَتْ: «جَاءَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبِي حُبَيْشٍ إلَى النَّبِيِّ - صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إنِّي امْرَأَةٌ
أُسْتَحَاضُ فَلَا أَطْهُرُ، أَفَأَدَعُ الصَّلَاةَ؟ قَالَ: لَا إنَّمَا ذَلِكِ
عِرْقٌ، وَلَيْسَ بِحَيْضٍ: فَإِذَا أَقْبَلَتْ حَيْضَتُك فَدَعِي الصَّلَاةَ،
وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْك الدَّمَ ثُمَّ صَلِّي» - وَلِلْبُخَارِيِّ "
ثُمَّ تَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلَاةٍ " وَأَشَارَ مُسْلِمٌ إلَى أَنَّهُ حَذَفَهَا
عَمْدًا
62. Dari Aisyah ia berkata, ‘Fathimah binti Abu Hubaisy
datang kepada Nabi lalu berkata, “Wahai Rasululla, aku adalah perempuan yang
istihadhah maka aku tidak suci, apakah aku meninggalkan shalat?” Beliau
menjawab, “Jangan, itu hanyalah peluh, bukan haidh. Maka jika haidhmu datang,
tinggalkanlah shalat, dan jika telah berlalu maka cucilah darahmu kemudian
shalatlah.” (Muttafaq alaih) dan menurut Al Bukhari, “Kemudian
berwudhulah untuk setiap shalat.” Muslim mengisyaratkan bahwa ia
menggugurkannya dengan sengaja.
[Shahih: Al Bukhari 228 dan Muslim
333]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
Fathimah binti Abu Hubaisy datang
(Fatimah dari Quraisy Asadiyah, yaitu istri Abdullah bin Jahsy) kepada Nabi lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku adalah perempuan
yang istihadhah (istihadhah yaitu keluarnya darah dari kemaluan perempuan
bukan pada waktunya) maka aku tidak suci, apakah aku
meninggalkan shalat?” Beliau menjawab, “Jangan, itu hanyalah peluh,
(Dalam Fathul Bari sesungguhnya ini yang disebut adzil
(keringat panas. Dan disebut adzir (kotoran) sebagaimana dalam Al
Qamus) bukan haidh. (karena haidh itu keluar
dari bagian rahim perempuan, ini adalah pemberitahuan berbedanya kedua tempat
keluar itu, dan jawaban atas perkataan, ‘aku tidak suci’, karena ia berkeyakinan
bahwa sucinya orang yang haidh tidak dapat diketahui kecuali dengan berhentinya
darah, maka ia menamainya tidak suci lantaran keluarnya secara terus-menerus,
dan ia telah mengetahui bahwa perempuan haidh tidak boleh shalat, ia mengira
bahwa hukum tersebut berlaku bersama keluarnya darah, maka Nabi menerangkan
kepadanya bahwa di rahim bukan haidh, dia dalam keadaan suci dan wajib
melaksanakan shalat) Maka jika haidhmu datang,
(maksud iqbal adalah mulainya darah haidh) tinggalkanlah shalat, (mencakup larangan shalat bagi
perempuan haidh, dan haramnya serta rusaknya shalatnya, ini adalah kesepakatan
para ulama) dan jika telah berlalu (yaitu mulai
berhenti) maka cucilah darahmu (yakni mandilah,
dipahami dari dalil lainnya) kemudian shalatlah.”
Tafsir Hadits
Hadits tersebut adalah dalil terjadinya istihadhah.
Darah istihadhah memiliki hukum yang berbeda dengan hukum haidh. Dan telah
diterangkan oleh beliau dengan sempurna, karena beliau telah memberikan
fatwa kepada fatimah bahwa ia tidak boleh meninggalkan shalat meski darah tetap
mengalir. Ia juga harus menunggu datangnya waktu haidh lalu meninggalkan shalat
padanya, dan jika telah berlalu maka ia mencuci darah tersebut lalu mandi.
Sebagaimana yang diriwayatkan dalam beberapa jalur Al Bukhari, ‘Dan
mandilah” dan pada sebagiannya – sebagaimana riwayat penulis, hanya
disebutkan mencuci darah.
Walhasil, bahwa beliau telah menyebutkan dua hal tersebut
dalam beberapa hadits shahih, yaitu mencuci darah dan mandi. Hanya saja,
sebagian perawi hanya menyebutkan salah satunya dan yang lainnya menyebutkan
yang kedua. Kemudian beliau menyuruhnya shalat setelah itu.
Sekarang, pembicaraannya adalah bagaimana mengetahui datang
dan berlalunya masa haidh sementara darah terus keluar, karena syariat telah
mengaitkan istihadhah dengan hukum datang dan berlalunya haidh, dan hal
itu mengindikasikan bahwa hal tersebut dapat dibedakan dengan suatu tanda.
Dalam hal ini para ulama terbagi dua pendapat:
pertama; bahwa hal itu dapat dibedakan dengan merujuk
kepada kebiasaannya. Mulainya adalah keluarnya darah pada hari pertama menurut
kebiasaannya, dan selesainya dengan berlalunya hari-hari sesuai dengan
kebiasaannya. Merujuk kepada hari-hari kebiasaan diriwayatkan dalam hadits
Fatimah dalam salah satu riwayat dengan lafazh: “Tinggalkanlah shalat
sebanyak hari yang engkau biasa haidh padanya.” Dan akan datang pada bab
haidh penegasan pembicaraan masalah itu.
kedua; kerujuk kepada sifat darah, sebagaimana yang
akan datang pada hadits Aisyah pada kisah Fathimah binti Hubaisy dengan
lafazh: “Sesungguhnya darah haidh itu dalam hitam yang dikenal, jika yang
demikian itu maka janganlah engkau shalat, dan jika yang lain maka berwudhu dan
shalatlah.”, dan akan disebutkan pada bab haidh- Insya Allah- maka mulainya
haidh ketika adanya sifat tersebut, dan berakhirnya dengan hilangnya sifat
tersebut. Juga akan disebutkan bagaimana mengembalikan kepada kebiasaan
perempuan, akan disebutkan penegasan semua itu, termasuk perbedaan para ulama,
dan bahwa semuanya berpendapat dengan mengamalkan salah satu di antara
tanda-tanda tersebut.
‘Dan bagi Al Bukhari’, artinya dari
hadits Aisyah ini ada tambahan, ‘Kemudian wudhulah untuk setiap
shalat.’ Dan Muslim telah mengisyaratkan bahwa ia telah menggugurkannya
dengan sengaja, karena ia berkata dalam Shahih-nya setelah menyebutkan
hadits tersebut, “Dan dalam hadits Hammad ada yang tidak kami sebutkan.”
Al Baihaqi berkata, yaitu sabdanya ‘berwudhulah’,
karena ini adalah tambahan yang tidak kuat, dan bahwa sebagian perawi
meriwayatkannya secara sendirian tanpa yang lainnya, dari para perawi yang
meriwayatkan hadits tersebut. Akan tetapi, telah ditetapkan oleh penulis dalam
Al Fath bahwa ia ditegaskan dari beberapa jalan yang menafikan bahwa
Muslim meriwayatkannya sendirian.
Perlu diketahui bahwa penulis menyebutkan hadits istihadhah
dalam bab hal-hal yang membatalkan wudhu, dan sebenarnya tidak sesuai dengan bab
ini kecuali tambahan tadi bukan asal hadits, karena termasuk hukum istihadhah
dan haidh, dan akan diulanginya nanti pada babnya. Tambahan inilah yang menjadi
hujjah bahwa darah istihadhah termasuk hadats yang membatalkan wudhu. Oleh
karenanya, maka syariat memerintahkan berwudhu darinya untuk setiap shalat,
hanya saja wudhu menghilangkan hukumnya karena shalat, maka jika ia telah
selesai shalat maka wudhunya pun batal, dan inilah pendapat jumhur bahwa ia
berwudhu untuk setiap shalat.
Al Hadawiyah dan Al Hanafiyah berpendapat bahwa ia berwudhu
untuk setiap waktu shalat, dan wudhu tersebut berkaitan dengan waktu, kemudian
ia shalat fardhu pada waktu itu dan shalat-shalat sunnah yang
dikehendakinya. Ia diperbolehkan menjamak dua shalat fardhu bagi
yang membolehkannya, yaitu lantaran udzur.
Al Malikiyah berpendapat bahwa disunnahkan wudhu dan tidak
wajib melainkan untuk hadats lainnya, dan hal tersebut akan ditegaskan pada
hadits Hamnah binti Jahsy dalam bab haidh –Insya Allah-. Juga akan disebutkan
hukum-hukum yang diperbolehkan bagi perempuan yang sedang istihadhah dan yang
membedakannya dengan haidh, karena memang tempatnya untuk mengomentarinya. Dalam
Asy Syarh hal ini disebutkan, adapun di sini tidak disebutkan haditsnya
karena dianggap bahwa istihadhah membatalkan wudhu.
=================
1. Keluarnya darah dari kemaluan membatalkan wudlu. Maka wajib berwudlu bagi wanita istihadlah setiap kali hendak shalat.
2. Darah istihadlah bukan haidl, maka tetap wajib shalat, puasa dan lainnya walaupun darahnya terus mengalir, juga diperbolehkan jima’.
3. Wajibnya mencuci darah haidl.
4. “Cucilah darahmu” maksudnya darah haidl. Ini menunjukkan darah istihadlah tidak najis, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyuruhnya mencucinya.
==================
Kandungan hadits :
. Sesuatu yang keluar dari salah satu jalan membatalkan wudhu. Diantaranya darah haid.
. Darah istihadhah bukan darah haid.
. Ciri-ciri darah istihadhah ialah merah terang encer tidak berbau, sementara darah haid hitam panas dan berbau tidak sedap.
. Darah istihadhah tidak mencegah pelaksanaan ibadah dan pekerjaan lainya yang pelaksanaan nya memerlukan kesucian dari haid.
. Wanita yang sedang haid diharamkan melakukan shalat.
. Wanita yang haid tidak perlu mengqadha shalatnya setelah ia bersih.
0 comments:
Post a Comment