عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَدْرِ النَّهَارِ فَجَاءَهُ قَوْمٌ حُفَاةٌ عُرَاةٌ مُجْتَابِي النِّمَارِ أَوْ الْعَبَاءِ مُتَقَلِّدِي السُّيُوفِ عَامَّتُهُمْ مِنْ مُضَرَ بَلْ كُلُّهُمْ مِنْ مُضَرَ فَتَمَعَّرَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا رَأَى بِهِمْ مِنْ الْفَاقَةِ فَدَخَلَ ثُمَّ خَرَجَ فَأَمَرَ بِلَالًا فَأَذَّنَ وَأَقَامَ فَصَلَّى ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ إِلَى آخِرِ الْآيَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا وَالْآيَةَ الَّتِي فِي الْحَشْرِ اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ تَصَدَّقَ رَجُلٌ مِنْ دِينَارِهِ مِنْ دِرْهَمِهِ مِنْ ثَوْبِهِ مِنْ صَاعِ بُرِّهِ مِنْ صَاعِ تَمْرِهِ حَتَّى قَالَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ قَالَ فَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ بِصُرَّةٍ كَادَتْ كَفُّهُ تَعْجِزُ عَنْهَا بَلْ قَدْ عَجَزَتْ قَالَ ثُمَّ تَتَابَعَ النَّاسُ حَتَّى رَأَيْتُ كَوْمَيْنِ مِنْ طَعَامٍ وَثِيَابٍ حَتَّى رَأَيْتُ وَجْهَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَهَلَّلُ كَأَنَّهُ مُذْهَبَةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
Dari Jarir bin Abdillah, ia berkata : Kami bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada pagi hari. Lalu datanglah satu kaum yang telanjang kaki dan telanjang dada berpakaian kulit domba yang sobek-sobek atau hanya mengenakan pakaian luar dengan menyandang pedang. Kebanyakannya mereka dari kabilah Mudhor atau seluruhnya dari Mudhor, lalu wajah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berubah ketika melihat kefaqiran mereka. Beliau masuk, kemudian keluar dan memerintahkan Bilal untuk adzan, lalu Bilal adzan dan iqamat lalu Beliau shalat. Setelah shalat Beliau berkhutbah seraya membaca ayat:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. [An Nisa/4:1].
Dan membaca ayat di surat Al-Hasyr
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسُُ مَّاقَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرُُ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [Al Hasyr/59:18].
- Imam Muslim dalam Ash Shahih (7/103-104 bersama Syarah Nawawi) dan (16/225-226)
- Ahmad dalam Al Musnad (4/357, 359, 361, 362)
- An Nasa’i dalam Al Mujtaba’ (5/75-76-77)
- At Tirmidzi dalam Al Jami’ (5/42) no. 2675 dengan lafadz مَنْ سَنَّ سُنَّةَ خَيْرٍ ……… وَمَنْ سَنَّ سُنَّةَ شَرٍّ ً
- dan Ibnu Majah dalam As Sunan (1/74) no 203.
Pemahaman yang Benar Terhadap hadits ini.
- Perkataan (مُجْتَابِي النِّمَارِ أَوْ الْعَبَاءِ) an nimar dengan dikasrahkan huruf nun, adalah bentuk plural dari namirah dengan difathahkan. Maknanya yaitu baju dari kulit domba yang sobek. Sedangkan الْعَبَاء (al aba’) dengan dimadkan dan difathahkan huruf ‘ain-nya عَبَاءة– عَبَاية . Adapun makna مُجْتَابِي النِّمَارِ yaitu sobek dan terbelah bagian tengahnya.
- Perkataan فَتَمَعَّرَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , artinya, berubah.
- Perkataan فَصَلَّى ثُمَّ خَطَبَ , berisi anjuran mengumpulkan orang banyak untuk perkara penting, dan menasihati serta memotivasi mereka untuk mencapai kemaslahatan dan memperingatkan mereka dari perkara jelek.
- Tentang firman Allah Azza wa Jalla يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ . Ayat ini dibacakan karena ia lebih menyentuh dalam menganjurkan mereka agar bershadaqah dan (juga) karena berisi penegasan hak mereka sebagai saudara.
- Perkataan رَأَيْتُ كَوْمَيْنِ مِنْ طَعَامٍ وَثِيَابٍ . Kaumain dapat dibaca dengan fathah atau dhammah huruf kaf-nya. Artinya tempat yang tinggi seperti bukit kecil.
- Perkataan حَتَّى رَأَيْتُ وَجْهَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَهَلَّلُ كَأَنَّهُ مُذْهَبَةٌ , maknanya wajah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersinar karena senang dan bahagia.
- Perkataan مُذْهَبَةٌ , para ulama membacanya dengan dua sisi. Pertama, yang sudah masyhur dan dirajihkan Al Qadhi dan jumhur adalah مُذْهَبَةٌ dengan huruf dzal, fathah huruf ha’ dan setelahnya ba’. Kedua مدْ هَنَةٌ dengan dal dan dhamah ha’ dan setelahnya nun.
Al Qadhi menjelaskan dalam Masyariqi Al Anwar (1/172) dua sisi bacaan ini dalam tafsirnya.
- Pertama, maknanya perak keemasan. Ini lebih cocok untuk (mengungkapkan) keindahan wajah dan keceriaannya.
- Kedua, menyerupakan keindahan dan keceriannya dengan kulit yang dilapisi emas. Dan bentuk pluralnya adalah madzahib. Al mudzahab ini adalah sesuatu yang digunakan bangsa Arab untuk mencelupkan kulit dan menjadikannya bergaris-garis keemasan, tampak sebagiannya bersambung dengan sebagian lainnya.
Mengenai yang menjadi sebab kebahagiaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena bergegasnya kaum muslimin dalam mentaati Allah, mengeluarkan harta mereka karena Allah, melaksanakan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menutupi kebutuhan saudaranya yang membutuhkan, kasih-sayang mereka kepada sesama muslimin dan kerjasama mereka dalam kebaikan dan taqwa. Jika melihat hal seperti ini, sudah sepantasnya seseorang berbahagia dan menampakkan kebahagiannya. Dan penyebab senangnya adalah apa yang telah dijelaskan tadi.
- Perkataan مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا . Yang dimaksud sunnah dalam hadits ini, adalah sunnah secara bahasa, yaitu jalan (contoh) yang diikuti atau dilalui; bukan bermakna sunnah secara terminologi syar’i, sebagaimana dalam terdapat dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ dan sabdanya. مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا
Kelaziman hadits menuntut penafsiran seperti ini. Yang saya maksudkan dengan kelaziman hadits adalah dalam sabda Rasulullah : وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً , karena dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mensifatkan sunnah dengan sunnah jelek, padahal dalam Islam tidak ada sunnah yang jelek. Jadi yang dimaksud sunnah disini adalah sunnah dalam makna bahasa (etimologi) bukan dalam makna syar’i.
Kemudian, kepada orang yang menyelisihi, kita sampaikan bahwa orang-orang itu telah memisah-misahkan hal-hal yang sama dan menyamakan hal-hal yang berbeda, mencampur-adukkan yang baik dengan yang buruk, yang berkualitas rendah dengan yang tinggi dan meletakkan tanah dalam adonan roti.
Dalam banyak nash, kata Sunnah bermakna jalan (metode), sebagaimana hal itu terdapat dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا منْ نَفْسٍ تُقْتَلٌُ ظُلْمًا إِلَّا كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الْأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا وَذَلِكَ لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ
Tidak ada satu jiwapun terbunuh secara zhalim, kecuali anak adam pertama (yaitu yang membunuh saudaranya, Red) mendapatkan bagian dari darahnya (dosa pembunuhan), itu karena ia adalah orang pertama yang mencontohkan pembunuhan.
Dan juga sabdanya:
لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
Seandainya kita mendebat orang-orang yang mencampur-adukkan pemahaman sunnah yang telah diisyaratakan tadi, maka konsekwensinya kita akan mengatakan “Sesungguhnya membunuh itu adalah sunnah, dan meniru orang musyrik adalah sunnah”. Padahal kalimat ini tidak akan diucapkan oleh orang yang berakal.
Kalau begitu, kita tidak mungkin membawa pengertian sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً kepada (anjuran membuat) amalan baru, karena keterkaitannya dengan baik atau jelek, yang tidak diketahui kecuali dengan syari’at. Karena menilai baik atau buruk merupakan kekhususan syari’at semata. Dalam hal ini, akal tidak memiliki peran. Inilah madzhab Ahlu Sunnah wal Jama’ah, dan pendapat yang mengatakan -baik dan buruk dinilai dengan akal- merupakan Ahlu Bid’ah.
(Karena yang dimaksud dalam hadits itu adalah sunnah secara bahasa, yang berarti contoh atau panutan, red), maka sunnah dalam hadits itu adakalanya baik menurut syari’at, atau buruk menurut syari’at. Sehingga (sunnah yang baik, red) tidak benar (pemakaiannya, red), kecuali pada shadaqah yang disebutkan dalam hadits (di depan, red) dan pada contoh-contoh lain yang disyari’atkan. Sedangkan sunnah sai’ah (contoh yang buruk) tetap difahami untuk kemaksiatan yang ditetapkan syari’at sebagai maksiat, seperti membunuh yang dijelaskan dalam hadits Ibnu Adam, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ
dan kepada kebid’ahan, karena sudah ada celaan dan larangannya dalam syari’at.[1]
Al Hafizh berkata dalam Al Fath 13/302, Al Muhallab berkata,”Dalam bab ini (yaitu Bab Dosa Orang yang Mengajak kepada kesesatan Atau Memberikan Contoh Yang Jelek, red) mengandung makna peringatan dari kesesatan dan (keharusan, red) menjauhi perbuatan-perbuatan bid’ah dan perkara-perkara baru dalam agama, serta (mengandung, red) larangan menyelisihi jalan kaum mukminin”.
Sisi peringatannya (wajhu tahdzir), adalah orang yang berbuat kebid’ahan terkadang meremehkannya, karena pada awal mulanya menganggapnya kecil, tidak merasakan kerusakan yang diakibatkan amalan tersebut, yaitu berupa beban dosa yang didapatkan dari dosa orang-orang yang mengamalkan perbuatan bid’ah setelah dia -meskipun seandainya ia tidak mengamalkannya- namun (dia mendapatkan dosa,red) karena ia sebagai orang yang merintisnya.
Imam Al Nawawi berkata dalam Syarh Muslim (7/104),”Dalam hadits ini terdapat anjuran memulai kebaikan (menjadi perintis kebaikan) dan mencontohkan perbuatan yang baik, serta terdapat peringatan keras dari membuat-buat kebatilan dan hal-hal yang jelek. Ucapan ini (Barangsiapa yang membuat contoh yang baik dalam Islam, red), beliau sampaikan dalam hadits ini, karena pada awal hadits, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan.
فَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ بِصُرَّةٍ كَادَتْ كَفُّهُ تَعْجِزُ عَنْهَا بَلْ قَدْ عَجَزَتْ قَالَ ثُمَّ تَتَابَعَ النَّاسُ
(Lalu seorang dari Anshar datang membawa sebanyak shurrah, hampir-hampir telapak tangannya tidak mampu memegangnya, bahkan tidak mampu. Jarir berkata: Kemudian berturut-turut orang memberi).
Ini merupakan keutamaan yang besar bagi perintis kebaikan dan orang yang membuka pintu kebaikan tersebut.”
Dengan memohon bantuan kepada Allah dan bertawakkal kepadaNya, kami katakan, kebanyakan orang yang berdalil dengan hadits ini dalam membagi bid’ah, bahwasanya orang yang menyampaikan hadits ini kepada Anda dalam keadaan terpotong. Dia menampakkan kepada Anda sebagian saja dan menyembunyikan yang lainnya, agar mendapatkan legalitas dalam pembagian bid’ah tersebut. Lalu mengklaim adanya bid’ah hasanah. Pada saat yang sama, ia tidak menyebutkan keserasian hadits yang menyebabkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan hadits.
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً
Di atas kami telah menjelaskan, maksud dari sunnah disini adalah sunnah secara bahasa, bukan secara syar’i. Saya minta kepada orang yang menentang kami dalam pendapat ini untuk menjawab pertanyaan,”Apakah dalam sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat sunnah yang jelek? Walaupun beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menyatakan dalam hadits ini مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّة سَيِّئَةً
Jika kalian menjawab “Ya, ada”, maka tidak perlu lagi berdiskusi, karena dengan pernyataan jelek ini, tanpa disadari seorang dapat keluar dari agama. Hal ini sudah menjadi kepastian yang absolut dalam agama ini, yaitu sunnah itu adalah agama.
Jika menjawab “Tidak” maka kita sampaikan kepadanya hadits ini. Di dalamnya termuat pensifatan sunnah dengan sunnah yang jelek, supaya dia mengakui bahwa lafadz sunnah disini adalah sunnah secara bahasa dan bukan istilah syari’at.
Seandainya, meskipun hadits ini tidak mengandung pensifatan sunnah dengan sunnah yang jelek, niscaya sudah cukup dengan lafazh yang menunjukkan pensifatan baik, yaitu مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً , karena pensifatan sunnah dengan sunnah yang jelek adalah pensifatan yang salah dan sangat tidak layak, karena menunjukkan ada sunnah yang tidak baik diantara sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ini adalah dalil kuat yang menunjukkan bahwa lafazh tersebut (yaitu lafazh sunnah dalam hadits, red) secara bahasa. Karena, sebagaimana sudah dimaklumi bahwa sunnah itu adalah agama. Jika Anda mengatakan “Ini adalah sunnah yang baik”, maka Anda sama dengan orang yang membagi sunnah menjadi dua, dan itu sesat, terhadap apa yang ingin Anda bersihkan.[2]
Penulis berkata : Sungguh salah faham terhadap hadits ini membawa akibat buruk dan kerusakan. Kami telah mendengar banyak orang ketika perbuatan mereka diingkari, saat mereka melakukan perkara bid’ah yang tidak ada dasarnya dalam syari’at, mereka berdalil dengan hadits ini dan menyatakan “Ini adalah perkara baik dan tidak ada dosanya, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً
Kepada mereka ini, kami katakan: “Sesungguhnya sahabat mulia (yang disebutkan dalam hadits ini, red) yang melakukan shadaqah, (ia) tidak melakukan sesuatu yang baru yang tidak ada dalam syari’at. Dalam Al Qur’an, shadaqah disyaria’tkan dan dianjurkan oleh Rabb semesta alam, dan juga ada di dalam Sunnah yang tidak perlu lagi berdalil untuknya.
Dalam khutbahnya tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan para sahabatnya untuk bershadaqah. Namun, ketika mereka semua lambat merespon dan tampak kesedihan pada wajah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (maka) seorang Anshar dari mereka bangkit dan menyerahkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam satu shurrah shadaqah. Kemudian yang lain berduyun-duyun menyerahkan shadaqahnya. Sehingga perbuatan Anshar ini menjadi perbuatan yang terpuji. Dia tidak berbuat bid’ah dalam shadaqah, karena shadaqah disyari’atkan. Lalu dari mana mereka dapat mengatakan, ada bid’ah hasanah yang bermakna (dengan) istilah syar’i?’
Kemudian, seandainya makna hadits sesuai dengan yang telah mereka fahami ini, maka sunnah dalam hal ini kontradiktif. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggap seluruh bid’ah adalah sesat. Oleh karenanya tidak benar, kecuali sebagaimana yang kami jelaskan, dan itulah yang benar.
Syaikh Masyhur Hasan dalam komentarnya terhadap kitab Al Ba’its ‘Ala Inkar Al Bida’ wal Hawadits, hlm. 87, mengatakan,”Dengan demikian (maksudnya dengan memahami lafazh sunnah itu secara bahasa, red), maka keluar dari keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “setiap bid’ah sesat”. Karena arti bid’ah menurut syar’i, adalah tambahan atau pengurangan dalam agama tanpa izin syari’at, baik berupa perkataan dan perbuatan, terang-terangan atau isyarat. (Sesungguhnya) setiap amalan yang tidak ada dasarnya dalam syari’at adalah bid’ah yang sesat, meskipun dilakukan oleh orang yang dianggap sebagai pemilik keutamaan, atau orang yang terkenal sebagai syaikh. Karena perbuatan ulama dan ahli ibadah bukanlah hujjah, selama tidak sesuai dengan syari’at.”
Kepada orang yang menganggap baik berbagai perbuatan bid’ah dan menjadikannya sebagai ajaran agama secara dusta dan bohong, (maka) kita sampaikan bahwa sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً bukan bermakna orang yang mencontohkan cara yang tidak ada dalam agama, yaitu dalam hukum dan furu’ serta ushulnya. Bukan! Ini merupakan kebodohan. Akan tetapi maksudnya adalah orang yang memberikan contoh dalam zaman dan naungan Islam, yaitu pada zaman dan keberadaannya. Karena agama ini datang dan memperingatkan dari kerusakan dan keburukan, serta mengajak berbuat kebaikan dan keshalihan. Sehingga dalam naungan agama yang lurus ini, memberikan contoh kepada kejelekan, menjadi perkara yang besar, baik kejelekan itu yang baru atau kejelekan yang sudah ada contohnya sebelum Islam.[3]
Saya (penulis) berkata: Anggaplah sahabat dari kalangan Anshar tersebut melakukan perbuatan lain, selain shadaqah, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujuinya. Maka, perbuatan atau perkataan sahabat ini menjadi sunnah, setelah iqrar (persetujuan) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sunnah itu tidak hanya ditetapkan berdasarkan perkataan atau perbuatan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja , namun juga ditetapkan karena persetujuan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana terjadi pada seorang sahabat yang setelah bangun dari ruku’ membaca.
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ
Ketika selesai shalat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam berkata, ”Siapakah yang berbicara tadi?” Sahabat itu menjawab,”Saya, wahai Rasulullah.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda.
رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلا
Aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat bersegera menjadi yang pertama menulisnya.[4]
Ini adalah persetujuan dan anjuran dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga melakukan perbuatan ini menjadi sunnah dari sisi ini. Dan boleh dikatakan bahwa sahabat itu telah membuat sunnah (contoh) perkataan ini ketika i’tidal setelah ruku’. Dan ini adalah “sunnah hasanah” yang diambil dari persetujuan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan persetujuan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini terputus (tidak akan ada lagi, red) dengan kematian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kecuali persetujuan yang telah beliau tunjukkan, sehingga ia tetap merupakan iqrar (persetujuan) beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagian orang ada yang mencari nash lain untuk melegimitimasi pendapatnya tentang pembagian bid’ah ini. Sebagian diantara mereka bergantung (berpegang) kepada pernyataan Umar tentang shalat tarawih (berjama’ah, red).
نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata di dalam Iqtidha’ Shirati Al Mustaqim, hlm. 270,”Sebagian orang ada yang berpendapat, bid’ah itu terbagi menjadi dua bagian ; hasanah (baik) dan qabihah (buruk) dengan dalil pernyataan Umar tentang shalat tarawih “Sebaik-baik bid’ah adalah ini” dan dengan dalil beberapa perkataan dan perbuatan yang diada-adakan setelah Rasulullah dan tidak dilarang; atau (menganggapnya) hasanah berdasarkan dalil-dalil ijma’ atau qiyas yang menunjukkan hal itu. Terkadang orang yang tidak mantap pemahaman dasar-dasar ilmunya, memasukkan berbagai adat-kebiasaan banyak orang atau yang lainnya ke dalam kategori ini. Lalu menjadikannya sebagai dalil baiknya sebagian bid’ah ; entah dengan menjadikannya sebagai kebiasaannya dan kebiasaan orang yang sama dengannya, meskipun tidak mengetahui pendapat seluruh kaum muslimin dalam masalah tersebut, atau enggan meninggalkan kebiasaannya sebagaimana kondisi orang yang (telah) Allah Subhanahu wa Ta’ala terangkan.
وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ تَعَالَوْا اِلٰى مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَاِلَى الرَّسُوْلِ قَالُوْا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ اٰبَاۤءَنَا
Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”. Mereka menjawab: “Cukuplah untuk kami apa yang kamu dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. [Al Maidah/5:104].
Alangkah banyak orang yang dianggap memiliki ilmu atau banyak ibadah berhujjah dengan dalil-dalil yang keluar dari kaidah-kaidah ilmu yang dijadikan pegangan dalam agama. Intinya, bahwa nash-nash yang menunjukkan tercelanya kebid’ahan menentang dalil yang menunjukkan baiknya sebagian kebid’ahan, baik itu dari dalil-dalil syari’at yang shahih, atau dari alasan-alasan sebagian orang yang dijadikan pegangan oleh sebagian orang bodoh, atau orang yang suka mentakwilkan secara umum.
Orang-orang yang menentang ini terbagi dalam dua keadaan.
- Mereka yang mengatakan “Jika benar bahwa sebagian bid’ah itu baik dan sebagiannya buruk, maka yang buruk adalah bid’ah yang dilarang syari’at. Adapun bid’ah yang tidak didiamkan oleh syari’at, maka (demikian) itu tidak buruk, bahkan baik”. Begitulah yang terkadang disampaikan sebagian mereka.
- Bid’ah buruk dikatakan “Ini bid’ah hasanah, karena berisi kemaslahatan begini dan begitu”. Mereka menyatakan “Tidak semua bid’ah sesat”.
Tanggapannya : Bukankah terdapat sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya sejelek-jeleknya perkara adalah yang baru dibuat-buat, dan setiap yang baru dibuat-buat adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan adalah di neraka” dan peringatan keras dari perkara-perkara baru.
Ini semua adalah nash dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka seseorang tidak boleh menolak kandungannya, yang berisi celaan terhadap bid’ah. Barangsiapa yang menolaknya, maka ia seorang yang hina.
Mengenai sanggahan mereka, maka dijawab dengan salah satu dari jawaban berikut, dengan mengatakan kepada mereka: “Sesuatu yang sudah ditetapkan baik oleh syari’at, maka ia bukan bid’ah,” sehingga lafazh umum tetap, tidak ada pengkhususan. Atau dengan mengatakan kepada mereka “Sesuatu yang sudah ditetapkan baik oleh syari’at, maka dia pengecualian dari keumuman ini. Sehingga lafazh umum ini tetap, benar!”.
Mungkin juga dikatakan ”Sesuatu yang sudah ditetapkan baik oleh syari’at, maka dia adalah pengecualian dari keumuman tersebut. Lafazh umum yang terkhususkan (ada pengecualiannya, red) adalah dalil yang bisa dijadikan hujjah atas sesuatu yang tidak masuk dalam kekhususan. Sehingga orang yang meyakini bahwa sebagian bid’ah terkhususkan dari keumuman tersebut, maka ia membutuhkan dalil yang benar untuk takhsis (pengkhususan). Bila tidak ada, maka keumuman lafazh itu tetap menunjukkan larangan”.
Kemudian, yang mengkhususkan haruslah dalil-dalil syari’at berupa Al Qur’an, Sunnah dan Ijma’, baik secara nash atau istimbat (kesimpulan dari nash). Adapun adat kebiasaan sebagian negeri atau kebanyakan negeri, pendapat banyak ulama atau ahli ibadah atau kebanyakan mereka dan sejenisnya, bukanlah sesuatu yang pantas untuk mengalahkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Barangsiapa yang meyakini bahwa kebanyakan adat yang menyelisihi Sunnah sudah menjadi kesepakatan -karena umat telah menyetujuinya dan tidak mengingkarinya- maka ia salah dalam keyakinannya ini. Karena pada setiap waktu, senantiasa akan ada orang yang melarang kebanyakan adat yang menyelisihi Sunnah, dan tidak boleh mengklaim Ijma’ dengan berdasarkan amalan satu negeri atau beberapa negeri kaum muslimin, apalagi berdasarkan amalan sekelompok mereka.
Jika kebanyakan ulama tidak bersandar kepada perbuatan ulama penduduk Madinah dan Ijma’ mereka pada zaman Imam Malik, namun mereka tetap memandang Sunnah sebagai hujjah atas mereka, sebagaiamana atas selain mereka, padahal para ulama Madinah tersebut telah diberikan ketinggian ilmu dan iman.
Lalu bagaimana seorang mukmin yang berilmu bersandar kepada adat kebiasan kebanyakan orang awam, atau kebiasaan orang yang dianggap pemimpin oleh orang awam, atau kebiasaan satu kaum yang bodoh yang tidak memiliki ketinggian ilmu, tidak termasuk ulul amri, serta mereka tidak layak dijadikan anggota syura (musyawarah), bahkan mungkin iman mereka kepada Allah dan RasulNya belum sempurna. Atau ada satu kaum dari ahli fadhl (yang memiliki kelebihan) bergabung bersama mereka dengan dasar hukum adat, tanpa memandang dengan ilmu, atau karena syubhat bahwa lebih baik keadan mereka, sehinga mereka dianggap sejajar dengan kedudukan mujtahid dari kalangan para imam dan shidiqin?
Berargumen dengan hujjah-hujjah dan bantahannya ini sudah jelas, bahwa ini bukanlah cara Ahlu ilmi berhujjah. Namun karena banyaknya kebodohan, maka banyak orang yang bersandar kepada metode ini, sampai-sampai orang yang dianggap memiliki ilmu dan keshalihan. Dan terkadang, seorang yang memiliki ilmu dan keshalihan itu mendapatkan sandaran (metode) lain, namun bukan diambil dari Allah dan RasulNya, yaitu sandaran-sandaran yang tidak digunakan oleh Ahli Ilmu dan iman. Ia hanya menyampaikan hujjah-hujjah syar’iyah sebagai hujjah atas perkara lain, dan melawan orang yang mendebatnya.
Kesimpulannya : Sebagaimana pernyataan yang disampaikan Ash Shan’ani dalam Tsamarutu An Nadzar (hlm. 11 dengan penomoran saya),”Mereka membagi bid’ah kepada hasanah dan tercela, dan saya yakin, pembagian ini termasuk perbuatan bid’ah.”
Imam Asy Syathibi dalam Al I’tisham, 1/191-192 berkata,”Sungguh, pembagian ini adalah perkara baru yang tidak ada dalil syar’inya. Bahkan hal itu bertolak belakang, karena diantara hakikat bid’ah tidak ditunjukkan oleh dalil syar’i, dan tidak berada di atas kaidah. Seandainya terdapat dalil dari syari’at yang menunjukkan kewajiban atau sunah atau mubahnya, tentu itu bukan bid’ah. Dan pasti, amalan tersebut masuk ke dalam keumuman amalan-amalan yang diperintahkan atau dimubahkan. Tidak bisa dipadukan antara sesuatu itu bid’ah dengan adanya dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban atau sunnahnya atau mubahnya, karena pemaduan dua hal ini merupakan pemaduan yang bertentangan.
Akhirnya, saya tutup pernyataan ini dengan pernyataan Umar bin Khathab:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ
Seluruh bid’ah adalah sesat, meskipun orang melihatnya baik.[5]
(Diterjemahkan dari kitab Tashihul A’tha wal Auhan Al Waqi’ah Fi Fahmi Ahadits, karya Syaikh Raid Shabri, hlm. 189-200)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun VIII/1425H/2004M.Oleh Syaikh Raid bin Shabri ]
0 comments:
Post a Comment