122 - وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -
«الصَّعِيدُ وُضُوءُ الْمُسْلِمِ، وَإِنْ لَمْ يَجِدْ الْمَاءَ عَشْرَ سِنِينَ.
فَإِذَا وَجَدَ الْمَاءَ فَلْيَتَّقِ اللَّهَ وَلْيُمِسَّهُ بَشَرَتَهُ» . رَوَاهُ
الْبَزَّارُ. وَصَحَّحَهُ ابْنُ الْقَطَّانِ، لَكِنْ صَوَّبَ الدَّارَقُطْنِيُّ
إرْسَالَهُ
122. Dari Abu Hurairah , dia berkata, Rasulullah bersabda, “Debu adalah alat bersuci bagi seorang Muslim, sekalipun ia tidak menemukan air selama sepuluh tahun. Apabila ia telah mendapatkan air, maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah , dan menyentuhkan air itu ke kulitnya. (HR. Al Bazzar). Dishahihkan Ibnu Al Qaththan, tetapi Ad Daruquthni membenarkan secara mursal.
[Sanadnya shahih, diriwayatkan Al Bazzar
dalam musnadnya, lihat Nashbur Rayah 1/221]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
Rasulullah bersabda, “Debu
(menurut mayoritas ulama yang dimaksud adalah debuh, sedang menurut
yang lainnya dari para ahli lughah adalah permukaan tanah, baik debu atau yang
lainnya, sekalipun sebuah batu besar yang tidak berdebu. Masalah ini sudah
dibahas sebelumnya) adalah alat bersuci bagi seorang Muslim,
sekalipun ia tidak menemukan air selama sepuluh tahun. (dalam hadits
tersebut terkandung dalil penamaan tayamum dengan wudhu) Apabila ia (yaitu seorang Muslim) telah
mendapatkan air, maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah , dan menyentuhkan
air itu ke kulitnya.
Diriwayatkan oleh Al Bazzar dan dishahihkan oleh Al Qaththan.
Telah dibahas tentang lafazh kedua nama ini dan penjelasan tentang kondisi kedua
perawinya. Akan tetapi Ad Daruquthni membenarkan kemursalannya. Ia mengatakan
dalam kitabnya Al Ilal, penilaian bahwa hadits tersebut mursal adalah
lebih shahih.
Mengenai sabdanya ‘apabila ia telah menemukan air’,
adalah dalil bahwa apabila seseorang sudah mendapati air, maka dia wajib
menyentuhkan air ke kulitnya (mandi junub). Pendapat inilah yang dipakai bagi
yang mengatakan bahwa debu tidak dapat menghilangkan hadats. Maksudnya,
hendaklah ia menyentuhkan air itu ke kulitnya, karena sebelumnya ia junub, maka
hal itu tetap wajib baginya. Debu itu hanya membolehkannya melaksanakan shalat,
dia kembali ke kondisi junub. Oleh karenanya, mereka mengatakan bahwa dia harus
tayamum setiap kali hendak melaksanakan shalat. Dalil mereka adalah hadits Amr
bin Ash dan sabda Rasulullah kepadanya:
[أَصَلَّيْت بِأَصْحَابِك وَأَنْتَ
جُنُبٌ]
“Kamu shalat dengan shahabat-shahabatmu, padahal kamu
masih junub” [shahih: Abu Daud 334]
Dan berdasarkan pertanyaan para shahabat kepada Rasulullah , “Sesungguhnya Amr shalat dengan mereka, padahal dia sedang junub, lalu
beliau mengakui penamaan Amr dengan junub.”
Di antara ulama ada yang mengatakan bahwa tanah itu sama
hukumnya dengan air, dapat menghilangkan jinabat dan membolehkan shalat
dengannya berapa saja dia kehendaki. Apabila ia mendapatkan air maka dia tidak
wajib mandi, kecuali untuk shalat selanjutnya, dengan alasan bahwa Allah telah menjadikannya sebagai pengganti air, ketika air tidak ada, dan pada
prinsipnya ia dapat menggantikannya pada semua hukumnya, tidak dapat keluar dari
itu kecuali dengan dalil.
Adapun bila sudah mendapatkan air, maka dia harus mandi,
berdasarkan hadits Nabi menamai Amr dengan junub, juga berdasarkan sabda
Rasulullah :
[فَإِذَا وَجَدَ الْمَاءَ فَلْيَتَّقِ
اللَّهَ]
“Apabila dia telah mendapatkan air, maka hendaklah dia bertakwa kepada Allah.”
Sesungguhnya yang nampak adalah bahwa Rasulullah memerintahkan mandi setelah ada air, karena ada sebab yang mendahuluinya yakni
ketiadaan air, karena menyentuhkannya –lantaran sebab-sebab wajibnya mandi atau
berwudhu- telah maklum dari Al Qur'an dan Sunnah. Sementara membangun keyakinan
di atas hal yang telah pasti, lebih baik dari mencari penegasan.
================
123 - وَلِلتِّرْمِذِيِّ عَنْ أَبِي ذَرٍّ
نَحْوُهُ، وَصَحَّحَهُ
123. Dan menurut riwayat At Tirmidzi dari Abu Dzar seperti
riwayat sebelumnya dan At Tirmidzi menshahihkannya.
[Shahih: At Tirmidzi 124, Al Irwa
153]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Biografi Perawi
Abu Dzar, namanya adalah Jundub bin Junada. Ia termasuk
shahabat yang terkemuka, paling zuhud dan termasuk golongan Muhajirin, dialah
orang yang pertama kali menghormati Nabi dengan mengucapkan salam kepada
beliau. Ia masuk Islam sejak di Makkah, dan termasuk orang yang kelima masuk
Islam. Kemudian beliau kembali kepada kaumnya hingga dia datang ke Madinah
menemui Rasulullah setelah perang Khandaq. Lalu ia menetap di Ribdzah
setelah Rasulullah wafat, sampai akhirnya ia meninggal dunia di tempat itu
pada tahun 32 H, pada masa pemerintahan Utsman. Ibnu Mas'ud menshalatkan
jenazahnya, ada yang mengatakan bahwa ia meninggal sepuluh hari setelah itu.
Tafsir Hadits
Ungkapan ‘yang sepertinya’, yakni At Tirmidzi meriwayatkan
hadits yang sama dengan hadits dari Abu Hurairah , dengan lafazh:
«قَالَ أَبُو ذَرٍّ: اجْتَوَيْت الْمَدِينَةَ
فَأَمَرَ لِي رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِإِبِلٍ
فَكُنْت فِيهَا، فَأَتَيْت رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -
فَقُلْت: هَلَكَ أَبُو ذَرٍّ، قَالَ: مَا حَالُك؟ قُلْت: كُنْت أَتَعَرَّضُ
لِلْجَنَابَةِ وَلَيْسَ قُرْبِي مَاءٌ، قَالَ: الصَّعِيدُ طَهُورٌ لِمَنْ لَمْ
يَجِدْ الْمَاءَ وَلَوْ عَشْرَ سِنِينَ»
Abu Dzar berkata, “Aku tidak senang tinggal di Madinah, lalu Nabi menyuruhku tinggal di suatu tempat yang bernama Ibl, maka akupun tinggal di sana, hingga aku mendatangi Nabi , lalu aku berkata, ‘Binasalah Abu Dzar’. Nabi bertanya, “Bagaimana keadaanmu”, aku jelaskan, ‘Aku mendapatkan jinabat, sedangkan di dekatku tidak ada air’, Nabi bersabda: “Debu itu alat untuk bersuci bagi orang yang tidak mendapatkan air, walaupun sampai sepuluh tahun.”
Lafazh ‘Dan ia menshahihkannya’ yaitu At Tirmidzi
menshahihkan hadits Abu Dzar. Penulis dalam kitab Al Fath mengatakan,
‘hadits tersebut juga dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Ad Daruquthni.’
======================
124 - وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ - رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: «خَرَجَ رَجُلَانِ فِي سَفَرٍ، فَحَضَرَتْ الصَّلَاةُ -
وَلَيْسَ مَعَهُمَا مَاءٌ - فَتَيَمَّمَا صَعِيدًا طَيِّبًا، فَصَلَّيَا، ثُمَّ
وَجَدَا الْمَاءَ فِي الْوَقْتِ، فَأَعَادَ أَحَدُهُمَا الصَّلَاةَ وَالْوُضُوءَ،
وَلَمْ يُعِدْ الْآخَرُ، ثُمَّ أَتَيَا رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ – فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ لِلَّذِي لَمْ يُعِدْ: أَصَبْت السُّنَّةَ
وَأَجْزَأَتْك صَلَاتُك وَقَالَ لِلْآخَرِ: لَك الْأَجْرُ مَرَّتَيْنِ» . رَوَاهُ
أَبُو دَاوُد وَالنَّسَائِيُّ.
124. Dari Abu Sa'id Al Khudri , dia berkata, Ada dua orang laki-laki keluar dalam satu perjalanan, lalu datanglah waktu shalat, sedang keduanya tidak memiliki air, lalu keduanya bertayamum dengan debu yang bersih, kemudian shalat, kemudian mereka mendapatkan air di waktu itu juga, salah satunya mengulangi shalat dan wudhu, sedang yang lainnya tidak mengulanginya, lalu keduanya mendatangi Rasulullah dan menjelaskan perihal keduanya kepada beliau, maka Rasulullah bersabda kepada yang tidak mengulangi shalatnya, “engkau telah melakukannya sesuai dengan sunnah dan shalatmu sudah sah”, dan beliau bersabda kepada yang lainnya, “Bagimu pahala dua kali.” (HR. Abu Daud dan An Nasa'i)
[Shahih: Abu Daud
338]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Penjelasan Kalimat
Dari Abu Sa'id Al Khudri , dia berkata, Ada
dua orang laki-laki keluar dalam satu perjalanan, lalu datanglah waktu shalat,
sedang keduanya tidak memiliki air, lalu keduanya bertayamum dengan debu yang
bersih, (yakni debu yang bersih lagi halal, Allah mengkhususkannya
dengan debu pada dua ayat Al Qur'an, karena memutlakkannya dengan hadits Abu
Hurairah ditaqyid –dibatasi- dengan beberapa ayat dan hadits) kemudian shalat, kemudian mereka mendapatkan air di waktu itu juga,
(yaitu waktu shalat yang mereka telah shalat padanya) salah satunya mengulangi shalat dan wudhu, (biasanya dinamakan
dengan mengulangi, kalau tidak dinamakan begitu berarti dia tidak berwudhu, atau
tayamum dinamakan wudhu sebagai kiasan saja, sebagaimana hal itu telah dinamakan
sebelumnya) sedang yang lainnya tidak mengulanginya, lalu
keduanya mendatangi Rasulullah dan menjelaskan perihal keduanya kepada
beliau, maka Rasulullah bersabda kepada yang tidak mengulangi shalatnya,
“engkau telah melakukannya sesuai dengan sunnah (yaitu cara yang
sesuai syariat) dan shalatmu sudah
sah” (karena shalat dilaksanakan pada
waktunya, sedangkan air tidak ada, maka wajib dia menggunakan debu), dan beliau bersabda kepada yang lainnya,
(yakni yang mengulangi shalatnya) “Bagimu pahala dua
kali.” (yaitu pahala shalat dengan menggunakan debu –tayamum- dan
shalat dengan menggunakan air –wudhu-)
(HR. Abu Daud dan An Nasa'i). dalam
Mukhtashar As Sunan karya Al Mundziri, bahwa hadits tersebut diriwayatkan
oleh An Nasa'i dengan musnad dan mursal. Abu Daud berkata, bahwa hadits itu
mursal dari Atha’ bin Yasar, akan tetapi penulis mengatakan riwayat ini
diriwayatkan oleh Ibnu Sakan dal kitab Shahih-nya. Hadits itu memiliki syahid
dari hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Ishaq di dalam Musnad-nya:
«أَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -
بَالَ ثُمَّ تَيَمَّمَ فَقِيلَ لَهُ: إنَّ الْمَاءَ قَرِيبٌ مِنْك؛ قَالَ:
فَلَعَلِّي لَا أَبْلُغُهُ»
“Bahwa Nabi buang air kecil, lalu beliau tayamum, maka
dikatakan kepada beliau, sesungguhnya air ada di dekatmu, beliau menjawab,
‘Mungkin aku tidak bisa sampai ke air itu.’
Tafsir Hadits
Hadits tersebut sebagai dalil tentang kebolehan berijtihad
pada masa Rasulullah , dan bahwa tidak wajib mencari dan menunggu air. Hadits
tersebut juga menunjukkan tidak wajibnya mengulangi shalat bagi orang yang sudah
shalat dengan tayamum kemudian menemukan air pada waktu yang sama setelah ia
shalat. Ada yang mengatakan, “Orang yang menemukan air itu mesti mengulangi
shalatnya”, berdasarkan sabda Rasulullah : “Apabila dia mendapatkan air
hendaklah ia bertakwa kepada Allah dan menyentuhkan air ke kulitnya’,
sementara orang tersebut sudah mendapatkan air.
Pendapat ini dibantah, bahwa hadits tersebut bersifat mutlak
bagi orang yang menemukan air setelah masuknya waktu shalat dan sebelum habisnya
waktu shalat tersebut, dan ketika dalam kondisi sedang shalat atau sudah shalat.
Sedangkan hadits Abu Sa’id ini mengenai orang yang tidak mendapatkan air pada
waktunya ketika dalam kondisi shalat, maka hadits ini muqayyad (membatasi
kemutlakan hadits tadi). Keumuman hadits tadi dibatasi oleh hadits Abu Sa’id
yang muqayyad, sehingga pengertiannya adalah, apabila Anda mendapatkan air
sebelum shalat dalam waktu shalat tersebut, maka Anda harus menyentuhkan air ke
kulit Anda. Maksudnya, ketika Anda mendapatkan air, sedang Anda sudah junub
sebelumnya. Hadits ini membatasi kemutlakannya, sebagaimana yang telah kami
jelaskan.
Orang yang berpendapat mesti mengulagi shalat
pada waktu itu juga, menggunakan dalil:
{إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ
فَاغْسِلُوا}
‘... apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah....” (QS. Al-Maidah [5]: 6), bahwa khithab (perintah) tersebut
ditujukan ketika waktu shalat masih ada.
Pendapat ini dijawab, bahwa setelah shalat shalat, maka tidak
ada lagi khithab yang ditujukan kepada pelakunya, bagaimana shalatnya harus
diulang? Padahal Rasulullah bersabda, “shalatmu sudah sah”, kepada
shahabat yang tidak mengulangi shalatnya, karena ijza (sudah cukup, sah)
merupakan ungkapan tentang suatu perbuatan yang menggugurkan kewajiban untuk
mengulangi ibadah. Dan yang benar shalatnya telah dinyatakan sah.
================
125 - «وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا - فِي قَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ {وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى
سَفَرٍ} [المائدة: 6] قَالَ: إذَا كَانَتْ بِالرَّجُلِ الْجِرَاحَةُ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ وَالْقُرُوحُ، فَيُجْنِبُ، فَيَخَافُ أَنْ يَمُوتَ إنْ اغْتَسَلَ:
تَيَمَّمَ» ، رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ مَوْقُوفًا، وَرَفَعَهُ الْبَزَّارُ،
وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالْحَاكِمُ
125. Dari Ibnu Abbas tentang firman Allah , “Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan”, beliau mengatakan, “Apabila seseorang kena luka di jalan Allah dan berpenyakit kudis, lalu dia junub, tetapi dia takut akan mati jika ia mandi, maka dia boleh bertayamum.” (HR. Ad Daruquthni secara mauquf dan dinyatakan marfu oleh Al Bazzar, sedang Ibnu Khuzaimah dan Al Hakim menilainya hadits shahih)
[Dhaif: Al Mustadrak 1/270, Ibnu Khuzaimah
1/128, Dhaif Al Jami 647]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
Dari Ibnu Abbas tentang firman Allah ,
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan”, beliau mengatakan,
“Apabila seseorang kena luka di jalan Allah (yaitu jihad) dan berpenyakit kudis, (yakni, bintik-bintik yang muncul di
badan seperti cacar atau semacamnya) lalu dia
junub, (dia ditimpa junub) tetapi dia takut
(yakni menyangka) akan mati jika ia mandi, maka
dia boleh bertayamum.” (HR. Ad Daruquthni secara
mauquf (atas Ibnu Abbas) dan dinyatakan marfu
(sampai Nabi ) oleh Al Bazzar, sedang Ibnu Khuzaimah dan Al
Hakim menilainya hadits shahih)
Abu Zur’ah dan Abu Hatim mengatakan, Ali Ibnu Ashim salah
dalam masalah ini. Al Bazzar mengatakan, “Kami tidak mengetahui ada orang tsiqah
yang menyatakan sanadnya bersambung kepada Rasulullah dari Atha’ kecuali
Jarir”. Ibnu Main mengatakan bahwa dia mendengar dari Atha’ setelah Atha’ rancu
hafalannya (pikun), maka dengan demikian kemarfu’an hadits ini tidak jelas.
Tafsir Hadits
Dalam hadits ini terkandung dalil disyariatkannya tayamum
bagi orang yang junub, kalau dia khawatir akan mati menggunakan air, tetapi
kalau hanya sebatas taku bahaya saja, maka firman Allah : “dan jika kamu
sakit” menunjukkan kebolehan tayamum bagi orang sakit, bik karena khawatir
akan mati, ataupun yang lainnya. Penetapan luka dan kudis dalam hadits Ibnu
Abbas itu hanya sekedar contoh, karena semua penyakit sama-sama berbahaya,
mungkin juga Ibnu Abbas mengkhususkan kedua jenis penyakit itu di antara
berbagai penyakit. Begitu juga penyebutan di jalan Allah hanya sekedar contoh,
karena seandainya luka itu akibat terjatuh, maka hukumnya sama, dan karena itu
hanya sekedar contoh, maka boleh tayamum karena takut adanya bahaya.
Jika tidak maka perkataan Ibnu Abbas, ‘Khawatir akan mati’,
menunjukkan bahwa tayamum tidak sah kecuali karena takut mati. Demikian menurut
pendapat Ahmad dan salah satu dari dua pendapat Asy-Syafi'i. sedang Al
Hadawiyah, Malik dan salah satu dari dua pendapat Asy-Syafi'i dan Al Hanafiyah,
membolehkan tayamum karena takut bahaya, dengan alasan keumuman ayat di atas.
Daud dan Al Manshur berpendapat boleh tayamum bagi orang yang sakit, sekalipun
dia tidak takut akan adanya bahaya, sesuai dengan zhahirnya ayat tadi.
===============
126 - وَعَنْ «عَلِيٍّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -
قَالَ: انْكَسَرَتْ إحْدَى زَنْدَيَّ فَسَأَلَتْ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، فَأَمَرَنِي أَنْ أَمْسَحَ عَلَى الْجَبَائِرِ» . رَوَاهُ
ابْنُ مَاجَهْ بِسَنَدٍ وَاهٍ جِدًّا
126. Dari Ali , ia berkata, “Salah satu pergelangan
tanganku patah, maka aku tanyakan hal itu kepada Rasulullah , lalu beliau
menyuruhku untuk mengusap di atas perban.” (HR. Ibnu Majah dengan sanad lemah
sekali)
[Dhaif Jiddan: Ibnu Majah
663]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
Salah satu pergelangan tanganku patah,
(yaitu persendian antara lengan bawah dan telapak tangan) maka aku tanyakan hal itu kepada Rasulullah , (yaitu tentang
yang wajib dilakukan ketika berwudhu dalam kondisi tersebut) lalu beliau menyuruhku untuk mengusap di atas perban.”(yaitu,
pembalut tulang yang patah)
Tafsir Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad yang
lemah sekali. Yakni, aku mendapatkan ia sangat lemah sekali.
Al Jidd adalah penelitian, sebagaimana yang dikatakan
di dalam Al Qamus, maksudnya saya meneliti kedhaifan hadits dan
benar-benar mendapatkan kelemahannya. Yahya bin Ma’in, Ahmad dan lainnya
mengingkari hadits ini. mereka mengatakan demikian karena hadits itu dari
riwayat Amr bin Khalid Al Wasithi, seorang pembohong besar.
Diriwayatkan juga oleh Ad Daruquthni dan Al Baihaqi dari dua
sanad yang lebih lemah.
An Nawawi mengatakan, “Para Hafizh telah sepakat akan
kedhaifan hadits di atas.” Asy-Syafi'i mengatakan, “Seandainya aku mengetahui
sanadnya shahih, aku akan shahihkan, hadits ini termasuk di antara hadits yang
aku istikharahkan kepada Allah.”
Ada beberapa hadits yang senada dengan hadits tersebut,
tetapi menurut Al Baihaqi tidak satu pun yang shahih, kecuali hadits berikut:
127 - «وَعَنْ جَابِرٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -
فِي الرَّجُلِ الَّذِي شُجَّ، فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ - إنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ
يَتَيَمَّمَ، وَيَعْصِبَ عَلَى جُرْحِهِ خِرْقَةً، ثُمَّ يَمْسَحَ عَلَيْهَا
وَيَغْسِلَ سَائِرَ جَسَدِهِ» رَوَاهُ أَبُو دَاوُد بِسَنَدٍ فِيهِ ضَعْفٌ، وَفِيهِ
اخْتِلَافٌ عَلَى رُوَاتِهِ.
127. Dari Jabir tentang orang yang luka kepalanya, lalu
dia mandi dan meninggal, (maka Nabi bersabda), “cukup baginya bertayamum
dan membalut lukanya dengan secarik kain, kemudian dia mengusap di atasnya dan
mencuci sekujur tubuhnya. (HR. Abu Daud dengan sanad lemah, dan terdapat
perbedaan pendapat tentang perawi hadits ini)
[Hasan tanpa kalimat ‘cukup baginya...’,
Abu Daud 336]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Tafsir Hadits
Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Az Zubair bin Khuraiq
sendirian, sehingga Ad Daruquthni mengatakan, ‘ia bukan orang yang kuat’, dan
saya katakan, ‘Adz Dzahabi pernah mengatakan, bahwa dia orang yang jujur.’
Terjadi perbedaan pendapat tentang perawi hadits ini, yaitu
Atha’, bahwa Az Zubair bin Khuraiq meriwayatkan hadits dari Atha’ dari Jabir,
dan Al Auza’i meriwayatkannya dari Atha’ dari Ibnu Abbas, perbedaan ini terjadi
pada periwayatan Atha’, apakah riwayat dia itu dari Jabir atau dari Ibnu Abbas?
Terdapat pada salah satu riwayat tersebut yang tidak terdapat pada riwayat
lainnya.
Hadits ini, dan hadits dari Ali yang pertama saling
menguatkan dalam hal wajibnya mengusap bagian atas pembalut dengan air, dan
terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama pada masalah ini. ada yang
mengatakan wajib mengusap, berdasarkan kedua hadits tersebut, sekalipun keduanya
lemah tetapi saling menguatkan, dan karena anggota wudhu tersebut sulit dicuci
dengan air, maka boleh mengusap bagian luarnya saja seperti kepala, dan
diqiyaskan pada mengusap bagian atas sepatu (khuff) dan sorban, qiyas ini
memperkuat nash.
Saya katakan, “orang yang berpendapat boleh mengusap bagian
atas khuf, pasti akan menguatkan bolehnya mengusap bagian luar pembalut, inilah
yang nampak.”
Di dalam hadits Jabir terkandung dalil yang membolehkan
menggabungkan antara tayamum, mengusap pembalut dan mandi, tapi hal ini
menimbulkan problem dalam masalah penggabungan antara tayamum dengan mandi. Ada
yang mengatakan, dapat dipahami bahwa anggota-anggota wudhu atsar terluka maka
tidak dapat diusapkan dengan air, maka dia mesti tayamum, kemudian menuangkan
air ke bagian lain dari badannya. Sedangkan bila luka itu berada di kepala yang
seharusnya dibasahi dengan air, tetapi terhalang karena adanya luka, maka dia
wajib membalutnya lalu mengusap bagian atasnya.
Akan tetapi, penulis berkata dalam At Talkhish, bahwa
tidak disebutkan kata tayamum dalam riwayat Atha’ dari Ibnu Abbas, maka jelaslah
bahwa Az Zubair bin Khuraiq meriwayatkannya sendirian, sebagaimana telah
diingatkan oleh Ibnu Qaththan. Kemudian dia juga mengatakan, dalam riwayat Atha’
tidak ada penyebutan mengusap bagian atas pembalut, berarti termasuk di antara
hadits yang diriwayatkan oleh Az Zubair sendirian.
Penulis mengatakan tentang hadits Jabir yang menunjukkan
bahwa sabda beliau , “cukup bagimu tayamum” tidak marfu, padahal
ternyata marfu’, hal ini terjadi karena ketika penulis meringkasnya, luputlah
kalimat yang menunjukkan bahwa hadits tersebut marfu.
Dalam hadits ini terdapat satu kisah yang lafazhnya milik Abu
Daud, dari Jabir:
«خَرَجْنَا فِي سَفَرٍ فَأَصَابَ
رَجُلًا مِنَّا حَجَرٌ فَشَجَّهُ فِي رَأْسِهِ ثُمَّ احْتَلَمَ فَسَأَلَ
أَصْحَابَهُ فَقَالَ: هَلْ تَجِدُونَ لِي رُخْصَةً عَلَى التَّيَمُّمِ؟ قَالُوا:
مَا نَجِدُ لَك رُخْصَةً وَأَنْتَ تَقْدِرُ عَلَى الْمَاءِ، فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ،
فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -
أُخْبِرَ بِذَلِكَ فَقَالَ: قَتَلُوهُ قَتَلَهُمْ اللَّهُ أَلَا سَأَلُوا إذْ لَمْ
يَعْلَمُوا؟ فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ، إنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ
يَتَيَمَّمَ وَيَعْصِبَ - شَكَّ مُوسَى - عَلَى جُرْحِهِ خِرْقَةً ثُمَّ يَمْسَحَ
عَلَيْهَا وَيَغْسِلَ سَائِرَ جَسَدِهِ» إلَى آخِرِهِ
Kami pernah keluar dalam
sebuah perjalanan, lalu salah seorang di antara kami terkena batu pada kepalanya
yang membuatnya terluka serius. Kemudian dia bermimpi junub, maka dia bertanya
kepada para sahabatnya; Apakah ada keringanan untukku agar saya bertayammum
saja? Mereka menjawab; Kami tidak mendapatkan keringanan untukmu sementara kamu
mampu untuk menggunakan air, maka orang tersebut mandi dan langsung meninggal.
Ketika kami sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau
diberitahukan tentang kejadian tersebut, maka beliau bersabda: "Mereka telah
membunuhnya, semoga Allah membunuh mereka! Tidakkah mereka bertanya apabila
mereka tidak mengetahui, karena obat dari kebodohan adalah bertanya!
Sesungguhnya cukuplah baginya
Kami pernah keluar dalam sebuah perjalanan, lalu salah
seorang di antara kami terkena batu pada kepalanya yang membuatnya terluka
serius. Kemudian dia bermimpi junub, maka dia bertanya kepada para sahabatnya;
Apakah ada keringanan untukku agar saya bertayammum saja? Mereka menjawab; Kami
tidak mendapatkan keringanan untukmu sementara kamu mampu untuk menggunakan air,
maka orang tersebut mandi dan langsung meninggal. Ketika kami sampai kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, beliau diberitahukan tentang kejadian tersebut,
maka beliau bersabda: "Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membunuh
mereka! Tidakkah mereka bertanya apabila mereka tidak mengetahui, karena obat
dari kebodohan adalah bertanya! Sesungguhnya cukuplah baginya.... dan
seterusnya.
=================
128 - وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ
تَعَالَى عَنْهُمَا - قَالَ: «مِنْ السُّنَّةِ أَنْ لَا يُصَلِّيَ الرَّجُلُ
بِالتَّيَمُّمِ إلَّا صَلَاةً وَاحِدَةً، ثُمَّ يَتَيَمَّمَ لِلصَّلَاةِ
الْأُخْرَى» . رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ
جِدًّا
128. Dari Ibnu Abbas, ia berkata, ‘Termasuk sunnah
Rasulullah , bahwa seseorang melaksanakan shalat dengan tayamum hanya untuk
sekali shalat saja, kemudian dia bertayamum lagi untuk shalat yang lain.” (HR.
Ad Daruquthni dengan sanad yang lemah sekali)
[Dhaif: Ad Daruquthni
1/185]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
Termasuk sunnah Rasulullah (maksudnya cara yang disyariatkannya), bahwa seseorang
melaksanakan shalat (demikian pula perempuan) dengan
tayamum hanya untuk sekali shalat saja, kemudian dia bertayamum lagi untuk
shalat yang lain
Tafsir Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Ad Daruquthni dengan sanad yang
dhaif. Karena termasuk riwayat Al Hasan bin Imarah. Ia adalah seorang yang lemah
sekali.
Dalam bab ini, terdapat dua hadits lemah dari Ali dan Ibnu
Umar, dan apabila dikatakan sesungguhnya atsar Ibnu Umar lebih shahih, maka ia
termasuk mauquf, sehingga semuanya tidak dapat dijadikan hujjah.
Pada dasarnya Allah telah menjadikan tanah untuk
menggantikan kedudukan air, dan sudah maklum bahwasanya tidak wajib berwudhu
dengan air kecuali adaanya hadats, maka tayamum pun demikian. Itulah pendapat
sekelompok ulama hadits dan yang lainnya, dan merupakan dalil yang paling kuat.
0 comments:
Post a Comment