عَنِ النَّوَّاسِ بْنِ سَمْعَانَ الْأَنْصَارِيِّ، قَالَ: سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَنِ الْبِرِّ وَالْإِثْمِ فَقَالَ: «الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ، وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ، وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ
Dari an-Nawwâs bin Sam’ân Radhiyallahu anhu berkata: Aku bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam tentang kebaikan dan dosa (keburukan)?
Lalu beliau bersabda: Kebaikan adalah bagusnya perangai; sedangkan dosa (keburukan) adalah apa yang mengganjal di dadamu dan engkau pun tidak suka diketahui oleh orang lain. [HR. Muslim]
PERAWI HADITS
Beliau bernama an-Nawwâs bin Sam’ân bin Khâlid bin ‘Amr bin Qurth bin Abdillâh bin Abu Bakr bin Kilâb al-Âmiri al-Kilâbi. An-Nawâs dan ayahnya termasuk Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam . Ayah beliau Sam’ân pernah datang kepada Rasul dalam suatu utusan.
An-Nawwâs tinggal menetap di Syam dan termasuk ahli Syam serta meninggal disana. Dalam Shahih Muslim, an-Nawwâs dinisbatkan kepada al-Anshar. Al-Mâziri dan Qadhi Iyâdh mengatakan bahwa yang masyhur adalah beliau dari bani Kilab, namun mungkin saja ada hubungan persekutuan dari kaum Anshar sehingga dinisbatkan kepada mereka. An-Nawwâs meriwayatkan hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam yang diriwayatkan oleh Abu Idris Al-Khaulani dan Jubair bin Nufair.
An-Nawwâs bin Sam’ân tinggal di Madinah selama satu tahun namun tidak hijrah ke Madinah dengan tinggal dan bermukim permanen di sana. Beliau layaknya seorang tamu ataupun sekedar berkunjung. Yang mendorongnya untuk mengambil langkah tersebut adalah agar bisa bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam . Karena orang yang hijrah dan menetap di Madinah tidak leluasa bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam .
Pada awal-awal Rasul di Madinah, memang beliau mendorong sahabat untuk bertanya. Namun tatkala mereka banyak bertanya, dan menanyakan sesuatu baik yang berfaidah ataupun tidak, sampai-sampai ada yang bertanya tentang bapaknya yang telah meninggal, maka turunlah ayat yang melarang banyak bertanya, karena justru akan menyusahkan mereka sendiri. Maka dari itu mereka yang menetap di Madinah takut kalau jatuh dalam hal yang terlarang, sehingga menghalangi mereka dari bertanya kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam . Para sahabat waktu itu merasa senang bila ada seorang asing baik dari kalangan Baduwi ataupun lainnya yang bertanya kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam . Mereka akan mengambil faidah dari pertanyaan dan jawaban beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam .
An-Nawwâs bin Sam’ân Radhiyallahu anhu mengetahui bahwa orang yang tidak menetap di Madinah, punya kelonggaran untuk bertanya, namun tidak dengan kaum Muhajirin yang sudah mukim. Keinginannya untuk bertanya tentang agamanya, itulah yang mendorongnya untuk tidak hijrah menetap di Madinah.
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan Imam Muslim Shahîh-nya kitab al-birr wa ash-shilah wa al-âdâb bab tafsîr al-birr wa al-itsm no 2553; dari jalur Mu’awiyah bin Shalih, dari Abdurrahman bin Jubair bin Nufair dari ayahnya dari an-Nawwâs bin Sim’ân al-Anshâri Radhiyallahu anhu ia berkata: Aku bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam tentang kebaikan dan dosa an seterusnya.
KOSA KATA HADITS
الْبِرّ (al-birru) adalah kebaikan
Kata ini diungkapkan untuk menunjuk banyak makna, yaitu bermakna shilah (berbuat baik kepada kerabat dengan menyambung pertaliannya), jujur, kebaikan, dan mewujudkan ihsan (berbuat baik) dan ketaatan dalam pengertiannya yang luas. Secara umum bisa dikatakan maknanya adalah melakukan kebaikan dalam cakupannya yang luas. Ia adalah sebutan yang universal, menyeluruh untuk semua bentuk kebaikan; berupa melakukan semua kebaikan, menjauhi semua keburukan dan amalan ikhlas yang terus-menerus.
حُسْنُ الْخُلُقِ (Husnul khuluq) yaitu akhlaq yang baik
Perangai dan tabiat yang baik, bagus dalam bergaul dan berbaur dengan sesama, dengan menampakkan wajah berseri, bersahabat, dan berempati, tidak mengganggu atau menyakiti orang lain, dan berbuat baik kepada mereka. Dan ada perangai baik yang memang sudah menjadi tabiat atau naluri manusia, ada pula yang harus diupayakan, dengan berupaya untuk berperilaku baik dan mengikuti (mencontoh) orang lain..
Ini adalah berperangai baik terhadap sesama manusia. Sedangkan berakhlak baik terhadap Allâh yaitu dengan menunaikan kewajibannnya terhadap Allâh Azza wa Jalla dengan hati lapang serta menjauhi apa yang Allâh Azza wa Jalla haramkan dengan hati ridha. Disamping juga memiliki semangat tinggi untuk menambah amalannya dengan melaksanakan hal-hal yang sunnah. Ia menerima ketetapan takdir-Nya dengan ridha, tanpa menggerutu. Juga menerima ketetapan syariat-Nya dengan ridha dan pasrah, tunduk kepada syariat-Nya.
Ketika Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam mengatakan bahwa kebaikan adalah perangai yang bagus; maka diantara maknanya adalah akhlak yang bagus itu merupakan salah satu bentuk yang sangat agung dari bentuk kebaikan. Bukan berarti bahwa kebaikan hanya akhlak yang baik. Namun akhlak yang baik adalah jenis kebaikan yang paling agung.. Seperti ucapan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam : Haji adalah arafah. Artinya bahwa wuquf di Arafah bukan satu-satunya amaliah haji, akan tetapi ia adalah rukun haji yang paling agung.
الْإِثْمُ (Al-itsm) yaitu dosa.
Itsm adalah berbagai maksiat dan dosa-dosa terkait dengan hak Allâh, ataupun hak sesama makhluk.
Ibnu Daqiq al-Id rahimahullah berkata: al-itsm adalah sesuatu yang menyebabkan hati menjadi berpaling (menjadi tidak tenang dan ingin lari darinya). Ini adalah makna dasar yang menjadi acuan untuk mengetahui dosa.
حَاكَ فِي الصَّدْرِ (Hâka fi ash-shadr) artinya membuat dada bergejolak dan ragu-ragu sehingga hal tersebut menggoreskan kegalauan dan keresahan; hati menjadi terusik dan tidak nyaman karenanya, dan timbul rasa khawatir kalau-kalau itu ternyata adalah dosa.
وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ (Wa karihta an yatthali’’a alaihi an-nâs) artinya engkau tidak suka kalau orang-orang mengetahuinya.
Engkau merasa bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang tercela dan mengundang aib, tidak diridhai oleh kaum Muslimin. Yang dimaksud dengan ketidaksukaan di sini (engkau tidak suka) adalah tidak suka atas dasar agama; sedangkan maksud dari (orang-orang) dalam ucapan tersebut adalah ahli ilmu dan agama.. Dan barometer untuk mengetahui dosa dalam hadits ini khusus untuk kaum Mukminin pilihan saja. Yaitu mereka yang mempunya hati yang bersih dan jernih.. Karena orang yang keras hatinya, mereka akan merasa enjoy dan tenang dengan dosa. Jadi, arahan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam di sini adalah khusus untuk orang yang hatinya bersih dan selamat.. Adapun orang fasik, maka dosa tidak lagi membuat hatinya menjadi risau, dan iapun tidak ambil pusing dengan pandangan orang-orang. Ia justru akan terang-terangan tanpa ambil peduli..
KANDUNGAN HADITS
Hadits ini termasuk jawâmi’ul kalim yang menafsirkan dua kata yaitu al-birru dan al-itsmu.
Jawâmi’ al-kalim adalah ungkapan ringkas, namun penuh dengan mutiara hikmah dan makna di dalamnya.
Mengenai al-birru (kebaikan); Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Masuk dalam cakupan al-birru yaitu semua bentuk ketaatan batin, seperti iman kepada Allâh Azza wa Jalla , Malaikat, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya; dan masuk juga ketaatan secara lahiriah, seperti mendermakan harta untuk hal yang Allâh Azza wa Jalla cintai, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menepati janji, bersabar menghadapi ketentuan takdir Allâh Azza wa Jalla seperti sakit dan kemiskinan, dan juga bersabar dalam menjalankan ketaatan, seperti bersabar dalam menghadapi musuh di medan perang..
Jawaban Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam dalam hadits an-Nawwâs di atas bisa mencakup semua kriteria tersebut. Karena bisa juga yang dimaksudkan dengan akhlak yang bagus adalah berperilaku dengan tatanan dan norma syariat, dan beretika dengan etika yang diajarkan Allâh dalam Kitab-Nya. Seperti yang Allâh jelaskan kepada Rasul-Nya dalam firman-Nya:
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. [Al-Qalam/68:4]
Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata:
كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
Akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam adalah Al-Quran. [HR. Ahmad]
Maksudnya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam berperangai dan beretika dengan etika yang diajarkan dalam al-Quran. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam menjalankan perintah Allâh Azza wa Jalla dan menjauhi larangan-Nya. Pengamalan al-Quran bagi Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam sudah menjadi perangai, layaknya tabiat yang sudah mendarah daging, di mana itu sama sekali tidak pernah terpisah dari Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam .
Inilah akhlak dan perangai yang paling bagus, paling mulia dan paling elok. Seperti yang diungkapkan dengan perkataan, “Sesungguhnya agama ini semua lininya adalah perangai (akhlak)”.
Ibnu Daqiq al-Id rahimahullah berkata mengenai ucapan: al-birru husnul khuluq: Yang dimaksudkan dengan perangai yang bagus adalah berlaku inshâf (adil dan obyektif) dalam berinteraksi, berlaku lembut dalam bertukar pikiran (berdebat), adil dalam menjalankan hukum, memberi (atau berkorban) dengan suka rela, berbuat baik, serta berbagai bentuk sifat kaum Mukminin yang Allâh sifatkan dalam firma-Nya:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allâh gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. [Al-Anfâl/ 8: 2]
Juga firman-Nya:
التَّائِبُونَ الْعَابِدُونَ الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدُونَ الْآمِرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّاهُونَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَالْحَافِظُونَ لِحُدُودِ اللَّهِ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji, yang melawat (untuk mencari ilmu atau berjihad, ataupun yang berpuasa), yang ruku’, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allâh. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu [At-Taubah/ 9: 112]
Juga dalam rangkaian firman-Nya, yang artinya, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman.” [Al-Mu’minûn/ 23: 1]
Juga firman-Nya:
وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
Dan para hamba Allah yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. [Al-Furqân/ 25: 63]
Oleh karena itu, barangsiapa yang merasa gamang dengan keadaan dirinya, maka ia bisa mencermati dirinya dan bercermin dengan ayat-ayat tersebut. Bila kriteria-kriteria tersebut semuanya memang ada, maka ini pertanda bagusnya akhlak dan perangai seseorang. Bila semua kriteria tersebut tidak didapatkan pada dirinya, maka ini pertanda buruknya akhlak dan perangainya. Bila hanya sebagian kriteria saja yang ada padanya, ini menunjukkan unsur ketidaksempurnaan dalam keindahan perangainya. Sehingga ia harus menjaga kriteria-kriteria yang sudah ada pada dirinya, sekaligus mengupayakan untuk mewujudkan kriteria-kriteria yang belum ada padanya.
Janganlah kita menyangka bahwa perangai yang bagus hanyalah sekedar berperilaku lembut dan meninggalkan hal-hal keji semata. Jangan kita mengira bahwa kalau orang sudah menerapkannya, itu artinya telah memperbagus akhlaknya. Namun yang harus diperhatikan adalah akhlak yang bagus adalah bila seseorang merealisasikan akhlak dan sifat-sifat kaum Mukminin, menjalankan perilaku dan akhlak mereka, dan bisa menghadapi cobaan dan gangguan yang menyakitkan dengan baik.
Syaikh Ahmad Hijazi dalam Syarah Al-Arba’in berkata, “Al-Birr, satu ungkapan yang dituntut oleh syariat, baik yang diwajibkan maupun yang disunnahkan. Kata ini bermakna berbuat baik, sehingga masuk ke dalamnya tiga unsur utama; yaitu: wajah yang berseri, menahan diri dari gangguan (tidak menyakiti atau mengganggu), dan mau mendermakan yang ia punya dengan kemurahan hati (baik harta, ilmu atau lainnya). Juga agar mencintai orang lain sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.
Masuk pula dalam cakupan al-birr, berlaku adil dan obyektif dalam berinteraksi, berlemah lembut dalam berdebat, adil dalam menjalankan hukum, berbuat baik meskipun tidak diketahui orang lain dan berlaku îtsâr (mendahulukan orang lain dari dirinya sendiri) tatkala dalam kesulitan, juga berteman dengan cara baik, berlaku lembut, bisa menanggung derita gangguan, melakukan semua kewajiban dan menjauhi segala yang diharamkan.
Al-Itsm (dosa) adalah hal yang meninggalkan bekas (yang tidak nyaman) di dalam dada; yang membuat hati menjadi sempit dan gelisah, sehingga tidak merasa nyaman dengannya. Ditambah lagi bahwa hal tersebut adalah hal yang diingkari orang-orang; di mana mereka tidak suka ketika melihat hal tersebut ada padanya.
Ini seperti yang diucapkan oleh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, “Semua yang kaum Mukminin menilainya sebagai perbuatan baik, maka hal tersebut pun baik di sisi Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Sedangkan yang dilihat kaum Mukminin sebagai hal yang buruk, maka itupun buruk di sisi Allâh Azza wa Jalla .”
Singkat kata, sikap seorang Mukmin bila mendapati nash syariat adalah mentaati Allâh dan Rasul-Nya, seperti diperintahkan firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allâh dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. [Al-Ahzâb/ 33: 36]
Semua harus diterima dengan dada lapang penuh keridhaan. Karena semua yang disyariatkan Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya wajib untuk diimani, diridhai dan diterima. Sebagaimana yang Allâh Azza wa Jalla firmankan:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [An-Nisâ’/ 4: 65]
Syaikh Ahmad Hijazi berkata, “al-Itsm bermakna adz-dzanb (dosa); sedangkan kata hâka artinya yang bercokol dan menggoreskan kebimbangan, keresahan dan ketidaksukaan di dalam hati. Di mana hatinya merasa tidak sreg (tidak nyaman) dan tidak suka kalau orang-orang terpandang mengetahuinya sehingga mereka akan mencibirnya (dikarenakan hal tersebut). Hal itu karena jiwa seseorang ketika berkaca pada asal fitrahnya, sebenarnya punya perasaan tentang hal-hal yang baik dan terpuji dan perasaan yang buruk dan tercela akibatnya.. Akan tetapi karena dominasi nafsu yang mengalahkan asal fitrahnya, maka ini membuatnya berani untuk melakukan hal yang merugikan dirinya.
FAEDAH HADITS
1. Hadits ini memotivasi kaum Mukmin untuk berperilaku dan berakhlak baik dan menjelaskan kutamaannya. Bentuk-bentuk kebaikan, semuanya masuk dalam husnul khuluq. Bila seorang hamba bagus dalam ahklaknya, maka Allâh pun akan mencintainya, begitu pula manusia. Orang yang dicintai Allâh Azza wa Jalla akan menggapai surga dan ridha-Nya. Sedangkan orang yang dicintai manusia, akan berpilaku baik kepadanya dan hidup di tengah mereka dengan bahagia. Tidak ada sesuatu yang lebih memuliakan seseorang daripada perangai yang baik. Dan tidak ada sesuatu yang lebih menghinakannya daripada perangai yang buruk. Abu Nu’aim meriwayatkan dengan sanadnya dari Ikrimah rahimahullah , ia berkata: “Segala sesuatu ada pilarnya, dan pilar Islam adalah akhlak yang baik.” Ibnu Sirin rahimahullah berkata: “Mereka (generasi pendahulunya) memandang bahwa akhlak yang baik menjadi penopang agama.”
Terlebih bagi seorang da’i; bila ia berhias diri dengan akhlak yang baik, maka itu akan memudahkan jalan hidayah bagi manusia; di mana mereka akan lebih mudah menerima dakwahnya.
2. Hadits ini juga menunjukkan dosa mempunyai dua pertanda; pertanda internal dan eksternal. Pertanda internal atau yang bisa dilihat dari dalam diri seseorang, yaitu adanya perasaan galau dan resah serta tidak nyaman dalam diri jika melakukan perbuatan tersebut. Sedangkan pertanda eksternal adalah adanya perasaan tidak suka kalau orang-orang terpandang melihatnya melakukan perbuatan tersebut. Ia khawatir akan menuai cela karena perbuatannya.
3. Hadits tersebut juga mengindikasikan bahwa dosa itu memang buruk dan hina dalam pandangan orang yang fitrah dan akalnya lurus. Sebab, diri seseorang punya kecenderungan bahwa ia suka kalau orang-orang melihat kebaikannya; dan tidak suka kalau mereka mengetahui keburukannya.
4. Hadits ini mengisyaratkan bahwa sudah semestinya seseorang meninggalkan hal yang membuatnya ragu, dan berpatokan pada hal yang tidak membuatnya ragu dan bimbang. Ini telah Rasul tegaskan dalam hadits beliau yang diriwayatkan At-Turmudzi dari hadits Al-Hasan bin Ali Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ
Tinggalkanlah apa yang membuatmu ragu menuju pada apa yang tidak membuatmu ragu.
5. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam telah diberikan apa yang disebut jawâmi’ul kalim; ucapan yang ringkas namun memuat makna agung dan luas.
6. Motivasi untuk berperangai dengan akhlak yang baik. Bila seseorang memperbagus akhlaknya, artinya ia berada dalam kebaikan.
7. Seorang Mukmin yang hatinya bersih akan merasa risau terhadap perbuatan dosa, meski belum pasti tahu bahwa itu adalah dosa; semata-mata ia merasa ragu. Tidak demikian halnya dengan hati orang yang durhaka dan pendosa. Maka bila ada yang mengganjal di hati, hendaknya menunggu sampai jelas perkaranya. Kalau tidak, Dia akan terjatuh dalam syubhat, yang barangsiapa yang jatuh dalam syubhat, artinya ia jatuh dalam hal yang haram.
8. Mukmin tidak suka bila orang lain mengetahui dosa-dosanya. Berbeda dengan orang yang durhaka.
9. Hadits di atas menjelaskan dua tanda dosa
a. Galau dan resahnya hati terhadap suatu hal. Ini tanda dalam dirinya.
b. Adanya perasaan tidak senang kalau ada orang yang melihat dirinya melakukan hal tersebut. Ini pertanda yang dilihat dari luar dirinya.
10. Berinteraksi dengan baik termasuk amalan terbesar yang mendekatkan hamba dengan Rabb-nya.
11. Agama menjadi kekuatan batin yang mengawasi diri dari dosa.
12. Seseorang haruslah meninggalkan hal yang membuatnya ragu, dan beralih pada hal yang tidak membuatnya ragu dan gamang. Dan Allah menjadikan jiwa seseorang (yang hatinya bersih) bisa mengetahui dan mencegah apa yang tidak boleh ia lakukan
13. Kemungkaran tidak mendapatkan tempat dalam tatanan masyarakat Islami.
Wallahu A’lam Bish Shawwâb.
MARAJI’:
Taisîr al-‘Allâm, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassâm 7/ 289- 292,
Subulus Salâm 4/229,
Fiqh Islâm 10/156,
Minhat al-‘Allâm 10/21,
Fath Mun’im 9/631,
Syarh Al-Arbain An-Nawawiyyah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin 293.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XXI/1438H/2017M. Oleh Ustadz Kholid Syamhudi Lc]
0 comments:
Post a Comment