عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا-، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ : ((إِنَّ اللهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ، وَالنِّسْيَانَ، وَمَا اسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ))
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda : “Sesungguhnya Allah telah memaafkan dari umatku kekeliruan, kealpaan dan apa-apa yang dipaksakan terhadap mereka”.
Hadits ini juga dikeluarkan oleh al ‘Uqaili dalam adh-Dhu’afa (4/145), seluruhnya dari jalan al Walid bin Muslim, dari al Auza’i, dari ‘Atha, dari Ibnu ‘Abbas, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali –hafizhahullah– berkata,”Sanad ini dha’if. ‘Illahnya[1] adalah, inqitha’ (terputus) antara ‘Atha dan Ibnu ‘Abbas. Dan hal ini telah diisyaratkan oleh al Bushiri dalam az Zawa-id, ia berkata,‘Sanadnya shahih jika selamat dari inqitha’ (terputus). Dan tampaknya, sanad ini terputus. Dengan dalil, adanya tambahan (seorang perawi yang bernama-pen) ‘Ubaid bin ‘Umair pada jalannya yang kedua. Dan tidak mustahil, hilangnya perawi ini (yakni, tidak disebutkannya perawi yang bernama ‘Ubaid bin ‘Umair pada sanad tersebut-red) berasal dari (perbuatan) al Walid bin Muslim,[2] karena ia seorang mudallis’.[3] Yang ia (al Bushiri) maksud, adalah tadlisut-taswiyah.[4] Hal ini pun telah diisyaratkan oleh al Baihaqi, ia mengatakan : ‘Dan diriwayatkan oleh al Walid bin Muslim dari al Auza’i, dan ia tidak menyebutkan ‘Ubaid bin ‘Umair pada sanadnya‘.”[5]
Adapun tentang jalur periwayatan kedua, yang disebutkan oleh al Bushiri -di atas- dikatakan oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman –hafizhahullah– : “Dikeluarkan oleh ath Thahawi dalam Syarhu Ma’anil Atsar (3/95), ad Daruquthni dalam Sunannya (4/170-171), al Hakim dalam al Mustadrak (2/198), al Baihaqi dalam al Kubra (7/356), Ibnu Hibban dalam Shahihnya (2045), Ibnu Hazm dalam al Ihkam (5/149). Seluruhnya dari jalan al Auza’i, dari ‘Atha dari ‘Ubaid bin ‘Umair dari Ibnu ‘Abbas, secara marfu’ (sanadnya bersambung sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ). Dan sanad hadits ini shahih… Bagaimanapun, hadits ini memiliki syawahid (pendukung dan penguat dari hadits-hadits lain-pen). Hadits Ibnu ‘Abbas ini memiliki banyak jalur periwayatan yang menyebabkan derajatnya terangkat ke derajat shahih, dan telah dihasankan oleh an Nawawi dalam Arba’in, pada hadits nomor 39″[6]
Berkaitan dengan syawahid hadits yang disebutkan oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman –hafizhahullah– di atas, Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali –hafizhahullah– menjelaskan : “Hadits ini juga diriwayatkan dari beberapa sahabat, di antaranya : Abu Dzar, Ibnu ‘Umar, Abu Bakrah, Abu ad Darda’, Abu Hurairah, ‘Imran bin Hushain, dan Tsauban Radhiyallahu anhum. Lihat di Nashbur-Rayah karya az Zaila’i (4/64-66), juga at Talkhisul-Habir (1/281-283). Juga telah diterangkan secara panjang lebar oleh al Hafizh Ibnu Rajab al Hanbali rahimahullah[7], dan (memang) seluruh jalur periwayatannya tidak luput dari permasalahan. Namun, sebagiannya bisa menguatkan sebagian yang lain, sebagaimana disebutkan oleh as Sakhawi dalam al Maqashidul-Hasanah, halaman 371 : “Keseluruhan jalannya menunjukkan bahwa hadits ini memiliki asal usul”[8]
Hadits ini juga dishahihkan oleh Syaikh al Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Ibnu Majah, Irwa-ul Ghalil (1/123-124 no. 82), Misykatul-Mashabih (3/1771), dan Shahihul-Jami’ (1731, 1836, 3515, dan 7110).
Umar Radhiyallahu anhu berkata,”Seandainya Ibnu ‘Abbas menyamai usia-usia kami, (maka) tidak ada seorang pun di antara kami yang mampu menandinginya, walaupun hanya sepersepuluh ilmunya”.[10]
Beliau meninggal pada tahun 68 H, di Tha-if, dan beliau tergolong sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , salah satu sahabat al ‘abadilah,[11] dan salah satu ahli fiqih dari kalangan sahabat.
- Pertama, perbuatan itu terjadi) disebabkan oleh kesengajaan dan maksud (tertentu), atau (yang kedua) tidak demikian.
- Kedua ini, mencakup seluruh perbuatan yang dilakukan karena kekeliruan, lupa, atau karena dipaksa. Perbuatan yang disebabkan kekeliruan, lupa, atau karena dipaksa ini dimaafkan, sebagaimana telah adanya kesepakatan (para ulama).
Adapun yang diperselisihkan para ulama adalah, apakah yang dimaafkan itu dosanya saja, ataukah hanya hukumnya saja? Atau mencakup keduanya? Dan zhahir hadits ini menunjukkan yang terakhir.[12] Yaitu hukumnya saja.
Maksud dari umat pada hadits ini adalah umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sudah menerima dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan melaksanakan syari’at Islam. Mereka disebut juga ummatul-ijabah (ummat yang menerima dakwah).
Syaikh Abdul Muhsin al ‘Abbad al Badr –hafizhahullah– berkata : “Umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada dua macam, yaitu ummatud-da’wah dan ummatul-ijabah. Ummatud-da’wah adalah seluruh manusia dan jin, sejak beliau diutus hingga hari kiamat. Sedangkan ummatul-ijabah adalah orang-orang yang telah diberi taufiq oleh Allah untuk memeluk agamanya yang lurus ini, sehingga mereka menjadi muslim. Dan yang dimaksud dengan kalimat umat pada hadits ini adalah ummatul-ijabah“.[14]
Di antara dalil yang menunjukkan adanya ummatud-da’wah, yaitu hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
((وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لاَ يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ، يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ))
Demi (Dzat) yang jiwaku berada di tanganNya. Tidaklah seorang pun dari umat ini, baik Yahudi ataupun Nashrani yang mendengarku, kemudian ia mati dalam keadaan tidak beriman terhadap sesuatu yang aku bawa, melainkan ia pasti termasuk penghuni neraka.[15]
Adapun makna al khatha’ (الْخَطَأ), an nis-yan (النِّسْيَان), dan al istikrah (الاِسْتِكْرَاه), adalah sebagaimana yang telah diterangkan para ulama berikut ini.
Al Hafizh Ibnu Rajab al Hanbali rahimahullah berkata,”Al khatha’ (الْخَطَأ), yaitu seseorang melakukan sebuah perbuatan karena tujuan tertentu, kemudian yang terjadi berbeda dengan yang dimaksud. Seperti seorang yang bermaksud membunuh orang kafir, tetapi yang ia bunuh ternyata muslim. Sedangkan an nis-yan (النِّسْيَان), yaitu seseorang ingat terhadap sesuatu (perbuatan terlarang, pen), lalu (akhirnya) ia melakukan perbuatan tersebut karena lupa. Kedua jenis amalan ini dimaafkan. Maksudnya, ia tidak berdosa jika keadaannya seperti demikian …”.[16]
Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan : “Al khatha’ (الْخَطَأ), yaitu seseorang melakukan suatu perbuatan yang tidak ia sengaja. Adapun an nis-yan (النِّسْيَان), yaitu lalai dan luputnya hati dari sesuatu yang telah diketahui sebelumnya. Dan al istikrah (الاِسْتِكْرَاه), yaitu seorang yang dipaksa oleh orang lain untuk mengerjakan perbuatan yang haram, sedangkan ia tidak mampu untuk melawannya. Yakni, pemaksaan dan penekanan”.[17]
Syaikh Abdul Muhsin al ‘Abbad al Badr –hafizhahullah– berkata,”Al khatha’ (الْخَطَأ), yaitu seseorang berbuat sesuatu di luar yang ia maksudkan. Dan an nis-yan (النِّسْيَان), yaitu seseorang ingat sesuatu, lalu terlupa manakala ia melakukan sesuatu tersebut. Sedangkan al ikrah (الإِكْرَاه), yaitu pemaksaan terhadap suatu perkataan atau perbuatan. Dosa yang terjadi karena tiga hal di atas diampuni dan diangkat (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala)”[18]
- Pertama, telah terbukti (adanya dalil yang menyatakan) bahwa, seluruh perbuatan dianggap sah atau benar jika diiringi dengan niat. Demikian ini merupakan hukum dasar yang telah disepakati (oleh para ulama) secara umum.
- Kedua, telah terbukti pula (adanya dalil yang menyatakan) bahwa, segala perbuatan yang dilakukan oleh orang gila, orang yang sedang tidur, anak kecil, dan orang yang tidak sadarkan diri (pingsan) adalah tidak dapat dianggap sah. Dan keadaan seperti ini tidak ada hukumnya secara syari’at, sehingga, terhadap perbuatan tersebut tidak bisa ditetapkan adanya penghukuman boleh, atau wajib, atau terlarang, atau hukum lainnya . (Jadi), ini seperti halnya perbuatan yang dilakukan oleh hewan-hewan ternak.
- Ketiga, telah disepakati oleh para ulama, pembebanan yang tidak dapat diemabn, tidak mungkin terjadi pada syari’at ini. Sedangkan, pembebanan suatu (perkataan atau perbuatan) yang tidak ada maksud dari pelakunya saat berbuat, merupakan pembebanan yang tidak dapat dilakukan.[20]
Dari penjelasan global al Imam asy-Syathibi rahimahullah ini, yang ditunjukkan oleh hadits Ibnu ‘Abbas c ini adalah dalil kedua yang telah beliau terangkan di atas. Begitu pula telah ditunjukkan oleh dalil-dalil lainnya dari al Qur’an dan as Sunnah.
Berikut adalah di antara dalil yang menunjukkan, bahwa kesalahan, kekeliruan, dan lupa merupakan sesuatu yang dimaafkan dan tidak dianggap oleh syari’at.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ اِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهٗ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا
…Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah… [al Baqarah/2:286].
وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيْمَآ اَخْطَأْتُمْ بِهٖ وَلٰكِنْ مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوْبُكُمْ ۗ
…dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu… [al Ahzab/33:5]
Hadits Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, yang berkaitan dengan ayat ke-286 surat al Baqarah di atas, beliau berkata:
لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الآيةُ: ((وَإِنْ تُبْدُوْا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوْهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللهُ))، قَالَ: دَخَلَ قُلُوْبَهُمْ مِنْهَا شَيْءٌ لَمْ يَدْخُلْ قُلُوْبَهُمْ مِنْ شَيْءٍ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((قُوْلُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْناَ وَسَلَّمْناَ))، قَالَ: فَأَلْقَى اللهُ الإِيْمَانَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ، فَأَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى: ((لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّناَ لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا))، قَالَ: قَدْ فَعَلْتُ، ((رَبَّناَ وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْراً كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا))، قَالَ: قَدْ فَعَلْتُ، ((وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَناَ))، قَالَ: قَدْ فَعَلْتُ.
Tatkala ayat ini turun : [ وَإِنْ تُبْدُوْا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوْهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللهُ …Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu…], karena ayat ini, (ada kesedihan)[21] merasuk ke dalam hati mereka, yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Hingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Katakanlah oleh kalian, kami mendengar, kami taat, dan kami menerima,” maka Allah pun menanamkan keimanan pada hati-hati mereka, lalu Allah menurunkan ayat:
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّناَ لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya, ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa) : Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah…
Allah berkata :”Aku telah lakukan”.
رَبَّناَ وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْراً كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami…
Allah berkata : “Aku telah lakukan”.
وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَناَ
Ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami…
Allah berkata : “Aku telah lakukan“.[22]
Demikian pula hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ؛ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الْمُبْتَلَى حَتَّى يَبْرَأَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَكْبُرَ .
Telah diangkat pena dari tiga orang (berikut): dari orang yang tidur sampai ia bangun, dari orang yang sakit jiwa (gila) sampai ia sembuh, dan dari anak kecil sampai ia dewasa.[23]
Adapun dalil-dalil yang menunjukkan karena terpaksa atau dipaksa merupakan sesuatu yang dimaafkan dan tidak dianggap oleh syari’at, di antaranya ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
مَنْ كَفَرَ بِاللّٰهِ مِنْۢ بَعْدِ اِيْمَانِهٖٓ اِلَّا مَنْ اُكْرِهَ وَقَلْبُهٗ مُطْمَىِٕنٌّۢ بِالْاِيْمَانِ وَلٰكِنْ مَّنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللّٰهِ ۗوَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar. [an Nahl/16:106].
Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah berkata,”Allah Azza wa Jalla mengangkat hukum kekafiran dari seseorang yang dipaksa. Dan terlebih lagi (menggugurkan dosa –pen) terhadap semua perbuatan maksiat, (yang derajatnya) di bawah kekafiran”.[24]
Juga firmanNya :
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُوْنَ الْكٰفِرِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ مِنْ دُوْنِ الْمُؤْمِنِيْنَۚ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللّٰهِ فِيْ شَيْءٍ اِلَّآ اَنْ تَتَّقُوْا مِنْهُمْ تُقٰىةً ۗ وَيُحَذِّرُكُمُ اللّٰهُ نَفْسَهٗ ۗ وَاِلَى اللّٰهِ الْمَصِيْرُ
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu). [Ali ‘Imran/3:28].
Contoh pertama, berkaitan dengan sebab al khatha’. Ada seseorang yang berbicara di dalam shalatnya. Dia mengira, bahwa ketika sedang mengerjakan shalat diperbolehkan berbicara. Karena orang ini jahil (tidak mengetahui hukumnya) dan mukhthi’ (keliru), maka shalatnya tidak batal. Dia telah melakukan sebuah kesalahan, namun tanpa maksud yang disengaja.
Secara khusus, terdapat dalil yang menunjukkan perbuatan seperti ini. Yaitu hadits Mu’awiyah bin al Hakam as Sulami Radhiyallahu anhu, yang cukup panjang, tentang diharamkannya berbicara ketika seseorang sedang shalat. Kisah ringkasnya, tatkala Mu’awiyah bin al Hakam as Sulami Radhiyallahu anhu shalat berjama’ah bersama Rasulullah, ia mendengar orang bersin. Dan orang yang bersin itu berkata “alhamdulillah,” sehingga ia pun berkata (menjawab) “yarhamukallah“. Akhirnya, orang-orang di sekitarnya memandang kepadanya. Dia pun berteriak. Lalu orang-orang di sekitarnya memukul-mukul paha mereka sebagai isyarat agar ia diam. Maka Mu’awiyah bin al Hakam as Sulami Radhiyallahu anhu pun terdiam. Begitu shalat usai, manusia yang paling berakhlak mulia (yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) memanggilnya. Akhirnya, Mu’awiyah bercerita tentang akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengajarkan dan membimbingnya:
…مَا رَأَيْتُ مُعَلِّماً قَبْلَهُ وَلاَ بَعْدَهُ أَحْسَنَ تَعْلِيْماً مِنْهُ، فَوَاللهِ مَا كَهَرَنِيْ وَلاَ ضَرَبَنِيْ وَلاَ شَتَمَنِيْ، قَالَ: ((إِنَّ هَذِهِ الصَّلاَةَ لاَ يَصْلُحُ فِيْهَا شَيْءٌ مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ، إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيْحُ وَالتَّكْبِيْرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ))…
…Aku belum pernah melihat seorang pendidikpun sebelumnya maupun setelahnya yang lebih baik darinya. Demi Allah, ia tidak membentakku, tidak memukulku, dan tidak mencaciku. (Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) bersabda : “Sesungguhnya shalat ini tidak baik (jika) di dalamnya terdapat pembicaraan orang, akan tetapi shalat itu adalah tasbih, takbir, dan bacaan al Qur`an”…[27]
Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah berkata,”Sisi pendalilan hadits ini adalah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan kepadanya untuk mengulang shalatnya kembali…”.
Contoh kedua, dengan sebab an nis-yan. Ada seseorang berpuasa, lalu ia makan dan minum pada siang hari karena lupa. Maka puasanya tetap sah dan tidak batal. Hal ini telah ditunjukkan oleh hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ، فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ، فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ .
Barangsiapa lupa, sedangkan ia sedang berpuasa, lalu ia makan atau minum, maka sempurnakanlah puasanya. Karena sesungguhnya Allah telah memberinya makan dan minum.[28]
Contoh ketiga, dengan sebab al ikrah. Ada seseorang yang dipaksa untuk makan atau minum pada siang hari bulan Ramadhan, sehingga ia pun makan atau minum karena terpaksa. Maka, puasanya tidak rusak dan tidak batal, karena ia dipaksa.
Namun, yang perlu diperhatikan di sini, orang yang memaksanya tersebut, disyaratkan memiliki kemampuan mewujudkan ancamannya kepada orang yang ia paksa. Jadi, misalnya orang yang memaksa berkata, “Hai Fulan, makan buah kurma ini, kalau tidak, saya pukul kamu,” namun, jika ternyata orang yang memaksa ini lebih lemah dari si orang yang berpuasa, maka hal ini tidak termasuk ikrah (paksaan) yang dimaksud dalam hadits. Karena, orang yang berpuasa tersebut (ternyata) mampu untuk melawannya, dan bisa untuk tidak mentaati paksaan (yang ditujukan kepada)nya.
PELAJARAN DAN FAIDAH HADITS
- Luasnya rahmat, keutamaan, kebaikan, dan kelemahlembutan Allah Subhanahu wa Ta’alaterhadap seluruh hambaNya. Karena Allah telah mengangkat dosa dan memaafkan seluruh kesalahan yang dilakukan dengan tiga sebab ini. Padahal, jika berkehendak, Allah Maha Kuasa untuk menyiksa orang yang berbuat salah dalam keadaan bagaimanapun.
- Seluruh perbuatan haram, baik berkaitan dengan ibadah ataupun tidak, apabila seseorang melakukannya karena lupa atau kebodohan, atau kekeliruan, atau karena dipaksa, maka tidak ada dosa atasnya. Ini berlaku jika berkaitan dengan hak-hak Allah. Namun, jika berkaitan dengan hak-hak manusia, ia menggantinya dengan jaminan, walaupun dari sisi dosa, ia tetap dimaafkan.
- Sesungguhnya kemudahan dan keringanan ini hanya Allah khususkan untuk umat Islam, umat Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Demikian pembahasan hadits ini secara ringkas. Mudah-mudahan bermanfaat bagi kita, dan bisa menambah iman, ilmu, dan amal shalih kita. Amin.
Wallahu a’lam bish-Shawab.
Maraji’ & Mashadir:
- Al Qur`an dan terjemahnya, Cet. Mujamma’ Malik Fahd, Saudi Arabia.
- Shahihul-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin al Mughirah al Bukhari (194-256 H), tahqiq Musthafa Dib al Bugha, Daar Ibni Katsir, al Yamamah, Beirut, cet III, th 1407 H/1987 M.
- Shahih Muslim, Abu al Husain Muslim bin al Hajjaaj al Qusyairi an Naisaburi (204-261 H), tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, Daar Ihya at Turats, Beirut. .
- Adh Dhu’afaa’, Abu Ja’far Muhammad bin Umar bin Musa al ‘Uqaili (322 H), tahqiq Abdul Mu’thi Amin Qal’aji, Daar al Maktabah al ‘Ilmiyah, Beirut-Libanon, Cet. I, Th. 1404 H/ 1984 M.
- Sunan al Baihaqi, Ahmad bin al Husain al Baihaqi (384-458 H), tahqiq Muhammad Abdul Qadir ‘Atha, Maktabah Daar al Baz, Mekah, Th. 1414 H/1994 M.
- An Nihayah fi Gharibul-Hadits wal-Atsar, al Imam Majd ad Din Abi as Sa’adat al Mubarak bin Muhammad al Jazari Ibnu al Atsir (544-606 H), tahqiq Khalil Ma’mun Syiha, Daar al Ma’rifah, Beirut-Libanon, Cet. I, Th. 1422 H/ 2001 M.
- Al Muwafaqat, Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al Lakhmi asy Syathibi (790 H), tahqiq Abu ‘Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Salman, taqdim Bakr bin Abdillah Abu Zaid, Daar Ibnu ‘Affan, Mesir, Cet. I, Th. 1421 H.
- Jami’ul-‘Ulum wa al Hikam fi Syarhi Khamsina Haditsan min Jawami’il-Kalim, Zainuddin Abu al Faraj Abdurrahman bin Syihabuddin al Baghdadi Ibnu Rajab al Hanbali (736-795 H), tahqiq Thariq bin ‘Awadhullah bin Muhammad, Daar Ibn al Jauzi, Dammam, KSA, Cet. III, Th. 1422 H.
- Fat-hul Bari, Ibnu Hajar al Asqalani (773-852 H), tahqiq Muhibbuddin al Khatib, Daar al Ma’rifah, Beirut.
- Taqribut-Tahdzib, Ibnu Hajar al Asqalani (773-852 H), tahqiq Abu al Asybal al Bakistani, Daar Al ‘Ashimah, Riyadh, KSA, cet II, th 1423 H.
- Shahih Sunan Abi Dawud, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), Maktabah Al Ma’arif, Riyadh.
- Shahih Sunan an Nasaa-i, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), Maktabah al Ma’arif, Riyadh.
- Shahih Sunan Ibnu Majah, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), Maktabah al Ma’arif, Riyadh.
- Shahihul-Jami’ush-Shaghir, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), Al Maktab al Islami.
- Irwa-ul Ghalil fi Takhriji Ahaditsi Manarus-Sabil, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), al Maktab al Islami, Beirut, Cet. II, Th. 1405 H/ 1985 M.
- Syarhul-Arba’in an Nawawiyah, Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin (1421 H), Daar ats Tsurayya, Riyadh, KSA, Cet. I, Th. 1424 H/ 2003 M.
- Fat-hul Qawiyyil-Matin fi Syarhil Arba’in wa Tatimmatul-Khamsin, Abdul Muhsin al ‘Abbad al Badr, Daar Ibnul Qayyim & Daar Ibnu ‘Affan, Dammam, KSA, Cet. I, Th. 1424 H/ 2003 M.
- Al Ahadits al Arba’in an Nawawiyah Ma’a Ma Zadaha Ibnu Rajab, Abdullah bin Shalih al Muhsin, taqrizh Hammad bin Muhammad al Anshari, Cet. al Jami’ah al Islamiyah, al Madinah an Nabawiyah, KSA, Th. 1411 H.
- Iqazhul-Himam al Muntaqa min Jami’il-‘Ulumi wal Hikam, Salim bin ‘Id al Hilali, Daar Ibnul Jauzi, Dammam, KSA, Cet. V, Th. 1421 H.
- Taisiru Mushthalahil-Hadits, DR. Mahmud Thahan, Maktabatul Ma’arif, Cet. IX, Th 1417 H/ 1996 M.
- At Ta’liqat al Atsariyah ‘alal-Manzhumah al Baiquniyah, Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al Halabi al Atsari, Daar Ibnul Jauzi, Dammam, KSA, Cet. III, Th. 1417 H/ 1997 M.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun X/1427H/2006M Ustadz Abu Abdillah Arief Budiman Lc]
0 comments:
Post a Comment