عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ نَـفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُـرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا ، نَـفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُـرْبَةً مِنْ كُـرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَـى مُـعْسِرٍ ، يَسَّـرَ اللهُ عَلَيْهِ فِـي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ، وَمَنْ سَتَـرَ مُسْلِمًـا ، سَتَـرَهُ اللهُ فِـي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ، وَاللهُ فِـي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ ، وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًـا ، سَهَّـلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَـى الْـجَنَّةِ ، وَمَا اجْتَمَعَ قَـوْمٌ فِـي بَـيْتٍ مِنْ بُـيُوتِ اللهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ ، وَيَتَدَارَسُونَـهُ بَيْنَهُمْ ، إِلَّا نَـزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ ، وَغَشِـيَـتْـهُمُ الرَّحْـمَةُ ، وَحَفَّـتْـهُمُ الْـمَلاَئِكَةُ ، وَذَكَـرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ ، وَمَنْ بَطَّـأَ بِـهِ عَمَلُـهُ ، لَـمْ يُسْرِعْ بِـهِ نَـسَبُـهُ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang Mukmin, maka Allâh melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan (urusan) orang yang kesulitan (dalam masalah hutang), maka Allâh Azza wa Jalla memudahkan baginya (dari kesulitan) di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi (aib) seorang Muslim, maka Allâh akan menutup (aib)nya di dunia dan akhirat. Allâh senantiasa menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya. Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allâh akan mudahkan baginya jalan menuju Surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allâh (masjid) untuk membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan ketenteraman akan turun atas mereka, rahmat meliputi mereka, Malaikat mengelilingi mereka, dan Allâh menyanjung mereka di tengah para Malaikat yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang diperlambat oleh amalnya (dalam meraih derajat yang tinggi-red), maka garis keturunannya tidak bisa mempercepatnya.”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh:
- Muslim (no. 2699).
- Ahmad (II/252, 325).
- Abu Dâwud (no. 3643).
- Tirmidzi (no. 1425, 2646, 2945).
- Ibnu Mâjah (no. 225).
- Ad-Dârimi (I/99).
- Ibnu Hibbân (no. 78- Mawâriduzh Zham-ân).
- Ath-Thayâlisi (no. 2439).
- Al-Hâkim (I/88-89).
- Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 127).
- Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jâmi’ Bayânil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/63, no. 44).
Dalam riwayat lain, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
اَلْـمُسْلِمُ أَخُوْ الْـمُسْلِمِ ، لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ ، وَمَنْ كَانَ فِـيْ حَاجَةِ أَخِيْهِ ، كَانَ اللهُ فِيْ حَاجَتِهِ ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ ، فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًـا ، سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
Seorang Muslim adalah saudara orang Muslim lainnya. Ia tidak boleh menzhaliminya dan tidak boleh membiarkannya diganggu orang lain (bahkan ia wajib menolong dan membelanya)[1]. Barangsiapa membantu kebutuhan saudaranya, maka Allâh Azza wa Jalla senantiasa akan menolongnya. Barangsiapa melapangkan kesulitan orang Muslim, maka Allâh akan melapangkan baginya dari salah satu kesempitan di hari Kiamat dan barangsiapa menutupi (aib) orang Muslim, maka Allâh menutupi (aib)nya pada hari Kiamat.[2]
SYARAH HADITS
1. Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang maknanya), “Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, maka Allâh melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat.”
Karena balasan itu sesuai dengan jenis perbuatan. Hadits-hadits tentang masalah ini banyak sekali, misalnya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَإِنَّـمَـا يَرْحَمُ اللهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ
Sesungguhnya Allâh menyayangi hamba-hamba-Nya yang penyayang[3]
Al–Kurbah (kesempitan) ialah beban berat yang mengakibatkan seseorang sangat menderita dan sedih. Meringankan (at-tanfîs) maksudnya berupaya meringankan beban tersebut dari penderita. Sedangkan at-tafrîj (upaya melepaskan) dengan cara menghilangkan beban penderitaan dari penderita sehingga kesedihan dan kesusahannya sirna. Balasan bagi yang meringankan beban orang lain ialah Allâh akan meringankan kesulitannya. Dan balasan menghilangkan kesulitan adalah Allâh akan menghilangkan kesulitannya.[4]
Seorang Muslim hendaknya berupaya untuk membantu Muslim lainnya. Membantu bisa dengan ilmu, harta, bimbingan, nasehat, saran yang baik, dengan tenaga dan lainnya.
Seorang Muslim hendaknya berupaya menghilangkan kesulitan atau penderitaan Muslim lainnya. Bila seorang Muslim membantu Muslim lainnya dengan ikhlas, maka Allâh Azza wa Jalla akan memberikan balasan terbaik yaitu dilepaskan dari kesulitan terbesar dan terberat yaitu kesulitan pada hari Kiamat. Oleh karena itu, seorang Muslim mestinya tidak bosan membantu sesama Muslim. Semoga Allâh Azza wa Jalla akan menghilangkan kesulitan kita pada hari Kiamat.
2. Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya : “Dari salah satu kesusahan hari Kiamat.”
Kenapa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersabda, “Dari salah satu kesempitan dunia dan akhirat,” seperti yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan dalam balasan memudahkan urusan dan menutup aib ? Ada yang mengatakan bahwa kurab (kesulitan-kesulitan) yang merupakan kesulitan luar biasa itu tidak menimpa semua manusia di dunia, berbeda dengan kesulitan dan aib yang perlu ditutup, hampir tidak ada seorangpun yang luput. Ada lagi yang mengatakan bahwa kesulitan dunia tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan kesulitan akhirat. Karenanya, Allâh Azza wa Jalla menyimpan pahala orang yang meringankan beban orang lain ini untuk meringankan kesulitannya pada hari Kiamat.[5] Ini diperkuat dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
…يَـجْمَعُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْأَوَّلِيْنَ وَالْآخِرِيْنَ فِـيْ صَعِيْدٍ وَاحِدٍ ، فَيُسْمِعُهُمُ الدَّاعِي ، وَيَنْفُذُهُمُ الْبَصَرُ ، وَتَدْنُو الشَّمْسُ مِنْهُمْ ، فَيَبْلُغُ النَّاسَ مِنَ الْغَمِّ وَالْكَرْبِ مَالاَ يُطِيْقُوْنَ ، وَمَالاَ يَحْتَمِلُوْنَ. فَيَقُوْلُ بَعْضُ النَّاسِ لِبَعْضٍ : أَلاَتَرَوْنَ مَا أَنْتُمْ فِيْهِ ؟ أَلاَتَرَوْنَ مَاقَدْ بَلَغَكُمْ ؟ أَلاَتَنْظُرُوْنَ مَنْ يَشْفَعُ لَكُمْ إِلَى رَبِّكُمْ ؟…
“…Allah mengumpulkan manusia dari generasi pertama hingga generasi terakhir pada satu tempat kemudian penyeru memperdengarkan suara kepada mereka, penglihatan[6] dapat meliputi mereka, matahari mendekat ke mereka, dan manusia menanggung kesedihan dan kesempitan yang tidak mampu lagi mereka tahan dan tanggung. Sebagian manusia berkata kepada sebagian lainnya, ‘Tidakkah kalian lihat apa yang terjadi pada kalian? Kenapa kalian tidak melihat orang yang bisa meminta syafa’at untuk kalian kepada Rabb kalian…’” dan seterusnya.[7]
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda,
تُحْشَرُوْنَ حُفَاةً عُرَاةً غُرْلًا. قَالَتْ : فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ ؟ قَالَ : اَلْأَمْرُ أَشَدُّ مِنْ أَنْ يُهِمَّهُمْ ذَاكَ
Kalian akan dikumpulkan (pada hari Kiamat) dalam keadaan telanjang kaki, telanjang (tidak berpakaian) dan tidak berkhitan.” ‘Aisyah berkata, “Wahai Rasûlullâh! Orang laki-laki dan perempuan akan saling melihat (aurat) yang lain?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Perkaranya lebih dahsyat daripada apa yang mereka inginkan.”[8]
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, “ (Yaitu) pada hari (ketika) semua orang bangkit menghadap Rabb seluruh alam.” (Al-Muthaffifiin/83:6), Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَقُوْمُ أَحَدُهُمْ فِـي رَشْحِهِ إِلَـى أَنْصَافِ أُذُنَيْهِ
Salah seorang dari mereka berdiri sementara keringatnya sampai separoh kedua telinganya.[9]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يَعْرَقُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَذْهَبَ عَرَقُهُمْ فِـي الْأَرْضِ سَبْعِيْنَ ذِرَاعًا ، وَيُلْجِمُهُمْ حَتَّى يَبْلُغَ آذَانَهُمْ
Pada hari Kiamat, manusia berkeringat hingga keringat mereka mengalir di bumi sampai tujuh puluh hasta dan mengalir hingga sampai di telinga mereka
Dalam lafazh Muslim,
إِنَّ الْعَرَقَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيَذْهَبُ فِي الْأَرْضِ سَبْعِيْنَ بَاعًا ، وَإِنَّهُ لَيَبْلُغُ إِلَى أَفْوَاهِ النَّاسِ ، أَوْ إِلَى آذَانِهِمْ
Sesungguhnya keringat manusia pada hari Kiamat kelak akan mengalir di bumi sampai tujuh puluh depa atau hasta dan dengan ketinggian mencapai mulut atau telinga mereka.[10]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ أُدْنِيَتِ الشَّمْسُ مِنَ الْعِبَادِ حَتَّى تَكُوْنَ قِيْدَ مِيْلٍ أَوِ اثْنَيْنِ ، فَتَصْهَرُهُمُ الشَّمْسُ ، فَيَكُوْنُوْنَ فِـي الْعَرَقِ بِقَدْرِ أَعْمَالِهِمْ ؛ فَمِنْهُمْ مَنْ يَأْخُذُهُ إِلَـى عَقِبَيْهِ ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَأْخُذُهُ إِلَى رُكْبَتَيْهِ ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَأْخُذُهُ إِلَى حِقْوَيْهِ ، وَمِنْهُمْ مَنْ يُلْجِمُهُ إِلْـجَامًا.
Apabila hari Kiamat telah tiba, matahari didekatkan kepada hamba-hamba hingga sebatas satu atau dua mil. Kemudian (panas) matahari membuat mereka berkeringat lalu mereka terendam dalam keringat sesuai dengan perbuatan mereka. Diantara mereka ada yang terendam hingga kedua tumitnya, ada yang terendam hingga kedua lutut, ada yang terendam hingga pinggangnya, dan di antara mereka ada yang terendam sampai ke mulutnya hingga ia tidak bisa bicara.[11]
3. Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang maknanya, “Barangsiapa memberi kemudahan kepada orang yang kesulitan maka Allâh Azza wa Jalla memberi kemudahan kepadanya di dunia dan akhirat.”
Ini menunjukkan bahwa pada hari kiamat ada kesulitan. Bahkan Allâh Azza wa Jalla menyebutkan hari kiamat sebagai hari yang sulit bagi orang-orang kafir. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَكَانَ يَوْمًا عَلَى الْكَافِرِينَ عَسِيرًا
… Dan itulah hari yang sulit bagi orang-orang kafir. [al-Furqân/25:26]
Memberi kemudahan kepada yang kesulitan (dalam utang) ganjarannya besar. Ini dapat dilakukan dengan dua cara :
Pertama, memberikan tempo dan kelonggaran waktu sampai ia berkecukupan dan mampu membayar utang. Ini hukumnya wajib, karena Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih bagimu, jika kamu mengetahui.” [al-Baqarah/2:280]
Kedua, dengan membebaskan hutangnya jika ia sudah tidak mampu lagi membayar hutangnya.
Kedua perbuatan ini memiliki keutamaan besar.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
كَانَ تَاجِرٌ يُدَايِنُ النَّاسَ ، فَإِذَا رَأَى مُعْسِرًا قَالَ لِفِتْيَانِهِ : تَـجَاوَزُوْا عَنْهُ لَعَلَّ اللهَ أَنْ يَتَجَاوَزَ عَنَّا ، فَتَجَاوَزَ اللهُ عَنْهُ
Dahulu ada seorang pedagang yang selalu memberikan pinjaman kepada manusia. Jika ia melihat orang itu kesulitan membayar hutangnya, ia berkata kepada anak-anaknya, ‘Bebaskanlah hutangnya, mudah-mudahan Allâh memaafkan kita (dari dosa-dosa),’ maka Allâh pun memaafkannya.[12]
Dari Abu Qatâdah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُـنْجِيَهُ اللهُ مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ ؛ فَلْيُنَفِّسْ عَنْ مُعْسِرٍ أَوْ يَضَعْ عَنْهُ
Siapa ingin diselamatkan oleh Allâh dari kesulitan-kesulitan hari Kiamat, hendaklah ia meringankan orang yang kesulitan (hutang) atau membebaskan hutangnya.[13]
Dari Abu Yasar Radhiyallahu anhu , Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ عَنْهُ ، أَظَلَّهُ اللهُ فِـيْ ظِلِّهِ
Barangsiapa memberi kelonggaran waktu kepada orang yang kesulitan membayar hutang atau menghapus hutangnya, maka Allâh akan menaunginya dalam naungan-Nya[14]
4. Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, “Dan barangsiapa menutupi (aib) seorang Muslim maka Allâh Azza wa Jalla menutupnya di dunia dan akhirat.”
Banyak nash-nash yang semakna dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Diriwayatkan dari salah seorang ulama Salaf, ia berkata, “Aku pernah berjumpa dengan kaum yang tidak memiliki aib kemudian mereka menyebutkan aib-aib orang lain, akhirnya manusia menyebut aib-aib kaum ini. Aku juga pernah bertemu kaum yang mempunyai sejumlah aib namun mereka menjaga aib orang lain, akhirnya aib-aib mereka dilupakan.[15]
Perkataan di atas diperkuat oleh hadits Abu Burdah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَـمْ يَدْخُلِ الْإِيْمَـانُ قَلْبَهُ : لَا تَغْتَابُوْا الْـمُسْلِمِيْنَ ، وَلَا تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ ؛ فَإنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللهُ Uعَوْرَتَهُ ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِـيْ بَيْتِهِ
Wahai orang-orang yang beriman dengan lidahnya, tetapi iman tidak masuk ke hatinya, jangan kalian menggunjing kaum Muslimin dan jangan mencari aib-aib mereka ! Karena barangsiapa mencari aib-aib mereka maka Allâh akan mencari-cari aibnya dan barangsiapa aibnya dicari-cari oleh Allâh maka Allâh akan mempermalukannya (meskipun ia berada) di rumah.[16]
Terkait dengan perbuatan maksiat, manusia terbagi dalam dua kelompok :
Pertama, orang baik yang kebaikan dan ketaatannya sudah diketahui orang banyak. Dia tidak dikenal sebagai pelaku maksiat. Orang seperti ini, jika melakukan kesalahan atau khilaf, maka kekeliruannya tidak boleh dibongkar dan tidak boleh diperbincangkan karena itu termasuk ghibah (menggunjing) yang diharamkan. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allâh mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [An-Nûr/24:19]
Maksud ayat ini ialah menyebarkan perbuatan keji orang mukmin yang menyembunyikan kesalahannya atau menyebarkan berita keji yang dituduhkan kepada kaum Muslimin padahal mereka tidak melakukannya sama sekali, seperti kisah dusta yang menimpa ‘Aisyah Radhiyallahu anha .
Sebagai orang-orang shalih mengingatkan para pelaku amar ma’ruf nahi mungkar agar merahasiakan para pelaku maksiat. Begitu juga apabila ada yang datang hendak bertaubat, menyesal dan mengaku telah berbuat maksiat berat namun ia tidak bisa menjelaskannya dengan rinci, maka orang seperti ini, tidak perlu diminta memberi penjelasan secara rinci dan dia diminta menutup aib dirinya, seperti yang diperintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ma’iz dan wanita al-Ghamidiah (yang telah mengaku berzina). Dan sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak minta penjelasan secara rinci kepada orang yang mengatakan, “Aku telah berbuat maksiat maka jatuhkan hukuman kepadaku.”
Anjuran menutup aib seorang Muslim yang berbuat kesalahan tidak berarti membiarkan kesalahannya. Bagi yang mengetahuinya tetap memiliki kewajiban untuk mengingkari kesalahan tersebut dan wajib untuk menutup aibnya.
Oleh karena itu, setiap Muslim dan Muslimah wajib menutup dirinya apabila dia salah, segera bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla dan tidak menceritakannya kepada orang lain.
Kedua, orang yang sudah dikenal sebagai pelaku maksiat dan dia melakukannya terang-terangan, tidak perduli dengan perbuatan maksiatnya dan komentar miring masyarakat terhadap dirinya. Orang seperti ini, tidak apa dibuka aibnya, seperti yang ditegaskan oleh al-Hasan al-Bashri t dan yang lainnya. Bahkan orang seperti ini harus diselidiki keadaannya untuk dijatuhi hudûd (hukuman had). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ إِلَى امْرَأَةِ هَذَا ، فَإنِ اعْتَرَفَتْ ؛ فَارْجُمْهَـا
Hai Unais! Pergilah ke istri fulan ini. Jika ia mengaku (berzina), maka rajamlah ia ! [17]
Orang seperti itu tidak boleh dibela jika tertangkap kendati beritanya belum sampai ke penguasa Ia harus dibiarkan hingga mendapatkan hukuman agar berhenti dari kejahatannya dan membuat jera yang lainnya.
Imam Mâlik rahimahullah berkata, “Orang yang tidak dikenal suka menyakiti orang lain lalu menyakiti karena kesalahan maka orang seperti ini tidak apa-apa dibela selagi informasinya belum terdengar penguasa. Sedangkan yang terkenal suka berbuat jahat atau kerusakan, maka aku tidak senang kalau ia dibela siapa pun. Orang ini harus dibiarkan hingga hukuman dijatuhkan kepadanya.” Perkatan ini dikisahkan oleh Ibnul Mundzir dan yang lainnya.
Begitu juga pelaku bid’ah yang terus menerus dalam perbuatan bid’ahnya dan mengajak orang kepada bid’ahnya maka kita boleh menjelaskan kepada umat Islam tentang orang itu. Bahkan wajib bagi penguasa dan Ulama untuk menjelaskan kesalahannya dan bid’ahnya agar umat tidak tersesat dan hal ini sebagai penjagaan terhadap agama Islam.
5. Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Allah menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya.“
Dalam hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma disebutkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
…وَمَنْ كَانَ فِـيْ حَاجَةِ أَخِيْهِ كَانَ اللَّـهُ فِـيْ حَاجَتِهِ
“…Dan barangsiapa menolong kebutuhan saudaranya, maka Allâh senantiasa menolong kebutuhannya.”
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menganjurkan agar umat Islam saling menolong dalam kebaikan dan membantu saudara-saudaranya yang membutuhkan bantuan. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allâh, sungguh, Allâh sangat berat siksa-Nya.” [al-Mâidah/5:2]
Tolong menolong telah dilaksanakan dalam kehidupan para salafush shalih. ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu sering mendatangi para janda dan mengambilkan air untuk mereka pada malam hari. Pada suatu malam, ‘Umar bin al-Khaththab dilihat oleh Thalhah Radhiyallahu anhu masuk ke rumah seorang wanita kemudian Thalhah Radhiyallahu anhu masuk ke rumah wanita itu pada siang harinya, ternyata wanita itu wanita tua, buta, dan lumpuh. Thalhah Radhiyallahu anhu bertanya, “Apa yang diperbuat laki-laki tadi malam terhadapmu?” Wanita itu menjawab, “Sudah lama orang itu datang kepadaku dengan membawa sesuatu yang bermanfaat bagiku dan mengeluarkanku dari kesulitan.” Thalhah Radhiyallahu anhu berkata, “Semoga ibumu selamat –kalimat nada heran-, hai Thalhah, kenapa engkau menyelidiki aurat-aurat ‘Umar ?”[18]. Maksudnya, kenapa aku tidak mengikuti jejak Umar Radhiyallahu anhu dalam kebaikan. Wallaahu A’lam.
Mujahid rahimahullah berkata, “Aku pernah menemani Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma diperjalanan untuk melayaninya, namun justru ia yang melayaniku.”[19]
Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Kami bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di perjalanan. Di antara kami ada yang berpuasa dan ada yang tidak berpuasa. Di hari yang panas kami berhenti di suatu tempat. Orang yang paling terlindung dari panas adalah pemilik pakaian dan ada di antara kami ada yang berlindung diri dari terik matahari dengan tangannya. Orang-orang yang berpuasa pun jatuh, sedang orang-orang yang tidak berpuasa tetap berdiri. Mereka memasang kemah dan memberi minum kepada para pengendara kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada hari ini, orang-orang yang tidak berpuasa pergi dengan membawa pahala.”[20]
6. Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allâh Azza wa Jalla memudahkan baginya jalan ke surga.”
Ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i, yaitu ilmu yang diturunkan oleh Allâh Azza wa Jalla kepada Rasul-Nya berupa keterangan dan petunjuk. Jadi, ilmu yang dipuji dan disanjung adalah ilmu wahyu, yaitu ilmu yang diturunkan oleh Allâh Azza wa Jalla .[21] Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَـيْرًا يُفَقِـّهْهُ فِـي الدِّيْنِ، وَإِنَّـمَـا أَنَا قَاسِمٌ وَاللهُ يُعْطِي، وَلَنْ تَزَالَ هَذِهِ الْأُمَّةُ قَائِمَةً عَلَى أَمْرِ اللهِ، لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِـيَ أَمْرُ اللهِ
Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allâh, Dia akan menjadikannya faham tentang agama. Sesung-guhnya aku hanyalah yang membagikan dan Allâh-lah yang memberi. Dan ummat ini akan senantiasa tegak di atas perintah Allah, mereka tidak bisa dicelakai oleh orang-orang yang menyelisihi mereka hingga datangnya keputusan Allâh (hari Kiamat).[22]
Ilmu ada yang bermanfaat dan ada yang tidak bermanfaat. Yang bermanfaat seperti yang dijelaskan oleh para Ulama:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H) rahimahullah mengatakan, “Ilmu adalah apa yang dibangun di atas dalil, dan ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Terkadang ada ilmu yang tidak berasal dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dalam urusan duniawi, seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung, ilmu pertanian dan ilmu perdagangan.”[23]
Imam Ibnu Rajab (wafat th. 795 H) rahimahullaht mengatakan, “Ilmu yang bermanfaat membimbing kepada dua hal. Pertama, mengenal Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan segala yang menjadi hak-Nya berupa nama-nama yang indah, sifat-sifat yang mulia, dan perbuatan-perbuatan yang agung. Ilmu ini menyebabkan adanya pengagungan, rasa takut, cinta, harap dan tawakkal kepada Allâh serta ridha terhadap takdir dan sabar atas segala musibah yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikan. Kedua, mengetahui segala yang diridhai dan dicintai Allâh Azza wa Jalla dan menjauhi segala yang dibenci dan dimurkai-Nya berupa keyakinan, perbuatan fisik dan bathin serta ucapan. Ilmu ini menuntut orang yang mengetahuinya agar bergegas melakukan apa yang dicintai dan diridhai Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan menjauhi segala yang dibenci dan dimurkai-Nya. Apabila ilmu itu menghasilkan dua hal ini bagi pemiliknya, maka inilah ilmu yang bermanfaat. Kapan saja ilmu itu bermanfaat dan menancap di dalam hati, maka sungguh, hati itu akan merasa khusyu’, takut, tunduk, mencintai dan mengagungkan Allâh Azza wa Jalla , jiwa merasa cukup dan puas dengan sesuatu yang halal meski sedikit dan merasa kenyang dengannya. Ini menjadikannya qana’ah dan zuhud terhadap dunia.”[24]
Ibnu Rajab (wafat th. 795 H) rahimahullah juga berkata, “Ilmu yang paling utama adalah ilmu tafsir al-Qur-ân, penjelasan makna hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan pembahasan tentang masalah halal dan haram yang diriwayatkan dari para Shahabat, Tâbi’în, Tâbi’ut Tâbi’în dan para imam terkemuka yang mengikuti jejak mereka…”[25]
Imam al-Auza’i (wafat th. 157 H) rahimahullah berkata, “Ilmu itu apa yang dibawa dari para Shahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , adapun yang datang dari selain mereka bukan ilmu.”[26]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam I’lâmul Muwaqqi’în (2/149) mengatakan, “Sebagian ahli ilmu mengatakan, ‘Ilmu adalah firman Allâh, sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perkataan para Shahabat. Semuanya tidak bertentangan…’”
Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (wafat th. 204 H) rahimahullah mengatakan :
Seluruh ilmu selain al-Qur-ân hanyalah menyibukkan,
kecuali ilmu hadits dan fiqih dalam rangka mendalami ilmu agama.
Ilmu adalah yang tercantum di dalamnya: ‘Qaalaa, haddatsanaa (telah menyampaikan hadits kepada kami)’.
Adapun selain itu hanyalah waswas (bisikan) syaitan.[27]
Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allâh mudahkan baginya jalan ke surga.”
Dalam hadits ini terdapat janji Allâh Azza wa Jalla bagi orang-orang yang berjalan dalam rangka menuntut ilmu syar’i.
“Berjalan menuntut ilmu” mempunyai dua makna. Pertama, menempuh jalan dengan makna fisik, yaitu berjalan kaki menuju majelis-majelis para ulama. Kedua, menempuh jalan (metode) yang bisa mengantarkan seseorang untuk mendapatkan ilmu seperti menghafal, belajar (sungguh-sungguh), membaca, menela’ah kitab-kitab (para ulama), menulis, dan berusaha untuk memahami (apa-apa yang dipelajari).
“Allâh akan memudahkan jalannya menuju Surga” mempunyai dua makna. Pertama, Allâh Azza wa Jalla akan memudahkan masuk surga bagi orang yang menuntut ilmu dengan tujuan mencari wajah Allâh, untuk mendapatkan ilmu, mengambil manfaat dari ilmu syar’i dan mengamalkan konsekuensinya. Kedua, Allâh akan memudahkan baginya jalan ke Surga pada hari kiamat ketika melewati “shirâth” dan dimudahkan dari berbagai ketakutan yang ada sebelum dan sesudahnya. Wallaahu a’lam.[28]
Ini seperti firman Allâh Azza wa Jalla , yang maknanya, “Dan sungguh, telah Kami mudahkan al-Qur-ân untuk peringatan, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran ?” [al-Qamar/54:17]
Salah seorang ulama Salaf berkata, “Maksud ayat di atas, ‘Adakah penuntut ilmu sehingga ia akan dibantu dalam mencarinya?” Bisa jadi yang dimaksud sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas ialah Allâh Subhanahu wa Ta’ala memberi kemudahan kepada penuntut ilmu jika ia menuntutnya dengan niat mendapatkan wajah Allâh, mengambil manfaat darinya, dan mengamalkan konsekuensinya. Jadi, ilmu menjadi penyebab ia mendapatkan petunjuk dan masuk surga.
Terkadang Allâh Azza wa Jalla memberi kemudahan kepada penuntut ilmu untuk menguasai ilmu-ilmu lain yang bermanfaat dan bisa mengantarkannya ke surga. Ada yang mengatakan, “Barangsiapa mengamalkan ilmunya, maka Allâh memberinya ilmu yang belum ia ketahui.” Ada juga yang mengatakan, “Pahala kebaikan ialah kebaikan sesudahnya.“
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَيَزِيدُ اللَّهُ الَّذِينَ اهْتَدَوْا هُدًى
“Dan Allâh akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk…” [Maryam/19:76]
Diantara pengertian sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,”Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allâh mudahkan baginya jalan ke surga.” ialah Allâh Azza wa Jalla mempermudahnya melewati jalan (jalan dalam makna hakikinya) ke surga pada hari Kiamat, seperti melewati shirâthserta berbagai kesulitan sebelum dan sesudah sirâth. Itu semua dimudahkan bagi penuntut ilmu. Karena ilmu bisa membimbing seseorang mengenal Allâh Azza wa Jalla lewat jalur terdekat. Jadi, barangsiapa menempuh jalan ilmu dan tidak berpaling, ia akan bisa sampai kepada Allâh dan surga-Nya melalui jalur terdekat dan mudah. Karenanya, semua jalan ke surga di dunia dan akhirat menjadi mudah bagi penuntut ilmu. Tidak ada jalan untuk mengenal Allâh, mencapai keridhaan-Nya, sukses dengan mendapatkan kedekatan dengan-Nya di dunia dan akhirat kecuali dengan ilmu yang bermanfaat yang dibawa oleh para rasul-Nya dan diturunkan dalam kitab-Nya. Sehingga kitab itu menjadi panduan baginya yang bisa membimbingnya dalam gelapnya kebodohan, syubhat dan keraguan. Oleh karena itu Allâh Azza wa Jalla menamakan kitab-Nya dengan an-nûr (cahaya).
Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Sungguh, telah datang kepadamu cahaya dari Allâh dan kitab yang menjelaskan. Dengan kitab itulah Allâh memberi petunjuk kepada orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan dengan kitab itu pula Allâh mengeluarkan orang itu dari gelap gulita kepada cahaya dengan izin-Nya, dan menunjuk ke jalan yang lurus.” [al-Mâidah/5:15-16]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpamakan para pengemban ilmu (para Ulama) seperti bintang-bintang di langit yang dijadikan sebagai petunjuk dalam kegelapan. Jika bintang-bintang itu hilang dan sirna, maka alam semesta akan mengalami kehancuran. Jika ilmu syar’i tetap ada di tengah manusia, maka manusia senantiasa berada di atas petunjuk. Dan ilmu itu tetap ada selama para Ulama masih ada. Jika para Ulama dan orang-orang yang mengamalkannya sudah tidak ada lagi, maka manusia akan terjatuh dalam kesesatan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Sesungguhnya Allâh Ta’ala tidak mencabut ilmu dari para hamba sekaligus, akan tetapi Dia mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Sehingga, apabila sudah tidak ada lagi seorang yang alim, manusia akan mengangkat para pemimpin yang bodoh, mereka ditanya lalu berfatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan orang lain.”[29]
Ubâdah Radhiyallahu anhu pernah memberitahukan bahwa ilmu yang pertama kali diangkat dari manusia adalah kekhusu’an. Ubadah bin ash-Shâmit Radhiyallahu anhu mengatakan seperti itu karena ilmu itu ada dua jenis :
Pertama, ilmu yang buahnya ada di hati manusia. Ilmu ini adalah ilmu tentang Allâh, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya yang menjadikan orang takut kepada Allâh, segan kepada-Nya, mengagungkan-Nya, tunduk kepada-Nya, mencintai-Nya, berharap kepada-Nya, berdo’a kepada-Nya, bertawakkal kepada-Nya, dan lain sebagainya. Itulah ilmu yang bermanfaat.
Kedua, ilmu di lidah. Itulah hujjah Allâh bagimu atau atasmu.
Jadi, ilmu yang pertama kali diangkat ialah ilmu batin yang menyatu dengan hati dan memperbaikinya. Sedang yang tersisa ialah ilmu di lidah manusia; para ulama atau selain mereka, menyia-nyiakannya dan tidak mengamalkannya. Kemudian ilmu hilang dengan kematian para ulama, akibatnya, al-Qur-ân hanya ada di mushhaf tanpa ada yang mengerti makna-maknanya, batasan-batasannya dan hukum-hukumnya. Hal tersebut berkembang terus hingga akhir zaman kemudian tidak ada yang tersisa di mushaf dan hati. Setelah itu, kiamat terjadi.[30]
7. Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang maknanya, “Tidaklah suatu kaum duduk di salah satu rumah Allâh (masjid); mereka membaca Kitabullah dan mengkajinya sesama mereka, melainkan ketenangan turun kepada mereka, rahmat meliputi mereka, para malaikat mengelilingi mereka, dan Allâh menyebut mereka di hadapan makhluk yang berada di sisi-Nya.”
Ini menunjukkan duduk di masjid-masjid untuk membaca al-Qur-ân dan mempelajarinya disunnahkan. Jika pengertian hadits diatas dibawa ke makna mempelajari dan mengajarkan al-Qur’ân, maka semua Ulama’ sepakat bahwa itu disunnahkan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar dan mengajarkan Al-Qur’ân.[31]
Abu ‘Abdurrahman as-Sulami rahimahullah berkata, “Inilah yang membuatku duduk di tempat dudukku ini.” Beliau mengajarkan al-Qur’ân sejak zaman ‘Utsman bin ‘Affân hingga zaman al-Hajjâj bin Yûsuf.[32]
Jika sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dipahami dengan makna yang lebih umum maka ini mencakup berkumpul di masjid-masjid untuk mempelajari al-Qur’ân secara mutlak, karena terkadang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh seseorang membacakan al-Qur’ân agar beliau dapat mendengarkan bacaannya, sebagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyuruh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu agar membacakan al-Qur’ân untuk beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu pernah menyuruh seseorang membacakan al-Qur’ân untuknya dan untuk rekan-rekannya. Mereka semua mendengarkannya. Terkadang ‘Umar Radhiyallahu anhu menyuruh Abu Musa Radhiyallahu anhu dan terkadang menyuruh ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu .[33]
Sebagian besar Ulama berpendapat bahwa berkumpul untuk mempelajari al-Qur’ân itu disunnahkan. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang menunjukkan berkumpul untuk berdzikir itu sunnah, sementara membaca dan mempelajari al-Qur’ân adalah dzikir terbaik.
Diriwayatkan dari Mu’âwiyah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar ke salah satu halaqah Shahabat-Shahabat beliau kemudian bersabda, “Apa yang membuat kalian duduk?” Mereka menjawab, “Kami duduk untuk berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla dan memuji-Nya karena Dia telah memberi kami petunjuk kepada Islam dan menganugerahkan nikmat kepada kami.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allâh, apakah kalian duduk karena itu semua ?” Mereka menjawab, “Demi Allâh, kami tidak duduk kecuali karena tujuan tersebut.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَمَا إِنِّـيْ لَمْ أَسْتَحْلِفْكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ ، وَلَكِنَّهُ أَتَانِـيْ جِبْرِيْلُ فَأَخْبَرَنِـيْ أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبَاهِيْ بِكُمُ الْـمَلَائِكَةَ
Sesungguhnya aku tidak meminta kalian bersumpah karena menuduh kalian, karena Jibril telah datang kepadaku kemudian memberitahuku bahwa Allâh Azza wa Jalla membanggakan kalian kepada para malaikat.[34]
Hadits-hadits yang semakna dengan ini banyak. Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa mereka berdzikir masing-masing, tidak berjama’ah dan tidak juga dengan suara yang keras. Jadi, hadits-hadits di atas dan yang semakna dengannya tidak menunjukkan adanya dzikir berjama’ah. Karena dzikir jama’i tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya g . Bahkan Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu menegur dengan keras orang yang berdzikir jama’i sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang shahih.[35]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa pahala orang yang duduk di salah satu rumah Allâh (masjid) guna mempelajari al-Qur’ân ada empat :[36]
- Ketenangan turun kepada mereka. Diriwayatkan dari al-Barâ’ bin ‘Azib Radhiyallahu anhu ia berkata, “Ada seseorang membaca surat al-Kahfi dan di sampingnya terdapat kuda kemudian ia ditutupi awan. Awan itu berputar-putar dan mendekat hingga kuda orang itu lari dari awan tersebut. Keesokan harinya, orang tersebut menghadap Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian itu. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
تِلْكَ السَّكِيْنَةُ تَنَزَّلَتْ لِلْقُرْآنِ
Itulah ketenangan yang turun bagi al-Qur’ân.[37]
Kejadian serupa juga dialami oleh Usaid bin Khudair Radhiyallahu anhu[38]
- Diliputi rahmat. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “… Sesungguhnya rahmat Allâh dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.” [al-A’râf/7: 56]
- Para malaikat mengelilingi mereka.
- Allâh Azza wa Jalla menyebut mereka di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah berfirman,
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِـيْ ، وَأَنَا مَعَهُ حِيْنَ يَذْكُرُنِـيْ ، إِنْ ذَكَرَنِـيْ فِيْ نَفْسِهِ ؛ ذَكَرْتُهُ فِـيْ نَفْسِيْ ، وَإِنْ ذَكَرَنِـيْ فِـيْ مَلَإٍ ؛ ذَكَرْتُهُ فِـيْ مَلَإٍ خَيْرٌ مِنْهُمْ
‘Aku sesuai dugaan hamba-Ku terhadap-Ku dan Aku bersamanya ketika ia berdzikir kepada-Ku. Jika ia ingat (dzikir) kepada-Ku sendirian maka Aku ingat kepadanya sendirian dan jika ia ingat (dzikir) kepada-Ku di kelompok maka Aku ingat kepadanya di kelompok yang lebih baik daripada mereka.[39]
Bentuk ingatnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya ialah Allâh memujinya dihadapan para malaikat, membanggakannya.
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Berdzikirlah kalian kepada Allâh sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Dia-lah yang bershalawat kepada kalian dan malaikat-Nya supaya Dia mengeluarkan kalian dari kegelapan kepada cahaya. Dan Allah itu Maha Penyayang terhadap kaum Mukminin” [al-Ahzâb/33:41-43]
Bentuk shalawat Allâh Azza wa Jalla kepada hamba-Nya ialah Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyanjungnya dihadapan para malaikat-Nya dan memujinya dengan ingat kepadanya. Itulah yang dikatakan oleh Abul ‘Aliyah dan disebutkan oleh imam Bukhâri dalam kitab Shahîhnya.[40]
8. Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Barangsiapa yang diperlambat oleh amalnya (dalam meraih derajat yang tinggi-red), maka garis keturunannya tidak bisa mempercepatnya“
Maksudnya, amal perbuatanlah yang bisa mengantarkan seseorang meraih derajat tinggi di akhirat. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat karena apa yang dikerjakannya.” [al-An’âm/6:132]
Jadi, barangsiapa amalnya lamban untuk mencapai tingkatan tinggi di sisi Allâh, maka nasabnya tidak bisa mempercepatnya untuk meraih derajat tersebut. Karena Allâh Azza wa Jalla menentukan pahala berdasarkan amalan dan bukan nasab. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “Apabila sangkakala ditiup maka tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu dan tidak ada pula mereka saling bertanya.” [al-Mukminûn/23:101]
Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kaum Muslimin bergegas meraih ampunan dan rahmat Allâh dengan amalannya. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Rabb-mu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allâh mencintai orang yang berbuat kebaikan.” [Ali ‘Imrân/3:133-134]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa ketika ayat ke-214 surat Asy-Syu’ara diturunkan, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ اشْتَرُوْا أَنْفُسَكُمْ لاَ أُغْنِي عَنْكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا، يَا بَنِيْ عَبْدِ مَنَافٍ لاَ أُغْنِي عَنْكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا، يَا عَبَّاسُ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لاَ أُغْنِي عَنْكَ مِنَ اللهِ شَيْئًا، يَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُوْلِ اللهِ لاَ أُغْنِي عَنْكِ مِنَ اللهِ شَيْئًا، يَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍr سَلِيْنِى مَاشِئْتِ مِنْ مَالِيْ لاَ أُغْنِي عَنْكِ مِنَ اللهِ شَيْئًا
Hai kaum Quraisy, belilah diri-diri kalian, sebab aku tidak bisa memberi manfaat sedikit pun kepada kalian di hadapan Allâh. Wahai Bani ‘Abdu Manaf, aku tidak bisa memberi manfaat sedikit pun kepada kalian di hadapan Allâh. Wahai ‘Abbâs bin ‘Abdul Muththalib, aku tidak dapat memberimu manfaat apa pun di hadapan Allâh. Wahai Shafiyyah bibi Rasûlullâh, aku tidak dapat memberimu manfaat apa pun di hadapan Allâh. Wahai Fathimah anak Muhammad, mintalah hartaku sesukamu, aku tidak dapat memberimu manfaat apa pun bagimu di hadapan Allâh.[41]
Itu semua diperkuat oleh sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ آلَ أَبِيْ فُلَانٍ لَيْسُوْا بِأَوْلِيَائِيْ ، إِنَّمَـا وَلِـيِّيَ اللهُ وَصَالِحُ الْـمُؤْمِنِيْنَ.
Sesungguhnya keluarga ayahku bukan waliku-waliku. Wali-waliku ialah Allâh dan orang-orang Mukmin yang shalih.[42]
Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa hubungan kewalian (kedekatan) tidak bisa didapatkan dengan nasab, namun diperoleh dengan iman dan amal shalih. Jadi, barangsiapa iman dan amal shalihnya paling sempurna, maka kewaliannya dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat agung kendati secara nasab kekeluargaan jauh. Salah seorang penyair berkata,
لَعَمْرُكَ مَـــــا الإِنْسَانُ إِلَّا بِدِيْـنِهِ فَلَا تَتْرُكِ التَّقْوَى اِتِّكَالًا عَلَى النَّسَبْ
لَقَدْ رَفَعَ الْإِسْلَامُ سَلْمَـانَ فَارِسٍ وَقَدْ وَضَعَ الشِّرْكُ الشَّقِيَّ أَبَا لَـهَبْ
Aku bersumpah kepadamu bahwa manusia itu sejatinya dengan agamnya.
Jangan kautinggalkan takwa karena bersandar pada nasab.
Sungguh, Islam telah meninggikan Salman al-Farisi dan syirik
merendahkan si celaka Abu Lahab.[43]
FAWAA-ID HADITS
- Keutamaan membantu kebutuhan dan kesulitan kaum Muslimin.
- Menolong dan melapangkan kesusahan seorang Muslim merupakan cara mendekatkan diri kepada Allâh dan cara meraih rahmat-Nya.
- Menetapkan akan adanya hari Kiamat.
- Pada hari Kiamat ada kesulitan yang sangat besar.
- Anjuran memudahkan urusan orang yang sedang kesulitan (utang).
- Balasan itu sesuai dengan jenis amalnya.
- Anjuran untuk menutup aib seorang Muslim.
- Menolong sesama Muslim dalam kebaikan adalah sebab yang mengundang pertolongan Allâh
- Wajib menuntut ilmu syar’i.
- Keutamaan berjalan atau safar untuk menuntut ilmu syar’i.
- Menuntut Ilmu syar’i adalah jalan menuju Surga.
- Ilmu yang paling utama adalah mempelajari Kitâbullâh (al-Qur’ân) dengan membaca, memahami dan mengamalkannya, kemudian mempelajari sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Keduanya wajib dipahami menurut pemahaman Salafush Shalih.
- Membaca al-Qur’ân dan mempelajarinya akan mendatangkan ketenangan, rahmat, dikelilingi malaikat dan disebut-sebut oleh Allâh di hadapan paar Malaikat-Nya.
- Menetapkan adanya Malaikat.
- Keutamaan berkumpul di rumah Allâh (masjid) untuk mempelajari ilmu.
- Kebahagiaan abadi diraih dengan amal shalih, bukan dengan nasab atau garis keturunan.
- Kemuliaan di sisi Allâh bisa digapai dengan takwa dan amal shalih, bukan dengan nasab dan harta.
MARAAJI
- Al-Qur-anul Karim dan terjemahnya.
- Shahiih al-Bukhari.
- Shahiih Muslim.
- Musnad Imam Ahmad.
- Sunan Abu Dawud.
- Sunan at-Tirmidzi.
- Sunan an-Nasa-i.
- Sunan Ibni Majah.
- Mustadrak Hakim.
- Sunan ad-Darimi.
- Shahiih Ibni Hibban (at-Ta’liiqaatul Hisaan).
- Hilyatul Auliyaa’, karya Abu Nu’aim al-Ashfahani.
- Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi.
- Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf.
- Fat-hul Baari, karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy.
- Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
- Qawaa’id wa Fawaa-id minal Arba’iin an-Nawawiyyah, karya Nazhim Muhammad Sulthan.
- Syarhul Arba’iin an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.
- Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqiq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrahim Baajis.
- Tuhfatul Ahwadzi, karya ’Abdurrahman bin ’Abdurrahim al-Mubarakfuri.
- Kitaabul ’Ilmi, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin.
- Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga, karya Yazid bin ’Abdul Qadir Jawas.
- Majmuu’ al-Fataawaa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1430H/2010M. Oleh Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله]
_______
Footnote
[1] Lihat Fathul Bâri (5/97, Kitâbul Mazhâlim).
[2] Shahih: HR. Bukhâri (no. 2442 dan 6951), Muslim (no. 2580) dan Ahmad (2/91), Abu Dâwud (no. 4893), at-Tirmidzi (no. 1426), dan Ibnu Hibbân (no. 533) dari Shahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma .
[3] Shahih: HR. Bukhâri (no. 1284), Muslim (no. 923), Abu Dâwud (no. 3125), dan lainnya dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu anhu .
[4] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/286).
[5] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (2/287, dengan ringkas).
[6] Ada yang menafsirkan penglihatan Allâh meliputi mereka, ada juga yang mengatakan penglihatan meliputi mereka karena di tanah lapang yang datar semua dapat terlihat. Adapun penglihatan Allah sudah pasti meliputi mereka dalam semua keadaan di dunia maupun di akhirat, di tanah lapang maupun tempat lainnya. Wallaahu A’lam. [Lihat Fat-hul Baari, VIII/396].
[7] Shahih: HR. Bukhâri (no. 3340, 3361, dan 4712), Muslim (no. 194), Ahmad (2/435-436), dan lainnya dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[8] Shahih: HR. Bukhâri (no. 6527), Muslim (no. 2859), dan an-Nasa-i (4/114-115).
[9] Shahih: HR. Bukhâri (no. 6531) dan Muslim (no. 2862).
[10] Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 6532) dan Muslim (no. 2863).
[11] Shahih: HR. Muslim (no. 2864), Ahmad (6/3), dan at-Tirmidzi (no. 2421) dari al-Miqdad bin al-Aswad Radhiyallahu anhu . Lafazh ini milik at-Tirmidzi. Lihat, Tuhfatul Ahwâdzi (7/104-106, no. 2536) dan Silsilah al-Ahâdîtsish Shahîhah (no. 1382).
[12] Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 2078, 3480), Muslim (no. 1562), an-Nasâi (7/318), dan Ibnu Hibbân (no. 5041, 5042) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu .
[13] Shahih: HR. Muslim (no. 1563).
[14] Shahih: HR. Muslim (no. 3006).
[15] Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (2/291).
[16] Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 4880) dan Ahmad (4/420-421, 424).
[17] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 2314) dan Muslim (no. 1697) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[18] Hilyatul Auliyâ‘ (1/84, no. 113).
[19] Hilyatul Auliyâ (3/326, no. 4131).
[20] Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 2890), Muslim (no. 1119), an-Nasâ-i (4/182), dan Ibnu Hibbân (no. 3551-at-Ta’lâqâtul Hisân). Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/293-296) dengan diringkas dan sedikit tambahan.
[21] Lihat Kitâbul ‘Ilmi (hlm. 13), karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah, cet. Daar Tsurayya lin Nasyr, th. 1420 H.
[22] Shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/92, 95, 96), al-Bukhâri (no. 71, 3116, 7312), dan Muslim (no. 1037), lafazh ini milik al-Bukhâri dari Shahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu anhuma. Diriwayatkan juga oleh Ahmad (I/306) dari Ibnu ‘Abbas c dan (II/234) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu .
[23] Majmû’ al-Fatâwâ (6/388, 13/136) dan Madârijus Sâlikîn (2/488).
[24] Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hlm. 47), tahqiq: Syaikh ‘Ali Hasan al-Halaby.
[25] Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hlm. 41), tahqiq: Syaikh ‘Ali Hasan al-Halaby.
[26] Jâmi’ Bayânil ‘Ilmi wa Fadhlih (I/769, no. 1421) dan Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hlm. 42).
[27] Dîwân Imam asy-Syafi’i (hlm. 388, no. 206), dikumpulkan dan disyarah oleh Muhammad ‘Abdurrahim, cet. Daarul Fikr, th. 1415 H.
[28] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (2/297) dan Qawâ’id wa Fawâ-id minal Arba’iin (hlm. 316-317).
[29] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 100) dan Muslim (no. 2673). Ini lafazh Bukhâri, dari Shahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhuma.
[30] Diringkas dari Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (2/296-300).
[31] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 5027, 5028), Ahmad (I/58), Abu Dawud (no. 1452), at-Tirmidzi (no. 2907), Ibnu Mâjah (no. 212), dan Ibnu Hibbân (no. 118-at-Ta’lîqâtul Hisân) dari Shahabat ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu anhu .
[32] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (2/300).
[33] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (2/301).
[34] Shahih: HR. Muslim (no. 2701), Ahmad (IV/92), at-Tirmidzi (no. 3379), an-Nasa-i (VIII/249), dan Ibnu Hibban (no. 810-at-Ta’lîqâtul Hisân).
[35] Shahih: HR. Ad-Darimi (I/68-69). Lihat Silsilatul Ahâdîtsis Shahîhah (5/11-12, no. 2005). Untuk lebih detailnya, silahkan lihat buku penulis Mulia dengan Manhaj Salaf (hlm. 133-134, cet. Ke-3 th. 2009).
[36] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (2/304-307) dengan diringkas.
[37] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 3614) dan Muslim (no. 795).
[38] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 5018) secara mu’allaq dan Muslim (no. 796).
[39] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 7405), Muslim (no. 2675), Ahmad (II/251), at-Tirmidzi (no. 3603), Ibnu Mâjah (no. 3822), dan Ibnu Hibbân (no. 808, 809-at-Ta’lîqâtul Hisân).
[40] Lihat Fathul Bâri (8/532) dan Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (2/300-307)
[41] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 2753, 4771) dan Muslim (no. 206), dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu .
[42] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 5990) dan Muslim (no. 215) dari ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu .
[43] Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (2/308-310).
0 comments:
Post a Comment