نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ غَيْرَهُ ؛ فَإِنَّهُ رُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيْهٍ ، وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَـى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ ، ثَلَاثُ خِصَالٍ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ أَبَدًا : إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلهِ، وَمُنَاصَحَةُ وُلَاةِ الْأَمْرِ ، وَلُزُوْمُ الْـجَمَاعَةِ ؛ فَإِنَّ دَعْوَتَهُمْ تُـحِيْطُ مِنْ وَرَائِهِمْ. وَقَالَ : مَنْ كَانَ هَمُّهُ الْآخِرَةَ ؛ جَـمَعَ اللهُ شَمْلَهُ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِـيْ قَلْبِه ِ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ، وَمَنْ كَانَتْ نِيَّـتُهُ الدُّنْيَا ؛ فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ ضَيْعَتَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ.
Semoga Allâh memberikan cahaya pada wajah orang yang mendengarkan sebuah hadits kami, lalu ia menghafalnya dan menyampaikannya ke orang lain. Banyak orang yang membawa fiqih namun ia tidak memahami. Dan banyak orang yang menerangkan fiqih kepada orang yang lebih faham darinya. Ada tiga hal yang dengannya hati seorang muslim akan bersih (dari khianat, dengki, dan keburukan) yaitu beramal dengan ikhlas karena Allâh Azza wa Jalla , menasihati ulil amri (penguasa) dan berpegang teguh pada jamâ’ah kaum Muslimin, karena do’a mereka meliputi dari belakang mereka.” Beliau bersabda, “Barangsiapa yang keinginannya adalah negeri akhirat, maka Allâh akan mengumpulkan kekuatannya, menjadikan hatinya kaya dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina. Namun barangsiapa yang niatnya mencari dunia, Allâh akan mencerai-beraikan urusan dunianya, menjadikan kefakiran di pelupuk matanya, dan dunia yang berhasil diraih hanyalah apa yang telah ditetapkan baginya.
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh, diriwayatkan oleh banyak Shahabat Radhiyallahu anhum. Hadits yang disebutkan di sini diriwayatkan oleh para Imam ahli hadits, di antaranya :
- Imam Ahmad dalam Musnadnya (V/183)
- Imam ad-Dârimi (I/75)
- Imam Ibnu Hibbân (no. 72 dan 73–Mawâriduzh Zham’ân).
- Imam Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jâmi’ Bayânil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/175-176, no. 184).
Lafazh ini milik Imam Ahmad, dari ‘Abdurrahman bin Aban bin ‘Utsman dari bapaknya dari Zaid bin Tsâbit Radhiyallahu anhum.
Hadits ini dishahihkan oleh al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalâni. Imam al-Munawi rahimahullah mengatakan, “al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Takhrîjul Mukhtashar (Mukhtashar Ibni Hajib) bahwa hadits Zaid bin Tsabit ini shahih.”[1] Dishahihkan juga oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani t dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 404).
Derajat hadits ini mutawâtir. Diriwayatkan lebih dari 20 shahabat, : ‘Abdullâh bin Mas’ûd, Zaid bin Tsâbit, Jubair bin Muth’im, Anas bin Mâlik, an-Nu’mân bin Basyîr, Abu Sa’id al-Khudri, ‘Abdullah bin ‘Umar, Basyîr bin Sa’d, Mu’âdz bin Jabal, Abu Hurairah, Abud Darda’, ‘Abdullah bin ‘Abbâs, Abu Qarshafah, Rabi’ah bin ‘Utsman, Jabir bin ‘Abdillah, Zaid bin Khalid al-Juhani, ‘Aisyah, Sa’d bin Abi Waqqâsh Radhiyallahu anhum.
Hadits ini mutawâtir. Disebutkan oleh as-Suyuthi dalam kitabnya, Qathful Azhâr al-Mutanâtsirah fil Akhbâril Mutawâtirah..
Hadits ini mutawâtir, disampaikan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Masjid al-Khâ’if wilayah Mina dihadapan puluhan ribu Shahabat.
SYARAH HADITS
1. Perintah Untuk Menuntut Ilmu Syar’i
نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ غَيْرَهُ
Semoga Allâh memberikan cahaya pada wajah orang yang mendengarkan sebuah hadits dari kami, lalu menghafalkannya sehingga bisa menyampaikannya kepada orang lain.
⇒Semoga Allâh Azza wa Jalla Memberikan Cahaya
Tentang lafazh hadits ini, ada sebagian Ulama membacanya takhfîf (tanpa tasydîd ) dan sebagian lainnya membaca dengan tasydîd. Keduanya benar, sebagaimana penjelasan Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbâd.
Maksud dari naddhara[2] adalah wajahnya berseri-seri, sebagaimana yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya, yang artinya, “Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Mereka memandang Rabb-nya.” [al-Qiyâmah/75: 22-23]
Ada yang mengartikan naddhara dengan nudhrah (nikmat). Maksudnya, diberikan nikmat oleh Allâh Azza wa Jalla . Ada juga yang mengartikan naddhara dengan kecukupan. Maksudnya, diberikan kecukupan oleh Allâh Azza wa Jalla .
Makna sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini adalah :
Pertama, semoga Allâh Subhanahu wa Ta’ala memberikan cahaya dan mengindahkan wajah orang yang mendengar sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .[3]
Kedua, Allâh Azza wa Jalla akan mengantarkan orang tersebut kepada kenikmatan Surga. Maksud-nya, orang-orang yang mendengarkan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka Allâh Azza wa Jalla akan membimbingnya kepada kenikmatan Surga pada hari Kiamat. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Kamu dapat mengetahui kesenangan hidup yang penuh kenikmatan dari wajah mereka.” [al-Muthaffifîn/83:24]
Juga firman-Nya :
فَوَقَاهُمُ اللَّهُ شَرَّ ذَٰلِكَ الْيَوْمِ وَلَقَّاهُمْ نَضْرَةً وَسُرُورًا
“Maka Allâh melindungi mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka keceriaan dan kegembiraan.” [Al-Insân/76:11]
Ini adalah do’a Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam buat orang-orang yang benar-benar mendengarkan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , memahaminya, mengamalkannya dan mendakwahkannya. Orang-orang itu akan memperoleh dua keutamaan, yaitu diberi keindahan wajah dan dibimbing untuk meraih kenikmatan Surga.
⇒Mempelajari Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Lafazh atau kata hadîtsan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas , maksudnya yaitu hadits yang sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Hadits adalah semua yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , baik berupa sifat, perkataan, perbuatan, maupun taqrîr(persetujuan).
Kemudian sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya ,“ …lalu ia menghafalnya)…” maksudnya anjuran bagi kita untuk menghafal hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Di antara sebab terjaganya sunnah-sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah kaum Muslimin adalah adanya orang-orang yang menghafalnya. Para Ulama terdahulu sangat giat dan bersemangat dalam menghafal hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sehingga di antara mereka ada yang menghafal ratusan ribu hadits beserta sanadnya.
Kata “menghafal” ini mencakup hafal di luar kepala, atau bisa juga dengan ia mencatatnya. Sebab, mencatat adalah jalan untuk menghafal. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menulis ilmu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
قَيِّدُوا الْعِلْمَ بِالْكِتَابِ
Ikatlah ilmu itu dengan tulisan! [4]
Dengan adanya orang-orang yang menghafal dan mencatat hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terjaga.
Dalam riwayat lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “… فَوَعَاهَا… (lalu ia memahaminya).” artinya, tidak sekedar menghafal, tetapi juga harus memahami.
Kemudian sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “…حَتَّى يُبَلِّغَهُ غَيْرَهُ… (sehingga ia bisa menyampaikan kepada yang lainnya)…” artinya, ilmu-ilmu yang sudah ia hafal, ia fahami, dan ia amalkan, juga harus disampaikan kepada yang lainnya. Menyampaikan ilmu syar’i kepada orang lain memiliki keutamaan yang sangat besar. Ketika Hajjatul Wadaa’, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
فَلِيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ مِنْكُمُ الْغَائِبَ
Hendaklah orang yang menyaksikan (hadir/ mendengar) di antara kalian menyampaikannya kepada yang tidak hadir[5]
⇒Keutamaan Ilmu Syar’i
Seandainya ilmu itu tidak memiliki keutamaan selain yang disebutkan dalam hadits di muka, tentu itu sudah cukup untuk menunjukkan kemuliaan ilmu. Karena, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan orang yang mendengar sabda beliau, menampungnya, menghafalnya, menjaganya serta menyampaikannya. Berdasarkan hadits ini, kita bias memahami empat tingkatan ilmu :
Pertama, yaitu mendengar dan menyimak ilmu dari sumbernya. Sumber ilmu adalah al-Qur’ân dan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . dan termasuk dalam hal ini adalah menelaah kitab para Ulama yang bersumber dari wahyu Allâh Azza wa Jalla .
Kedua, yaitu berusaha memahami dan meresapi kandungannya, supaya ilmu tersebut benar-benar tetap di hati dan tidak hilang. Menetap di dalam hati seperti sesuatu yang ditampung dalam wadah yang tidak mungkin bisa keluar, atau kaksana unta yang terkekang tali, sehingga tidak bisa lari kemana-kemana.
Ketiga, yaitu berkomitmen untuk menjaganya agar tidak hilang, dengan berusaha maksimal untuk menghafalnya.
Keempat, yaitu menyampaikan dan menyebarkannya kepada ummat agar ilmu itu membuahkan hasil.
Barangsiapa melakukan keempat tingkatan di atas, berarti ia termasuk orang yang dido’akan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar di karunia keindahan, baik keindahan fisik atau psikis. Sungguh, kecerahan wajah merupakan pengaruh iman, kebahagiaan batin dan kegembiraan hati.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “Maka Allâh melindungi mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka keceriaan dan kegembiraan.” [al-Insân/76:11]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :
تَعْرِفُ فِي وُجُوهِهِمْ نَضْرَةَ النَّعِيمِ
Kamu dapat mengetahui kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan dari wajah mereka. [al-Muthaffifiin/83:24]
Jadi, wajah ceria dan berseri-seri yang dimiliki oleh orang yang mendengar sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu memahaminya, menghafal, menjaga (hafalannya) lalu menyampaikannya adalah pengaruh dari manisnya (iman), kecerahan, dan kebahagiaan hati dan jiwanya.[6]
2. Ilmu Fiqih dan Pembawanya
فَإِنَّهُ رُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيْهٍ ، وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ
Banyak orang yang membawa fiqih namun ia tidak memahami. Dan banyak orang yang menerangkan fiqih kepada orang yang lebih faham darinya
Dalam hadits ini dijelaskan bahwa banyak orang yang membawa hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , akan tetapi ia tidak bisa memahaminya dengan baik; Ada juga yang membawa fiqih kepada orang yang lebih faham (lebih faqîh). Ada orang yang didiberitahu tentang ilmu namun ia lebih faham daripada orang yang memberitahukannya. Namun, bagaimanapun keadaannya, orang yang menyampaikan ayat-ayat al-Qur’ân, hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maupun ilmu-ilmu syar’i lainnya, tetap mendapatkan pahala sebagai orang yang menyebarkan ilmu.
3. Perintah Untuk Membersihkan Hati
ثَلَاثُ خِصَالٍ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ أَبَدًا : إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلهِ ، وَمُنَاصَحَةُ وُلَاةِ الْأَمْرِ ،
وَلُزُوْمُ الْـجَمَاعَةِ ؛ فَإِنَّ دَعْوَتَهُمْ تُحِيْطُ مِنْ وَرَائِهِمْ
Ada tiga hal yang dengannya hati seorang muslim akan bersih (dari khianat, dengki dan keburukan), yaitu: (pertama) beramal dengan ikhlas karena Allâh, (kedua) menasihati ulil amri (penguasa), dan (ketiga) berpegang teguh pada jama’ah kaum Muslimin, karena do’a mereka meliputi dari belakang mereka.
⇒Membersihkan Hati
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ثَلَاثُ خِصَالٍ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ أَبَدًا…
Ada tiga hal yang dengannya hati seorang muslim akan bersih selamanya…
Kalimat يغل , jika dibaca yughillu, yang artinya khianat, maka maksudnya adalah, “Hati seorang Muslim tidak akan berkhianat selama-lamanya jika dia berada dalam tiga hal…”. Sedangkan jika dibaca yaghillu atau yughallu, yang artinya hasad (dengki)[7], maka maksud hadits di atas adalah, “Hati seorang Muslim tidak dihinggapi hasad (dengki) selama-lamanya jika ia berada dalam tiga hal…”
Jadi, hati seorang Muslim itu bersih dari sikap khianat, hasad (dengki), dan keburukan selama-lamanya apabila ia mengerjakan tiga hal ini. Imam Ibnul Atsir rahimahullah mengatakan, “Tiga perkara ini akan membuat hati seorang Muslim menjadi baik. Barangsiapa yang berpegang dengan tiga hal ini, maka hatinya bersih dari khianat, dengki, dan keburukan.”
a. Amalan Pertama: Beramal Ikhlas Karena Allâh Azza wa Jalla
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
…إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلهِ…
“… melakukan suatu amalan dengan ikhlas karena Allâh…”
Ikhlas adalah masalah yang penting dan utama. Amalan seseorang tidak ada artinya tanpa adanya keikhlasan, sebagaimana dijelaskan dalam banyak ayat al-Qur’ân dan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Di antaranya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى …
Sesungguhnya amal-amal itu (sah) dengan niat dan sesungguhnya (balasan amal) seseorang itu tergantung niatnya…[8]
Ikhlas adalah perkara yang berat, namun wajib bagi kita untuk terus berusaha berlaku ikhlas. Karena ikhlas syarat diterimanya suatu ibadah. Imam Sufyân ats-Tsauri t berkata, “Tidaklah aku mengobati sesuatu yang lebih berat daripada mengobati niatku, sebab ia senantiasa berbolak-balik pada diriku.”
Demikian juga yang disampaikan oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah , beliau berkata, “Tidak akan berkumpul dalam hati seorang Mukmin antara ikhlas di hati dengan keinginan untuk dipuji (disanjung) dan mengharapkan sesuatu dari manusia. Sebagaimana antara air dan api tidak mungkin menyatu …”[9]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ ، مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيْهِ مَعِـيْ غَيْرِيْ تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Aku tidak butuh kepada semua sekutu. Barangsiapa yang beramal dengan mempersekutukan Aku dengan yang lain, maka Aku biarkan dia bersama sekutunya.’”[10]
Kita diperintahkan untuk senantiasa ikhlas dalam setiap amal ibadah kita. Orang-orang yang benar-benar ikhlas, maka dosa-dosanya akan diampuni. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Suatu amal yang dilakukan dengan dasar keikhlasan dan ibadah yang sempurna kepada Allâh, maka Allâh akan mengampuni dosa-dosa besarnya dengan sebab keikhlasan tersebut. Seperti dalam hadits al-bithâqah[11] (kartu yang bertuliskan لَا إِلَـهَ إِلَّا اللهُ –Pen.) yang ditimbang dengan 99 dosa di salah satu timbangan. Maka, yang lebih berat adalah al-bithâqah tersebut. [12]
Orang yang ikhlas akan selalu Allâh teguhkan, luruskan dan bersihkan hatinya. Sebaliknya, apabila ia tidak ikhlas kepada Allâh Azza wa Jalla , maka ia tidak akan tetap dan tidak istiqamah di atas kebenaran.
b. Amalan Kedua: Menasihati Ulil Amri (Penguasa Kaum Muslimin)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
…وَمُنَاصَحَةُ وُلَاةِ الْأَمْرِ …
“…dan menasihati ulil amri (penguasa)…”
Agama Islam adalah agama nasehat. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اَلدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، (×3) قَالُوْا: لِمَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: ِللهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ، وَِلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ أَوْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ، وَعَامَّتِهِمْ.
“Agama itu nasihat (3x). Para Sahabat g bertanya, ‘Untuk siapa, wahai Rasûlullâh?’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Untuk Allâh, Kitab-Nya, Rasul-Nya, Imam kaum Muslimin atau Mukminin, dan bagi kaum Muslimin pada umumnya.”[13]
Islam menganjurkan ummatnya untuk menasihati para Imam dan penguasa dengan cara terbaik, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah.
Menasihati penguasa kaum muslimin, maksudnya yaitu kita menginginkan kebaikan buat para penguasa. Kita ingin supaya mereka berlaku baik, adil dan lurus. Kita tidak boleh keluar (memisahkan diri) dari mereka, tidak boleh menghujat mereka serta tidak boleh memberontak.
Imam Ibnush Shalâh t mengatakan bahwa maksud dari menasihati para penguasa kaum muslimin adalah mendatangi mereka lalu menasihati mereka dengan kata-kata yang baik. Dan ini tugas para Ulama.
Menasihati penguasa bukan dengan cara orasi di mimbar, atau dengan demonstrasi di jalan-jalan, atau dengan meghujat mereka. Semua cara ini tidak dibenarkan dalam syari’at Islam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاَنِيَةً، وَلَكِنْ يَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْبِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ.
Barangsiapa ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkannya terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri dengannya. Jika penguasa itu mau mendengar nasihat itu, maka itu yang terbaik dan bila si penguasa itu enggan menerima), maka sungguh ia telah melaksanakan kewajibannya.[14]
Sikap Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah yang mentaati penguasa kaum Muslimin serta menasihati mereka dengan cara yang baik akan menimbulkan rasa aman.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan umatnya agar tetap taat dan patuh kepada penguasa kaum muslimin selama mereka tidak memerintahkan kepada perbuatan mungkar. Dengan sikap seperti ini, sifat hasad (dengki) akan sirna dari hati kaum Muslimin dan akan tercipta suasana damai nan indah. Kita harus menyadari bahwa para penguasa, para Ulama, dan rakyat, masing-masing memiliki tugas dan kewajiban. Jika tugas dan kewajiban mereka tumpang tindih maka akan sangat berpotensi menimbulkan kekacauan dan keruwetan.
Bahkan, syari’at Islam mengajarkan supaya rakyat mendo’akan kebaikan buat penguasa. Salah seorang salaf mengatakan :
لَوْ كَانَ لَنَا دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ لَـجَعَلْنَاهَا لِلسُّلْطَانِ
Seandainya kami memiliki do’a mustajab (maqbûl), tentu telah kami gunakan untuk mendo’akan penguasa.
Sebab, baiknya penguasa berarti baik pula keadaan rakyat dan begitu pula sebaliknya. Penguasa adalah cerminan keadaan rakyatnya. Apabila rakyatnya baik, maka penguasanya pun baik; dan jika rakyatnya jelek, maka penguasanya pun jelek.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah mengatakan, “Renungilah hikmah Allâh Azza wa Jalla yang telah menjadikan (perbuatan) para raja, pemimpin, dan pengayom masyarakat serupa dengan perbuatan masyarakat. Bahkan amal perbuatan mereka seakan-akan tercermin pada (prilaku) pemimpin mereka. Jika masyarakat istiqomah, maka penguasa mereka juga akan istiqâmah (lurus). Jika mereka adil, maka penguasa pun berlaku terhadap mereka. Namun jika mereka zhalim, maka akan zhalim pula penguasa dan pemimpin mereka. Jika tipu muslihat tersebar di tengah mereka, maka demikian pula yang terjadi pada pemimpin mereka. Jika mereka enggan mengeluarkan atau menunaikan apa yang menjadi hak Allâh Azza wa Jalla , maka para penguasa dan pemimpin mereka pun akan enggan memberikan hak-hak rakyat yang ada pada mereka. Dan jika dalam muamalah mereka mengambil sesuatu yang bukan hak mereka dari orang-orang yang lemah, maka para penguasa pun akan berlaku demikian dan akan membebankan kepada mereka berbagai kewajiban.
Setiap yang mereka ambil dari orang-orang lemah, maka akan diambil pula oleh para penguasa itu dari diri mereka dengan paksa. Dengan demikian amal perbuatan mereka tercermin pada amal perbuatan penguasa dan pemimpin mereka.
Dan bukanlah hikmah ilahiyyah, seseorang diangkat untuk memimpin orang-orang jahat lagi keji kecuali orang-orang yang serupa dengan mereka. Ketika kaum Muslimin pada kurun-kurun pertama merupakan kaum terbaik, maka para pemimpin mereka seperti itu pula. Dan ketika masyarakat mulai tercemari, maka pemimpin mereka pun mulai tercemari. Demikianlah (seterusnya), hikmah Allâh Azza wa Jalla menolak jika kita di zaman ini dipimpin oleh orang-orang seperti Mu’âwiyah dan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, apalagi orang-orang seperti Abu Bakar dan ‘Umar. Pemimpin kita sesuai dengan keadaan kita. Dan pemimpin orang-orang sebelum kita pun sesuai dengan kondisi mereka. Masing-masing dari kedua hal tersebut merupakan konsekwensi dan tuntutan hikmah Allâh Azza wa Jalla .”[15]
Apabila keadaan kita masih jauh dari kebaikan, maka jangan bermimpi akan mendapatkan pemimpin seperti ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz atau seperti Mu’awiyyah, apalagi seperti Abu Bakar ash-Shiddiq atau ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhuma . Syari’at Islam mengajarkan apabila kita ingin mendapatkan pemimpin atau penguasa yang baik, maka hendaklah kita memperbaiki keadaan diri-diri kita terlebih dahulu, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, “….Sesungguhnya Allâh tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri…” [ar-Ra’d/13:11]
Dan perlu diingat, untuk mendapatkan pemimpin yang baik harus bersabar dan yakin, sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala , yang artinya, “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami selama mereka sabar. Mereka meyakini ayat-ayat Kami.” [as-Sajdah/32:24]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan tentang kedatangan penguasa-penguasa yang berbuat zhalim kepada rakyatnya dan hanya mengutamakan diri-diri mereka. Namun meski demikian, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerintahkan untuk bersabar, walaupun para penguasa itu memukuli dan menyiksa. Islam tidak pernah mengajarkan demonstrasi dan pemberontakan!
c. Amalan Ketiga: Berpegang Teguh Pada Jamâ’ah Kaum Muslimin
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
…وَلُزُوْمُ الْـجَمَاعَةِ ؛ فَإِنَّ دَعْوَتَهُمْ تُـحِيْطُ مِنْ وَرَائِهِمْ
“…dan berpegang teguh pada jama’ah kaum Muslimin, karena do’a mereka meliputi dari belakang mereka.”
Jamâ’ah memiliki beberapa makna, diantaranya yaitu :
Pertama, para Shahabat Nabi Radhiyallahu anhum. Makna ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِيْنَ : ثِنْتَان وَسَبْعُوْنَ فِـي النَّارِ ، وَوَاحِدَةٌ فِـي الْـجَنَّةِ، وَهِيَ الْـجَمَاعَةُ.
Sesungguhnya (umat) agama ini (Islam) akan berpecah belah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, 72 golongan di neraka dan satu golongan di surga, yaitu al-Jamâ’ah.”[16]
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa makna al-jamâ’ah dalam hadits ini adalah :
… مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِـيْ
(Yaitu) jalan yang aku (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) tempuh bersama para shahabat-ku.[17]
Kedua, al-haqq (kebenaran). Makna ini sebagaimana ucapan Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu ,
اَلْـجَمَاعَةُ مَا وَافَقَ الْـحَقَّ وَإِنْ كُنْتَ وَحْدَكَ
al-Jama’ah adalah apa yang sesuai dengan al-haqq (kebenaran) meskipun engkau seorang diri[18]
Ketiga, maknanya adalah bersatu dengan kedaulatan mayoritas kaum Muslimin yang dipimpin oleh Ulil Amri (penguasa). Oleh karenanya, dilarang memberontak kepada penguasa kaum Muslimin.
Perlu diperhatikan bahwa tidak boleh memalingkan maksud hadits ini menjadi jama’ah-jama’ah bai’at yang ada pada sebagian kaum Muslimin sekarang ini. Jamâ’ah-jamâ’ah yang mewajibkan anggotanya berbai’at kepada imam mereka, serta mengkafirkan orang-orang yang berada di luar kelompok mereka. Pemahaman seperti ini adalah pemahaman yang sesat dan menyesatkan.
Selanjutnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِنَّ دَعْوَتَهُمْ تُـحِيْطُ مِنْ وَرَائِهِمْ
… karena sesungguhnya do’a mereka meliputi dari belakang mereka.
Maksudnya, apabila pemimpin dan rakyatnya sudah mentauhidkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala lalu masing-masing mereka berdo’a kepada Allâh, maka do’a mereka ini mustajab (maqbul). Bahkan, do’a kaum Muslimin yang lemah bisa menyebabkan pertolongan Allâh Azza wa Jalla datang. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
هَلْ تُنْصَرُوْنَ وَتُرْزَقُوْنَ إلَّا بِضُعَفَائِكُمْ
Allâh tidak menolong dan melimpahkan rizki kepada kalian kecuali dengan sebab orang-orang lemah di antara kalian.[19]
Dalam riwayat lain disebutkan,
إِنَّمَا يَنْصُرُ اللهُ هَذِهِ الْأُمَّةَ بِضَعِيْفِهَا بِدَعْوَتِهِمْ وَصَلَاتِهِمْ وَإِخْلَاصِهِمْ
Sesungguhnya Allâh menolong ummat ini dengan sebab do’a, shalat dan keikhlasan kaum Muslimin yang lemah[20]
Do’a kaum Muslimin mengelilingi mereka, oleh karena itu diwajibkan bagi kita untuk bersama jamâ’ah kaum Muslimin supaya kita mendapatkan do’a-do’a mereka.
4. Wasiat Untuk Bersikap Zuhud di Dunia
مَنْ كَانَ هَمُّهُ الْآخِرَةَ ؛ جَمَعَ اللهُ شَمْلَهُ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِـيْ قَلْبِهِ ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ
Barangsiapa keinginannya adalah negeri akhirat, maka Allâh akan menyatukan kekuatannya, menjadikannya kaya hati, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.
Dalam hadits ini dijelaskan bahwa apabila seseorang menjadikan akhirat sebagai tujuan hidupnya, maka Allâh akan membereskan urusannya. Oleh karena itu, para Nabi dan Rasul Alaihissalam, juga para Shahabat Radhiyallahu anhum menjadikan akhirat sebagai tujuan hidup mereka.
Dan Allâh Azza wa Jalla mengecam orang yang lebih mengutamakan dunia daripada akhirat. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, « Sedangkan kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” [al-A’lâ/87:16-17]
Oleh karena itu, Allâh dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk memusatkan perhatian dalam hidup ini pada urusan akhirat. Artinya, kita harus berpikir, apakah yang kita kerjakan di dunia ini bermanfaat bagi kita nanti di akhirat serta dapat menyelamatkan kita dari neraka ? Ini bukan berarti kita meninggalkan urusan dunia dan enggan mencari nafkah. Menjadikan akhirat sebagai tujuan tidak menafikan usaha mencari nafkah di dunia. Para Nabi dan Rasul menjadikan akhirat sebagai tujuan hidupnya akan tetapi mereka tetap bekerja mencari nafkah. Ada yang menjadi tukang kayu, ada yang menggembala, ada yang menjadi raja, ada juga yang menjadi pedagang. Bahkan, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau bergantung kepada manusia hingga beliau menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi dan masih tergadai sampai beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.
Kita harus menjadikan as-salafusshalih sebagai teladan dalam memahami dan mempraktekkan agama ini. di antara yaitu menjadikan akhirat sebagai tujuan dalam setiap perbuatan kita. Sehingga dalam mengerjakan amal-amal ketaatan, seperti shalat, zakat, puasa, haji, ‘umrah, sedekah, berdakwah dan lain sebagainya, tidak lain hanyalah untuk mengharapkan pahala surga dan supaya dijauhkan dari siksa neraka. Oleh karena itu, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para wanita supaya bersedekah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan tentang siksa neraka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ وَلَوْ مِنْ حُلِيِـّكُنَّ ، فَإِنَّكُنَّ أَكْثَرُ أَهْلِ جَهَنَّمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Wahai kaum wanita, bershadaqahlah! Meskipun dengan perhiasan kalian. Sesungguhnya pada hari Kiamat, kalian adalah penghuni neraka Jahannam yang paling banyak.[21]
Maksudnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh bersedekah supaya masuk surga dan dijauhkan dari siksa neraka.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
اِتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ
Lindungilah diri kalian dari neraka meskipun dengan (menyedekahkan) sebutir kurma. Jika tidak ada maka dengan kata-kata yang baik.[22]
Inilah hakikat zuhud, yaitu meninggalkan segala yang tidak bermanfaat di akhirat.
Apabila seseorang menyikapi hidupnya seperti ini, maka Allâh Azza wa Jalla akan menjadikan dunia datang kepadanya dalam keadaan hina, artinya rizkinya mudah. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Barangsiapa bertakwa kepada Allâh niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” [ath-Thalâq/65:2-3]
5. Wasiat Supaya Tidak Tamak Kepada Dunia
وَمَنْ كَانَتْ نِيَّتُهُ الدُّنْيَا ؛ فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ ضَيْعَتَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ
Barangsiapa niatnya mencari dunia, Allâh akan menjadikan urusan dunianya berantakan, menjadikan kefakiran di pelupuk matanya, dan ia hanya bisa meraih apa yang telah ditetapkan baginya.
Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela sikap tamak terhadap dunia. Bahkan, Allâh Azza wa Jalla sangat merendahkan kedudukan dunia dalam banyak ayat al-Qur’ân. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“…Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.” [Ali ‘Imrân/3:185]
Apabila seseorang menjadikan dunia sebagai tujuan hidupnya dan mengesampingkan akhirat, maka Allâh Azza wa Jalla akan menjadikan urusan dunianya berantakan, serba sulit, serta menjadikan hidupnya dalam kegelisahan. Dan Allâh Azza wa Jalla menjadikan kefakiran di pelupuk matanya, selalu dihantui kemiskinan atau tidak pernah merasa cukup dengan rizki yang Allâh Azza wa Jalla karuniakan kepadanya.
Dunia yang berhasil ia raih hanya sebatas apa yang telah ditetapkan baginya, meskipun ia telah bekerja keras pada seluruh waktunya dengan mengorbankan kewajiban beribadah kepada Allâh, mengorbankan hak-hak isteri, anak-anak, keluarga, orang tua, dan lainnya
Cinta kepada dunia adalah sumber semua kejelekan, oleh karenanya tidak boleh menjadikan dunia sebagai tujuan hidup. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ﴿١٥﴾أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan (balasan) penuh atas pekerjaan mereka di dunia (dengan sempurna) dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh (sesuatu) di akhirat kecuali neraka, dan sia-sialah di sana apa yang telah mereka usahakan (di dunia) dan terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan.” [Hûd/11:15-16]
Juga firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala , yang artinya, “Barangsiapa menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya, dan barangsiapa menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian darinya (keun-tungan dunia), tetapi dia tidak akan mendapat bagian di akhirat.” [Asy-Syûrâ/42:20]
Dunia ini dilaknat oleh Allâh dan dilaknat apa yang ada di dalamnya, oleh karena itu jangan jadikan dunia sebagai tujuan. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Cinta dunia adalah sumber semua kejelekan dan pokok semua kesalahan.”
Apabila ditanyakan, “Mengapa itu bisa terjadi?” Maka Imam Ibnul Qayyim menjawab :
- orang yang cinta dunia akan mengagungkan dunia, padahal dunia itu hina. Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan bahwa dunia itu lebih jelek daripada bangkai kambing yang cacat.
- Dunia dan isinya ini dilaknat oleh Allâh, kecuali yang dicintai oleh-Nya. Sehingga orang yang cinta dunia akan terus-menerus mendapatkan fitnah.
- Orang yang cinta dunia akan menjadikan dunia itu sebagai tujuan, padahal dunia ini hanyalah wasilah (perantara) untuk menuju akhirat.[23]
Oleh karena itu, sebagai seorang Muslim, selama hidup di dunia harus selalu mengerjakan amal-amal kebaikan dan beribadah kepada Allâh Ta’ala dalam rangka mempersiapkan diri-diri kita di kehidupan akhirat yang kekal.
FAEDAH-FAEDAH HADITS
Ada beberapa faedah yang dapat kita petik dari hadits yang mulia ini, di antaranya:
- Dianjurkan untuk menuntut ilmu syar’i.
Menuntut ilmu syar’i hukumnya adalah wajib, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.”[24]
- Dianjurkan untuk mempelajari hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
- Dianjurkan untuk menyebarkan ilmu.
- Hadits ini menunjukkan kemuliaan dan keutamaan ash-hâbul hadîts.
- Dianjurkan untuk menulis dan menghafalkan hadits.
- Balasan tergantung dari jenisnya amal.
- Seorang rawi hadits hendaknya menyampaikan menurut apa yang ia dengar.
- Keutamaan para Shahabat yang mulia Radhiyalllahu anhu .
- Do’a Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam buat orang yang mendengar Sunnah, yang menghafalnya, dan yang menyampaikannya.
- Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakan sabda-sabda beliau sebagai hadits.
- Bahwa khabar ahad termasuk hujjah dan wajib diamalkan.
- Bahwa asas dari setiap kebaikan, yaitu mendengarkan dengan baik.
- Dianjurkan untuk memperhatikan hadits, baik secara riwayat[25] maupun secara dirayah[26].
- Dianjurkan untuk memahami (mendalami) agama dengan sungguh-sungguh.
- Terkadang ada orang yang belakangan itu lebih faqih dari orang yang terdahulu, namun ini sedikit.
- Adanya perbedaan manusia dalam memahami agama.
- Hadits sebagai sumber untuk memahami fiqih.
- Manusia terbagi menjadi hafizh dan faqih.
- Diwajibkan untuk ikhlas dalam beramal.
- Peringatan tentang bahaya syirik, riya’ dan sum’ah.
- Dianjurkan untuk menasihati ulil amri (penguasa) dengan cara yang syar’i.
- Diperintahkan untuk berpegang kepada jamâ’ah.
- Dilarang memisahkan diri dari jamâ’ah kaum muslimin.
- Dilarang berlaku khianat, dengki, dan iri.
- Dianjurkan mendo’akan kaum Muslimin.
- Seorang Muslim tidak boleh menjadikan dunia sebagai tujuannya.
- Dianjurkan bagi seorang Muslim untuk men-jadikan akhirat sebagai tujuannya.
- Ancaman bagi orang yang menjadikan dunia sebagai tujuan.
- Iman kepada qadha’ dan qadar.
- Di antara nikmat Allâh yang terbesar yaitu menuntut ilmu syar’i
- Musibah yang paling besar bagi seseorang yaitu ketika dunia dijadikan tujuan dan kefakiran di pelupuk matanya.
- Luasnya rahmat Allâh Azza wa Jalla bagi orang-orang yang menjadikan akhirat sebagai
- Rizki itu berada di tangan Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Allah Azza wa Jalla memberikannya kepada yang Allâh kehendaki saja.
- Di antara sebab terbesar meraih dunia adalah dengan menjadikan akhirat sebagai tujuan.[27]
MARAAJI’
- Musnad Imam Ahmad dan ta’liq as-Sindi atas Musnad Imam Ahmad.
- Shahîh al-Bukhâri.
- Shahîh Muslim.
- Sunan Abu Dâwud.
- Sunan at-Tirmidzi.
- Sunan an-Nasâ’i.
- Sunan Ibni Mâjah.
- Sunan ad-Dâ
- Mawâriduzh Zham’ân libni Hibbâ
- Jâmi’ Bayânil ‘Ilmi wa Fadhlihi, oleh Imam Ibnu ‘Abdil Barr, takhrij Abul Asybal Samir in Amin az-Zuhriy.
- Miftâh Dâris Sa’âdah wa Mansyuru Walâyati Ahlil ‘Ilmi wal Irâdah, oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halabi, cet. I, Daar Ibnu ‘Affan, th. 1416 H.
- An-Nihâyah fii Gharîbil Hadîts.
- Lisânul ‘Arab.
- Faidhul Qadîr Syarh al-Jâmi’ish Shaghîr min Ahâdîtsil Basyîrin Nadzîr, oleh Imam al-Munawi, cet. Daarul Kutub ‘Ilmiyyah.
- Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah.
- Kutub wa Rasâil Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbâd: Dirâsah Hadits Nadharallâhumra-an (III/299-491).
- Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu min Durari Kalâmil Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, tansiiq wa ta’liiq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halabi.
- dan kitab-kitab lainnya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 1/Tahun XV/1432H/2011M. Oleh Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله]
_______
Footnote
[1] Lihat Faidhul Qadîr Syarh Jâmi’ish Shaghîr (VI/370).
[2] Dalam riwayat-riwayat lain – karena riwayat hadits ini banyak– ada yang berbunyi :
نَضَّرَهُ امْرَأً…atau نَضَّرَ اللهُ عَبْدًا…
[3] Sebagaimana perkataan ar-Râmahurmuzi dalam kitabnya, al-Muhadditsul Fâshil bainar Râwi wal Wâ’ii. Dinukil dari Dirâsatul Hadîts “Nadharallaahumra-an”, karya Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad al-Badr hafizhahullah.
[4] Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jâmi’ Bayânil ‘Ilmi wa Fadhlih (I/306, no. 395), dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu. Lihat takhrij lengkapnya dalam kitab Silsilah ash-Shahiihah (no. 2026).
[5] Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 67) dan Muslim (no. 1679 (30)), dari Abu Bakrah Radhiyallahu anhu
[6] Miftâh Dâris Sa’âdah (I/275-276) karya Ibnul Qayyim rahimahullah. Lihat juga al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu min Durari Kalâmil Imam Ibnul Qayyim rahimahullah (hlm. 70-72) ta’liq Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi, dengan sedikit tambahan.
[7] Sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam QS. al-Hasyr/59: 10
[8] HR. al-Bukhâri (no. 1) dan Muslim (no. 1907).
[9] Fawâ’idul Fawâ’id libnil Qayyim (hlm. 421), diringkas oleh Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi.
[10] HR. Muslim (no. 2985) dan Ibnu Majah (no. 4202), dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu .
[11] HR. at-Tirmidzi (no. 2639), Ibnu Mâjah (no. 4300), Ahmad (II/213), dan al-Hâkim (I/6, 529). at-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan gharib.” Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 135).
[12] Minhajus Sunnah an-Nabawiyyah (VI/218-220), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, tahqiq DR. Muhammad Rasyad Salim.
[13] HR. Muslim (no. 55 (95)), Abu Dâwud (no. 4944), an-Nasâ’i (VII/156-157), Ibnu Hibbân (Ta’lîqatul Hisân ‘ala Shahih Ibni Hibbân no. 4555), Ahmad (IV/102-103), al-Baihaqi (VIII/163), dan lafazh ini milik Ibnu Hibban dan Ahmad, dari Abu Ruqayyah Tamim bin ‘Aus ad-Dâri Radhiyallahu anhu .
[14] HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (II/507-508, bab Kaifa Nashîhatur Ra’iyyah lil Wulât, no. 1096, 1097, 1098), Ahmad (III/403-404) dan al-Hakim (III/290) dari ‘Iyadh bin Ghunm t.
[15] Miftâh Dâris Sa’âdah (II/177-178), Imam Ibnul Qayyim, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali al-Halabi.
[16] Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 4597), Ahmad (IV/102), al-Hâkim (I/128), ad-Dârimi (II/241), al-Âjurri dalam as-Asyari’ah, al-Lalika-i dalam Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah (I/113 no. 150). Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 203-204).
[17] Hasan: HR. at-Tirmidzi, no. 2641 dan al-Hakim (I/129) dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma . Lihat Dar-ul Irtiyâb ‘an Hadîts mâ Ana ‘alaihi wa Ash-hâbii oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Darur Rayah, th. 1410 H.
[18] Al-Bâ’its ‘alâ Inkâril Bida’ wal Hawâdits hlm. 91-92, tahqiq oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Salman dan Syarah Ushûlil I’tiqâd karya al-Lalika-i (no. 160).
[19] HR. al-Bukhâri (no. 2896).
[20] HR. an-Nasâ’i (VI/45).
[21] Shahih: HR. at-Tirmidzi, no. 635, Ahmad (I/425, 433), al-Hâkim (IV/603), dan Ibnu Hibbân (no. 4234-at-Ta’lîqâtul Hisân) dari Zainab, istri Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhuma .
[22] Muttafaq ‘alaih: HR. al-Bukhari (no. 1413, dan lain-lain) dan Muslim (no. 1016 (68)) dari ‘Adi bin Hatim Radhiyallahu anhu .
[23] Diringkas dari ‘Uddatush Shâbiirîn, oleh Imam Ibnul Qayyim. Lihat buku penulis, Manhâj Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah dalam Tazkiyatun Nufûs (hlm. 109-113).
[24] Shahih: HR. Ibnu Mâjah (no. 224), dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu . Lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3913). Diriwayatkan pula oleh Imam-imam ahli hadits lainnya dari beberapa Shahabat seperti ‘Ali, Ibnu ‘Abbâs, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, Abu Sa’id al-Khudri, dan al-Husain bin ‘Ali Radhiyallahu anhum .
[25] Ilmu yang mempelajari tentang apa yang berasal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berupa ucapan, perbuatan, taqrir, dan sifat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[26] Disebut juga ‘Ilmu Mushthalah Hadits, yaitu ilmu yang mempelajari sanad dan rawi-rawi hadits.
[27] Diringkas dari Dirâsâtul Hadîts “Nadharallâhumra-an”, karya Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad al-Badr.
0 comments:
Post a Comment