Oleh Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
رُوِيَ عَنْ أَبِي رَافِعٍ رضي الله عنه قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم أَذَّنَ فِى أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِىٍّ رضي الله عنهما حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ – بِالصَّلاَةِ
Diriwayatkan dari Abu Rafi’ Radhiyallahu anhu , beliau berkata, “Aku melihat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan adzan shalat di telinga al-Hasan bin ‘Ali Radhiyallahu anhuma ketika (ibunya) Fathimah Radhiyallahu anhuma melahirkannya.”
Hadits ini sangat populer dan diamalkan oleh banyak kaum Muslimin, karena mereka menyangka hadits ini shahih atau paling tidak bisa dijadikan sebagai argumentasi karena jalur periwayatannya banyak.
Padahal kenyataannya, hadits ini lemah pada semua jalurnya bahkan sangat fatal kelemahannya, bahkan ada riwayat yang palsu, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai sandaran dalam beramal, sebagaimana yang akan kami jelaskan, insya Allâh.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan banyak kaum Muslimin mengamalkan hadits ini atau menganggapnya sebagai hadits yang benar penisbatannya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , di antaranya:
1- Imam at-Tirmidzi yang meriwayatkan hadits ini, menghukuminya sebagai hadits hasan shahîh.[1]
2- Imam an-Nawawi juga membawakan hadits ini dalam kitab al-Adzkâr[2] dan terkesan menguatkannya.
3- Imam Ibnul Qayyim menguatkan hadits ini dengan membawakan tiga riwayat hadits ini dari tiga Shahabat Radhiyallahu anhum , bahkan beliau mencantumkannya dalam bab “Anjuran membacakan adzan di telinga kanan bayi yang baru lahir dan iqamah di telinga kirinya”[3].
4- Syaikh al-Albani pada mulanya menghukumi hadits ini sebagai hadits yang hasan, karena ada sanad riwayat hadits ini yang belum beliau teliti, disebabkan kitab yang menukilnya belum dicetak. Kemudian setelah beliau teliti kembali, pada akhirnya beliau rujuk dan menghukumi hadits ini sebagai hadits lemah, sedangkan riwayat lain yang mendukungnya sangat lemah dan palsu[4].
Tujuan kami menyebutkan nukilan dari para Ulama tersebut di atas sama sekali bukan untuk merendahkan atau menjatuhkan kedudukan mereka, karena mereka adalah para Ulama Ahlus sunnah yang telah dikenal keilmuan mereka, termasuk dalam ilmu hadits, baik dalam riwayah maupun dirâyah.
Namun, karena penjelasan mereka banyak tersebar dan dijadikan rujukan dalam masalah yang sedang kita bahas ini, maka kami perlu menjelaskan derajat dan kedudukan hadits ini yang benar – insya Allâh – tentu dengan menukil keterangan ilmiyah dari para Ulama Ahlus sunnah lainnya, wallâhul musta’ân.
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Abu Dâwud (no. 5105), at-Tirmidzi (no. 1514), Ahmad (6/9, 391 dan 392), al-Hâkim (3/197), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (1/315 dan 3/30) dan lain-lain, dengan sanad mereka semua dari ‘Âshim bin ‘Ubaidillah, dari ‘Ubaidullah bin Abi Rafi’, dari Abu Rafi’ Radhiyallahu anhu , dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Hadits ini adalah hadits yang lemah bahkan sangat lemah, dalam sanadnya ada rawi yang bernama ‘Âshim bin ‘Ubaidillah al-‘Adawi al-Madani. Imam Ibnu Hajar rahimahullah berkata tentang orang ini, “Dia lemah (riwayatnya).”[5]
Bahkan beberapa imam Ahli hadits yang terdahulu menyebutkan kelemahannya yang parah. Imam Abu Hâtim dan Abu Zur’ah berkata, “Haditsnya mungkar (sangat lemah)”. Imam ad-Daraquthni berkata, “Haditsnya ditinggalkan dan dia selalu lalai.”[6]
Imam Ibnu Hibban mengisyaratkan kelemahan hadits ini dalam kitab al-Majrûhîn (2/128).
Imam Ibnul Qaththan menghukumi hadits ini sebagai hadits yang lemah. Ini diikuti oleh Imam al-‘Iraqi[7].
Imam adz-Dzahabi menegaskan kelemahan hadits ini ketika beliau membantah ucapan Imam al-Hâkim yang menshahihkan hadits ini, Imam adz-Dzahabi berkata, “‘Ashim bin ‘Ubaidillah lemah (riwayatnya). Bahkan dalam kitab Mîzânul I’tidâl (2/354) beliau membawakan hadits ini sebagai contoh hadits lemah yang diriwayatkan oleh rawi ini.
Imam Ibnu Hajar juga melemahkan hadits ini, beliau berkata, “Pertemuan sanad hadits ini pada ‘Ashim bin ‘Ubaidillah dan dia lemah (riwayatnya)”[8].
Hadits ini juga diriwayatkan dari jalur lain dari Abu Rafi’ Radhiyallahu anhu , dikeluarkan oleh Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (1/313 dan 3/31). Jalur ini juga sanadnya sangat lemah karena ada rawi yang bernama Hammad bin Syu’aib. Para Ulama melemahkan riwayatnya, bahkan Imam al-Bukhâri berkata, “Para Ulama Ahli hadits meninggalkan (riwayat) haditsnya (karena kelemahannya yang fatal).”[9]
Imam al-Haitsami menyatakan kelemahan hadits ini yang sangat parah, beliau berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Kabîr dan di dalam sanadnya ada (rawi yang bernama) Hammad bin Syu’aib, dia sangat lemah (riwayatnya)”[10].
Kesimpulannya, hadits ini adalah hadits yang lemah atau bahkan sangat lemah.
Hadits yang semakna dengan hadits di atas juga diriwayatkan dari empat Shahabat lain, ‘Abdullah bin ‘Abbâs Radhiyallah anhuma , ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma , al-Husein bin ‘Ali Radhiyallahu anhuma dan Ummul Fadhl bintu al-Hârits al-Hilâliyah Radhiyallahu anhu, akan tetapi semua hadits ini juga sangat lemah atau bahkan palsu.
1- Hadits riwayat ‘Abdullah bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan adzan di telinga kanan al-Hasan bin ‘Ali Radhiyallahu anhuma dan iqamah di telinga kirinya pada hari dia dilahirkan.
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqi dalam Syu’abul Îmân (6/390) dan beliau mengatakan bahwa dalam sanadnya ada kelemahan.
Bahkan hadits ini sangat lemah atau bisa dikatakan hadits palsu, karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama al-Hasan bin ‘Amr bin Saif as-Sadusi al-‘Abdi. Imam adz-Dzahabi berkata, “Dia dinyatakan pendusta oleh (Imam) ‘Ali bin al-Madini. Imam al-Bukhâri berkata, “Dia pendusta.” Imam ar-Razi berkata, “Dia ditinggalkan (riwayatnya)”[11]
2- Hadits riwayat ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan adzan di telinga al-Hasan dan al-Husein Radhiyallahu anhuma ketika keduanya dilahirkan. Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Tamam ar-Râzi dalam al-Fawâ-id (1/147).
Hadits ini juga adalah hadits yang sangat lemah atau palsu, karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama al-Qâsim bin Hafsh al-‘Umari, nama lengkapnya al-Qasim bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin Hafsh bin ‘Ashim ‘al-‘Umari al-Madani. Imam Ibnu Hajar berkata tentangnya, “Dia ditinggalkan (riwayatnya), Imam Ahmad menuduhnya berdusta”[12].
3- Hadits riwayat al-Husein bin ‘Ali Radhiyallahu anhuma bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang anaknya baru lahir, lalu dia membacakan adzan di telinga kanannya dan iqamah di telinga kirinya, maka jin (setan) yang mengikutinya tidak akan (bisa) membahayakannya”. Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Abu Ya’la dalam al-Musnad(12/150, no. 6780), al-Baihaqi dalam Syu’abul Îmân (6/390) dan lain-lain.
Hadits ini adalah hadits palsu, karena dalam sanadnya ada dua rawi pemalsu hadits, yaitu Yahya bin al-‘Ala’ al-Bajali dan Marwan bin Salim al-Gifari. Imam Ahmad berkata tentang Yahya bin al-‘Ala’, “Dia adalah pendusta yang memalsukan hadits”. Imam ad-Daraquthni berkata, “Haditsnya ditinggalkan (karena kelemahannya yang sangat fatal)”[13]. Imam Ibnu Hajar berkata tentang Marwan bin Salim, “Dia ditinggalkan (riwayatnya), Imam as-Saji dan lainnya menuduhnya memalsukan hadits”[14].
Imam al-Baihaqi dan al-‘Iraqi menghukumi hadits ini sebagai hadits yang lemah[15], sedangkan Imam al-Haitsami menyatakan kelemahannya yang fatal dengan ucapan beliau, “Dalam sanadnya ada Marwan bin Salim al-Gifari, dia ditinggalkan (riwayatnya)”[16].
Hadits ini dihukumi sebagai hadits palsu oleh Imam adz-Dzahabi, al-Munâwi dan Syaikh al-Albani.[17]
4- Hadits riwayat Ummul Fadhl bintu al-Hârits al-Hilâliyah Radhiyallahu anha bahwa ketika dia melahirkan anaknya, dia membawanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka Beliau n membacakan adzan di telinga kanannya dan iqamah di telinga kirinya… Hadits ini dikeluarkan oleh Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausath (9/101), al-Khathib al-Bagdadi dalam Târîkh Bagdad (1/63) dan lain-lain.
Hadits ini juga sangat lemah atau bahkan palsu, dalam sanadnya ada rawi yang bernama Ahmad bin Rasyid bin Haitsâm al-Hilâli, Imam adz-Dzahabi dan al-Haitsami menuduhnya memalsukan hadits ini[18].
Hadits ini dihukumi sebagai hadits yang batil oleh Imam adz-Dzahabi dalam Mîzânul I’tidâl (1/97).
Kesimpulan akhir, hadits ini derajatnya sangat lemah dan semua hadits lain yang semakna dengannya berkisar antara sangat lemah dan palsu.
Oleh karena itu, kandungan hadits ini tidak disyariatkan untuk diamalkan, karena kita hanya mengamalkan hadits yang benar penisbatannya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Membacakan adzan dan iqamah pada telinga bayi yang baru lahir tidak disyariatkan, karena hadits yang dijadikan sandaran adalah hadits yang sama sekali tidak benar penisbatannya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena derajatnya sangat lemah atau bahkan palsu.[19]
Meskipun ada di antara para Ulama yang menganggap itu dianjurkan, akan tetapi selama mereka tidak membawakan hadits yang shahih, maka pendapat tersebut tidak bisa dibenarkan.
Benarlah ucapan Imam Malik bin Anas yang populer, “Tidak ada seorangpun setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali bisa diambil ucapan atau pendapatnya (jika sesuai dengan dalil yang shahih) atau ditinggalkan (jika tidak didasari dalil yang shahih), kecuali Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang wajib diambil semua ucapannya)”[20].
Wallahu a’lam bishshawaab.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XVIII/1436H/2015M.]
________
Footnote
[1] Kitab Sunan at-Tirmidzi (4/97).
[2] Hlm. 286
[3] Kitab Tuhfatul Maudûdi bi Ahkâmil Maulûd (hlm. 30)
[4] Lihat kitab Silsilatul Ahâdîts adh-Dha’îfah wal Maudhû’ah (1/493-494)
[5] Kitab Taqrîbut Tahdzîb (hlmn 285)
[6] Semua dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam Mîzânul I’tidâl (2/354)
[7] Lihat Takhrîju Ahâdîts Ihyâ-i ‘Ulûmiddîn (2/63)
[8] Kitab Talkhîshul Habîr (4/149)
[9] Semua dinukil oleh Imam Ibnu Hajar dalam Lisânul Mîzân (2/348)
[10] Kitab Majma’uz Zawâ-id (4/95)
[11] Kitab Mîzânul I’tidâl (1/516)
[12] Kitab Taqrîbut Tahdzîb (hlm. 450)
[13] Semua dinukil oleh Imam al-Mizzi dalam kitab Tahdzîbul Kamâl (31/486)
[14] Kitab Taqrîbut Tahdzîb (hlm. 526)
[15] Takhrîju Ahâdîtsi Ihyâ-i ‘Ulûmiddîn (2/63)
[16] Kitab Majma’uz Zawâ-id (4/95)
[17] Lihat kitab Mîzânul I’tidâl (4/397), Faidhul Qadîr (6/238) dan Silsilatul Ahâdîts adh-Dha’îfah wal Maudhû’ah (1/491, no. 321)
[18] Lihat kitab Lisânul Mîzân (1/171) dan Majma’uz Zawâ-id (5/340)
[19] Lihat kitab Ahkâmul Maulûd fis Sunnatil Muthahharah (hlm. 34)
0 comments:
Post a Comment