117 - عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ
النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «أُعْطِيت خَمْسًا، لَمْ
يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي: نُصِرْت بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ، وَجُعِلَتْ لِي
الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا، فَأَيُّمَا رَجُلٍ أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ
فَلْيُصَلِّ» وَذَكَرَ الْحَدِيثَ
117. Dari Jabir bin Abdullah , bahwa Rasulullah bersabda, “Aku telah diberi lima perkara yang tidak pernah diberikan kepada
seorang pun sebelumku: aku ditolong dengan ketakutan musuh sejauh perjalanan
satu bulan, dijadikan bagiku bumi sebagai masjid dan alat untuk bersuci, maka
siapa yang sudah sampai padanya waktu shalat, hendaklah ia melaksanakan
shalat.” Dan beliau menyebutkan hadits.
[Al Bukhari 335, Muslim
521]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
bahwa Rasulullah bersabda
(yaitu, beliau menceritakan tentang nikmat Allah padanya dan menjelaskan
hukum-hukum syariatnya) Aku telah diberi (tanpa
menyebutkan siapa fail (pelaku) yang memberinya karena sudah
diketahui) lima perkara (yaitu kemuliaan,
keutamaan atau kelebihan dan yang terakhir ini lebih sesuai dengan sabda beliau ) yang tidak pernah diberikan kepada seorang pun
sebelumku: (dan sudah maklum bahwa juga tidak diberikan kepada
seorang pun sesudahnya, sehingga betul-betul menjadi keistimewaan baginya,
karena yang disebut keistimewaan adalah apa yang terdapat pada sesuatu dan tidak
terdapat pada yang lainnya. Mafhum (pengertian) jumlah bilangan bukanlah
yang dimaksud, karena telah ditegaskan bahwa beliau diberi keistimewaan lebih
dari lima macam tadi. As Suyuthi menyebutkannya secara rinci dalam Al
Khasa’ish dan mencapai lebih dari dua ratus. Secara global beliau jelaskan:)
aku ditolong dengan ketakutan musuh (yakni
kekhawatiran) sejauh perjalanan satu bulan, (yaitu
antara aku dan musuhku sejauh perjalanan selama satu bulan, Ath Thabarani
meriwayatkan, ‘Aku ditolong dengan ketakutan musuhku sejauh perjalanan dua
bulan. [Al Kabir 11/64]. Dia juga meriwayatkan penafsiran hadits itu dari As
Sa’ib bin Yazid dengan lafazh, ‘sebulan sebelumnya dan sebulan
sesudahnya’ [Al Kabir 7/154]. Ada yang mengatakan, hanya disebutkan selama
satu bulan, karena belum pernah terjadi peperangan antara Nabi dengan
musuh-musuhnya melebihi jarak ini, dan beliau selalu menang walaupun beliau
sendirian. Mengenai apakah hal itu terjadi bagi umatnya, terjadi perbedaan) dijadikan bagiku bumi sebagai masjid (yakni tempat
sujud, dan tidak dikhususkan bumi itu sebagai tempat sujud sedang yang lainnya
tidak boleh, hal ini tidak ada pada selain beliau , sebagaimana dijelaskan
dalam sebuah riwayat, “orang-orang sebelumku hanya bisa melaksanakan shalat
di gereja-gereja mereka saja.” [Ahmad 2/222], dalam riwayat lain dikatakan,
“belum pernah ada seorang nabipun yang shalat kecuali setelah dia sampai ke
mihrabnya.” [Al Baihaqi 2/433]. Hadits ini menjadi dasar bahwa
keistimewaan-keistimewaan itu tidak pernah diberikan kepada seorang pun dari
nabi-nabi sebelumnya) dan alat untuk bersuci,
(yang dengannya shalat dibolehkan)
Tafsir Hadits
Dalam hadits tersebut terkandung dalil bahwa debu dapat
menghapus hadats seperti air, karena keduanya sama-sama menyucikan, tapi ada
yang tidak sependapat dengan itu, dikatakan yang memiliki kesucian dan dapat
dijadikan bersuci yang dengannya boleh melaksanakan shalat adalah seperti
air.
Hadits tersebut juga menunjukkan bolehnya bertayamum dengan
semua bagian bumi. Dalam satu riwayat dikatakan:
«وَجُعِلَتْ لِي
الْأَرْضُ كُلُّهَا
وَلِأُمَّتِي مَسْجِدًا وَطَهُورًا»
“Dijadikan bagiku dan umatku semua bagian bumi itu sebagai
masjid dan alat bersuci.”hadits ini dari Abu Umamah yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dan yang lainnya.
Orang yang melarang hal tersebut dengan berdasarkan dalil
sabda beliau dalam sebagian riwayat Ash-Shahih:
«وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا طَهُورًا»
“Dan debunya dijadikan alat bersuci.” [Muslim 522]
Dalam hadits ini tidak ada dalil yang mensyaratkan debu,
sebagaimana yang telah Anda ketahui dalam ilmu ushul fiqh bahwa penyebutan
sebagian dari sesuatu yang umum tidaklah membatasi keumumannya, dan yang
demikian adalah pengertian istilah yang tidak bisa diamalkan menurut para
pentahqiq hadits.
Memang betul dalam firman Allah disebutkan tentang ayat
tayamum dalam surat Al Ma’idah ayat 6 dengan lafazh (مِنْهُ)
‘... dengan tanah itu”, sebagai dalil bahwa yang dimaksud adalah debu,
karena kata min menunjukkan pengertian sebagian, sebagaimana dikatakan
dalam kitab Al Kasysyaf, “Tidak ada seorang Arab pun yang memahami
perkataan, ‘aku mengusap kepalaku min (dengan sebagian) minyak dan debu’
kecuali dengan arti sebagian.” Dan pengertian “Sebagian” tidak mungkin bisa
terjadi kecuali pada mengusap dengan debu, bukan dengan batu dan yang
lainnya.
Sabda beliau, ‘... maka siapa saja..(umum pada setiap
orang) masuk padanya waktu shalat, maka hendaklah ia shalat...’ yaitu
dalam kondisi bagaimana pun, sekalipun tidak menemukan masjid ataupun air, yakni
dengan bertayamum, sebagaimana yang dijelaskan oleh riwayat Abu Umamah:
«فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ
الصَّلَاةُ فَلَمْ يَجِدْ مَاءً وَجَدَ الْأَرْضَ طَهُورًا وَمَسْجِدًا» وَفِي
لَفْظٍ [فَعِنْدَهُ طَهُورُهُ وَمَسْجِدُهُ]
“Siapa saja dari umatku yang mendapatkan waktu shalat
sudah tiba, sementara dia tidak mendapatkan air, maka dia akan mendapatkan tanah
itu sebagai masjid dan suci (dan dapat dijadikan bersuci)” di lain riwayat
dikatakan, “Maka pada tanah itulah tempat ia shalat dan bersuci.”
Dan dalam hadits itu juga terkandung pengertian bahwa tidak
wajib mencari air bagi orang yang tidak menemukan air.
Lalu ia menyebutkan hadits tersebut, yakni Jabir menyebutkan
lanjutan hadits tersebut, karena yang disebutkan pada aslinya hanya dua, dan
kami akan menyebutkan yang lainnya;
****
Yang ketiga, beliau bersabda:
«وَأُحِلَّتْ لِي الْغَنَائِمُ» وَفِي رِوَايَةٍ:
الْمَغَانِمُ
“Dan dihalalkan bagiku harta rampasan.” Dalam riwayat
lain dengan lafazh: al maghanim, artinya harta rampasan perang.
Al Khaththabi mengatakan bahwa orang-orang terdahulu dapat
dikelompokkan menjadi dua kelompok: ada kelompok yang tidak diizinkan berjihad
sehingga mereka tidak mendapatkan harta rampasan perang, sementara kelompok lain
diizinkan berjihad, tapi apabila mereka mendapatkan harta rambasan perang, tidak
halal bagi mereka memakannya sedikitpun, maka datanglah api yang
membakarnya.
Ada yang mengatakan, ‘dibolehkan bagiku menggunakan harta
rampasan itu, dengan memberikan bagian yang lebih, memilih atau membagikannya
bagi yang berperang, sebagaimana firman Allah :
{قُلِ الأَنْفَالُ لِلَّهِ
وَالرَّسُولِ}
“Katakanlah, “Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah
dan Rasul.” (QS. Al-Anfal [8]: 1)
Yang keempat; beliau bersabda:
[وَأُعْطِيت الشَّفَاعَةَ]
“Aku diberikan (hak memberi) syafaat.”
Di dalam Asy Syarh disebutkan ada 12 macam syafa’at,
ia menyimpulkan bahwa masing-masing syafa’at itu khusus untuk Rasulullah ,
walaupun sebagiannya juga bagi yang lainnya. Atau mungkin juga yang dimaksud
oleh Rasulullah adalah syafa’at uzhma, yaitu tentang memindahkan
manusia dari al mauqif (padang Mahsyar), karena dialah yang paling
sempurna. Kemuliannya tampak bagi semua orang yang berada di al
mauqif.
Yang kelima beliau bersabda:
«وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ فِي قَوْمِهِ
خَاصَّةً وَبُعِثْت إلَى النَّاسِ كَافَّةً»
“Biasanya nabi-nabi sebelumku diutus hanya untuk umatnya
saja dan aku diutus kepada umat manusia seluruhnya.”
Keumuman risalah, khusus bagi Rasulullah. adapun nabi
Nuh, hanya diutus untuk kaumnya saja. Walaupun setelah orang yang mendustakannya
ditenggelamkan, dia diutus untuk seluruh penduduk bumi, karena yang tersisa
hanyalah orang-orang mukmin, tetapi bukan umum pada awal kenabian beliau. Ada
yang mengatakan tidak demikian.
Dari semua itu dapat dimengerti bahwasanya Nabi diistimewakan dengan tiap-tiap satu dari kelima keistimewaan itu, bukan dengan
kesemuanya sekaligus, ada yang mengatakan bahwa pada salah satu keistimewaan itu
dimiliki juga oleh nabi lainnya, tetapi pendapat ini tidak benar.
Dalam hadits tersebut terdapat kandungan yang sangat mulia,
yang dijelaskan dalam kitab-kitab induk.
Seharusnya, penulis menyebutkan setelah dia mengatakan, ‘lalu
ia menyebutkan hadits tersebut’. Kemudian melanjutkan dengan ‘dan dalam hadits
Hudzaifah...’ dan seterusnya, karena tetap saja masih tersisa dari hadits Jabir
tersebut tidak dinisbatkan kami perawinya, sekalipun sudah dipahami kalau hadits
tersebut adalah Muttafaq alaih, karena ada lanjutannya, yaitu hadits berikut
ini:
118 - وَفِي حَدِيثِ حُذَيْفَةَ - رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ -، عِنْدَ مُسْلِمٍ «وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُورًا، إذَا لَمْ
نَجِدْ الْمَاءَ»
118. Dalam hadits Hudzaifah yang diriwayatkan oleh Muslim
(Nabi bersabda), “Dan dijadikan debunya suci bagi kami, apabila kami
tidak menemukan air.”
[Muslim: 521]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Yang saya maksudkan adalah ucapannya, “Dalam hadits Hudzaifah
yang diriwayatkan oleh Muslim, “Dan dijadikan debunya suci bagi kami, apabila
kami tidak menemukan air.” Taqyid (pembatasan) sesuai dengan ayat Al Qur'an
yang diungkapkan dalam hadits pertama, sebagaimana yang telah kami jelaskan.
=================
119 - وَعَنْ عَلِيٍّ عِنْدَ أَحْمَدَ «وَجُعِلَ
التُّرَابُ لِي طَهُورًا»
119. Dari Ali , menurut riwayat Ahmad, (Nabi bersabda),
“Dan debu dijadikan suci bagiku.”
[Sanadnya Shahih: Ahmad 763, Syaikh Ahmad
Syakir berkata, “Sanadnya shahih, dan tercantum dalam Majma Az Zawa’id
1/260-261. Al Haitsami menyatakan ada ilat pada Abdullah bin Muhammad bin Aqil,
kemudian ia berkata, jadi hadits tersebut adalah hasan.” –ebook
editor]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Hadits ini dan yang sebelumnya adalah dalil bagi yang
mengatakan bahwa tayamum tidak sah kecuali dengan debu, dan pendapat ini telah
dijawab sebelumnya, bahwa adanya nash atas sebagian dari sesuatu yang umum tidak
menunjukkan kekhususannya, meskipun termasuk pengamalan berdasarkan mafhum
laqb (apa yang dapat dipahami dari yang disebutkan tersebut), ini bukan
pendapat mayoritas ulama ushul fiqih, tetapi dalil yang mengkhususkan penggunaan
debu adalah ayat yang telah kami sebutkan terdahulu.
==========================================
120 - وَعَنْ «عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ - رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا - قَالَ: بَعَثَنِي النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - فِي حَاجَةٍ. فَأَجْنَبْت، فَلَمْ أَجِدْ الْمَاءَ فَتَمَرَّغْت فِي
الصَّعِيدِ كَمَا تَتَمَرَّغُ الدَّابَّةُ، ثُمَّ أَتَيْت النَّبِيَّ - صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَذَكَرْت لَهُ ذَلِكَ. فَقَالَ: إنَّمَا يَكْفِيك
أَنْ تَقُولَ بِيَدَيْك هَكَذَا ثُمَّ ضَرَبَ بِيَدَيْهِ الْأَرْضَ ضَرْبَةً
وَاحِدَةً، ثُمَّ مَسَحَ الشِّمَالَ عَلَى الْيَمِينِ، وَظَاهِرَ كَفَّيْهِ
وَوَجْهَهُ» . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَاللَّفْظُ
لِمُسْلِمٍ.
وَفِي رِوَايَةٍ
لِلْبُخَارِيِّ: «وَضَرَبَ بِكَفَّيْهِ الْأَرْضَ، وَنَفَخَ فِيهِمَا، ثُمَّ مَسَحَ
بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ»
120. Dari Ammar bin Yasir , dia berkata, Nabi mengutusku untuk suatu keperluan lalu aku junub dan tak menemukan air, maka aku
berguling-guling di atas tanah seperti binatang. Lalu aku menemui Nabi lalu
menceritakan kepadanya hal tersebut, maka beliau bersabda, “Cukup bagimu
menepuk dengan dua tanganmu begini.”, lalu beliau menepuk kedua tangannya
sekali, kemudian mengusapkan tangan kirinya ke tangan kanan dan punggung kedua
telapak tangannya dan muka. (Muttafaq alaih dan lafazhnya milik Muslim)
[Al Bukhari 347, Muslim
368]
Dalam riwayat Al Bukhari disebutkan, “Beliau menepuk tanah
dengan kedua telapak tangannya, kemudian meniup pada keduanya, lalu mengusap
muka dan kedua telapak tangannya.”
[Al Bukhari 338]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Biografi Perawi
Ammar adalah Abu Al Yaqzhan bin Yasir, ia masuk Islam sejak
lama, dan pernah disiksa oleh orang-orang kafir di Makkah karena masuk Islam. Ia
ikut hijrah ke Habasyah, kemudian ke Madinah. Rasulullah menggelarinya
Ath Thibb Al Muthayyab, termasuk orang-orang yang hijrah pada hijrah yang
pertama kali, ikut serta dalam perang Badr dan semua peperangan lainnya. Lalu
terbunuh pada peperangan Shiffin, ketika itu ia berada dalam kelompok Ali ,
usianya 93 tahun, dialah yang Rasulullah bersabda kepadanya:
تَقْتُلُك الْفِئَةُ
الْبَاغِيَةُ
“Engkau akan dibunuh oleh kelompok yang berbuat melampaui
batas (bughot)”
[Al Bukhari 447 dan Muslim
2916]
Penjelasan Kalimat
Nabi mengutusku untuk suatu keperluan
lalu aku junub (yakni aku menjadi junub, telah kami jelaskan bahwa
ajnaba ar rajul artinya seseorang menjadi junub, tidak dikatakan
ijtanaba, sekalipun banyak ulama fiqih yang menggunakannya) dan tak menemukan air, maka aku berguling-guling (dalam lafazh
lain: fatamakka’tu, yaitu berbolak-balik) di atas tanah
seperti binatang. Lalu aku menemui Nabi lalu menceritakan kepadanya hal
tersebut, maka beliau bersabda, “Cukup bagimu menepuk
(yakni engkau melakukan) dengan dua
tanganmu begini.”, (ini dijelaskan dengan
ungkapannya) lalu beliau menepuk kedua tangannya sekali,
kemudian mengusapkan tangan kirinya ke tangan kanan dan punggung kedua telapak
tangannya dan muka.
Tafsir Hadits
Ammar mengqiyaskan debu dengan air, karena menurut
pendapatnya debu sebagai pengganti air untuk mandi, maka harus rata mengenai
sekujur tubuh, maka Nabi menjelaskan kepadanya tata cara yang memadai dan
dianggap sah. Beliau memperagakan cara bertayamum yang sesuai dengan syariat,
dan memberitahukan kepadanya bahwa seperti itulah tata cara yang difardhukan
kepadanya.
Hadits tersebut juga menunjukkan bahwa cukup dengan satu kali
pukulan (tepukan) dan pada kedua tangan cukup dengan mengusap kedua telapaknya,
dan bahwa ayat tersebut secara mujmal dan dijelaskan oleh Rasulullah bahwa
cukup atas kedua telapak tangan.
Hadits itu juga memberi pengertian bahwa Rasulullah mengerjakannya dengan berurutan antara muka dan kedua telapak tangan, tetapi itu
tidak wajib, sekalipun huruf waw tidak memberi pengertian berurutan, akan
tetapi tertera dalam riwayat Al Bukhari, athaf (kata penghubung) antara
muka dan telapak tangan dengan kata tsumma (kemudian, yang menunjukkan
berurutan), dan dalam riwayat Abu Daud disebutkan:
«ثُمَّ ضَرَبَ بِشِمَالِهِ عَلَى يَمِينِهِ
وَبِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ عَلَى الْكَفَّيْنِ ثُمَّ مَسَحَ
وَجْهَهُ»
“Beliau menepuk tangan kirinya ke tangan kanannya, dan tangan
kanannya ke tangan kirinya, lalu mengusap mukanya.” [Shahih: Abu Daud 321]
Dalam lafazh milik Ismaili lebih jelas dari ini, Rasulullah bersabda:
«إنَّمَا يَكْفِيك أَنْ تَضْرِبَ بِيَدَيْك عَلَى
الْأَرْضِ ثُمَّ تَنْفُضَهُمَا ثُمَّ تَمْسَحَ بِيَمِينِك عَلَى شِمَالِك
وَبِشِمَالِك عَلَى يَمِينِك ثُمَّ تَمْسَحَ عَلَى وَجْهِك»
“Cukup bagimu menepuk tanah dengan kedua tanganmu,
kemudian engkau kibaskan keduanya, lalu engkau usap tangan kirimu dengan tangan
kananmu dan engkau usap tangan kananmu dengan tangan kiri, kemudian engkau usap
mukamu.”
Hadits tersebut juga menunjukkan tayamum itu wajib bagi orang
junub yang tidak mendapatkan air.
Terjadi perbedaan pendapat mengenai jumlah tepukan dan kadar
tayamum pada kedua tangan:
Sekelompok ulama salaf dan ulama setelah mereka berpendapat
bahwa cukup dengan satu kali tepukan, tetapi menurut sekelompok shahabat dan
ulama setelah mereka mengatakan bahwa tidak cukup hanya satu kali tepukan,
mereka mengatakan harus dengan dua kali tepukan, berdasarkan hadits yang akan
segera disebutkan.
Orang yang berpendapat cukup sekali tepukan saja, adalah
jumhur ulama dan ahli hadits, berdasarkan hadits Ammar di atas, karena menurut
mereka hadits itulah yang paling shahih dalam masalah ini, dan menurut mereka
pula hadits tentang dua kali tepuka itu –yang akan disebutkan nanti- tidak dapat
menyaingi hadits Ammar. Mereka berpendapat bahwa semua hadits selain hadits
Ammar lemah atau mauquf, sebagaimana yang akan dijelaskan.
Adapun kadar tayamum pada kedua tangan, sekelompok ulama dan
ahli hadits mengatakan cukup dua telapak tangan dan punggungnya, berdasarkan
hadits Ammar tadi. Telah diriwayatkan pula beberapa riwayat dari Ammar yang
menyelisihi riwayatnya tadi, akan tetapi yang paling shahih adalah yang
diriwayatkan dalam Ash-Shahihain dan sungguh Ammar memberikan fatwa
dengan itu sepeninggal Nabi.
Ulama lainnya mengatakan, wajib dua kali tepukan dan mengusap
kedua tangan hingga kedua siku, berdasarkan hadits dari Ibnu Umar yang akan
disebutkan nanti, dan akan disebutkan pula bahwa yang paling shahih mengenai
hadits Ibnu Umar itu adalah mauquf, maka tidak bisa menentang hadits Ammar yang
marfu’, yang menjelaskan hadits ta’lim (pengajaran Rasulullah kepada
para shahabat tentang cara tayamum)
Berdasarkan hal itulah, sehingga terjadi perbedaan pendapat
di kalangan mereka tentang urutan mengusap muka dan kedua tangan. Hadits dari
Ammar –yang telah Anda ketahui- memutuskan bahwa urutan itu tidak wajib. Inilah
yang menjadi pegangan kelompok yang mengatakan cukup sekali tepukan saja, mereka
mengatakan bahwa athaf dengan huruf waw dalam ayat itu tidak
bertentangan dengan pendapat tersebut.
Kelompok yang mewajibkan dua kali tepukan mengatakan, bahwa
harus berurutan yaitu dengan mendahulukan muka sebelum kedua tangan, dan
mendahulukan tangan kanan sebelum tangan kiri.
Dalam hadits Ammar menunjukkan bahwa yang disyariatkan adalah
memukul (menepuk) debu. Yang mengatakan tidak sah selain (memukul) debu adalah
Al Hadawiyah dan ulama lainnya, berdasarkan hadits dari Ammar dan hadits Ibnu
Umar yang akan datang.
Asy-Syafi'i mengatakan, meletakkan tangan di tanah sudah sah,
karena menurut salah satu dari dua riwayat tentang cara tayamum Nabi pada
tembok, bahwa beliau hanya meletakkan tangannya.
Dan dalam satu riwayat, yakni dari hadits Ammar yang
diriwayatkan Al Bukhari: “Beliau menepuk tanah dengan kedua telapak tangannya,
kemudian meniup pada keduanya, lalu mengusap muka dan kedua telapak tangannya.
Yakni punggung keduanya, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Riwayat
dalam hadits Al Bukhari ini sama dengan riwayat dalam Muslim, hanya saja, ada
perbedaan pada urutan dan adanya tiupan.
Adapun meniup debu hukumnya sunnah, ada juga yang mengatakan
hukumnya tidak sunnah. Mengenai tartib telah diterangkan sebelumnya.
Tayamum ini disebutkan bahwa cukup dengan tanah bagi orang
junub yang tidak menemukan air, para ulama mengqiyaskan orang junub dengan
perempuan haidh dan nifas, tetapi dibantah oleh Ibnu Umar dan Ibnu Mas'ud.
Adapun mengenai tanah, apakah dapat menghilangkan janabat
atau tidak, akan dijelaskan dalam ulasan hadits Abu Hurairah, yaitu hadits
yang keenam.
121 - وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ - رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -
«التَّيَمُّمُ ضَرْبَتَانِ: ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ، وَضَرْبَةٌ لِلْيَدَيْنِ إلَى
الْمِرْفَقَيْنِ» . رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ، وَصَحَّحَ الْأَئِمَّةُ
وَقْفَهُ
121. Dari Ibnu Umar , dia berkata, “Rasulullah bersabda, “Tayamum itu dua kali tepukan, sekali tepukan untuk muka, dan
sekali tepukan lagi untuk kedua tangan, sampai kedua siku.” (HR. Ad
Daruquthni) para imam menshahihkan kemauqufan hadits ini.
[Dhaif: Adh Dhaifah 3427-ebook
editor]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Ad Daruquthni berkata di dalam kitab sunannya, setelah
meriwayatkan hadits ini, “Hadits tersebut dinilai mauquf oleh Yahya Al Qaththan,
Hasyim dan ulama lainnya, dan itulah yang benar.” Oleh sebab itu penulis
berkata, “ulama hadits membenarkan kemauqufan hadits tersebut, yaitu pada Ibnu
Umar saja.” Mereka berkata, ‘Kalimat di atas adalah ucapan Ibnu Umar sendiri,
dan terbuka peluang untuk berijtihad dalam masalah tersebut.”
Ada beberapa riwayat senada, yang semuanya tidak shahih, jika
tidak mauquf berarti dha’if, sehingga yang bisa dijadikan pegangan hanya hadits
dari Ammar, dan dengan itu pula yang ditegaskan oleh Al Bukhari dalam shahihnya,
beliau menulis dalam kitabnya “Bab Tayamum untuk muka dan kedua telapak
tangan”.
Penyusun kitab Al Fath berkata, “Itulah yang wajib dan
sah”, Al Bukhari mengemukakannya dengan tegas seperti itu –meskipun terdapat
perbedaan yang sangat masyhur –lantaran kekuatan dalilnya. Sebab hadits-hadits
yang menjelaskan praktek tayamum tidak ada yang shahih kecuali hadits Abu Juhaim
dan Ammar, hadits-hadits selain dua hadits tersebut lemah atau diperdebatkan,
apakah hadits tersebut marfu atau mauquf. Dan yang rajih adalah hadits tersebut
tidak marfu.
Hadits dari Juhaim menyebutkan dengan lafazh al yadain
(kedua tangan) secara global, sedang hadits Ammar menyebutkan dengan lafazh
al kaffain (kedua telapak tangan) di dalam Ash-Shahihain,
dan dengan lafazh al mirfaqain (dua siku) dalam kitab
As Sunan, dan dalam satu riwayat, ‘hingga separuh hasta’, dalam riwayat
lain ‘hingga ketiak’.
Mengenai riwayat ‘hingga kedua siku’ dan ‘hingga separuh
hasta’, masih ada perdebatan, sedang riwayat ‘hingga ketiak’, Asy-Syafi'i dan
ulama lainnya mengatakan, jika itu terjadi karena perintah Rasulullah , maka
setiap tayamum yang sah dari Nabi sesudahnya itu menasakh perbuatan beliau
sebelumnya. Jika bukan perintah beliau, maka yang menjadi hujjah adalah yang
diperintahkannya. Adapun yang menguatkan riwayat dalam Ash-Shahihain
tentang pembatasan hanya muka dan kedua telapak tangan saja, bahwa Ammar pernah
berfatwa demikian sesudah wafatnya Rasulullah , dan perawi hadits lebih
memahami maksud hadits tersebut dari yang lainnya, terlebih seorang shahabat
yang mujtahid
0 comments:
Post a Comment