Pengantar Ilmu

Nama Ilmu
Ilmu Mushthalah Hadis, Ushul Hadis, atau Kaidah-kaidah Hadis.

Definisi Ilmu
Kaidah-kaidah yang dengannya dapat diketahui kondisi-kondisi para perawi (sanad) dan riwayat (matn); dari sisi diterima atau ditolaknya.

Objek pembahasan
Sanad dan Matn; dari sisi diterima dan ditolaknya.

Faidah mempelajarinya
Kemampuan membedakan hadis yang shahih (hujjah) dari yang dhaif (bukan hujjah).

Keutamaan mempelajarinya
Imam Nawawi berkata, “Ilmu hadis adalah diantara ilmu yang paling utama, yang mendekatkan kepada Rabb semesta alam. Bagaimana tidak, ia adalah penjelasan atas jalan sebaik-baik makhluk, yang dahulu dan yang terakhir.”[Tadrib Ar-Rawi, hal. 26]

Identitas Nadzm
Nama nadzm
Al-Madzumah al-Baiquniyyah al-Dimasyqy.[Muqaddimah Muhaqqiq, Syarh Az-Zurqany ma’a Hasyiyah al-Ujhury, hal. 5]

Pengarang
Umar bin Ahmad bin Fatuh Al-Baiquny

Syarh-syarh
  • Al-Tuhfah al-Zainiyyah Ala Al-Mandzumah al-Baiquniyyah, Zain bin Ahmad al-Marshafy
  • Hawasyi al-Baiquniyyah, Muhammad bin Abdurrahman al-Ahdal.
  • Al-Taqrirat As-Saniyyah, Hasan al-Masyath.
  • Syarh Az-Zurqani ma’a Hasyiah Athiyyah al-Ujhury.
  • Syarh Muhammad bin Sha’dan al-Hajiry
  • Syarh al-Hamawy
  • Syarh Ibnu al-Mit ad-Dimyathy.[Muqaddimah Muhaqqiq, Syarh Az-Zurqany ma’a Hasyiyah al-Ujhury, hal. 5]
Penulis (al-Baiquny) berkata:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم
أَبْدَأُ بِالحَمْدِ مُصَلِّيًا عَلَى          مُحَمَّدٍ خَيْرِ نَبِيٍّ أُرْسِلاَ
Aku Memulai dengan al-hamd (pujian kepada Allah), seraya bershalawat atas
Muhammmad, sebaik-baik nabi yang diutus
Penulis (al-Baiquni) memulai nadzmnya dengan al-hamd. Al-hamd adalah pensifatan al-mahmud (yang dipuji) dengan sifat yang sempurna, seraya mencintai dan mengagungkannya. Adapun pensifatan dengan sifat yang sempurna tanpa cinta dan pengagungan; karena takut misalnya, disebut al-madh, bukan al-hamd.

Kemudian bershalawat kepada Muhammad. Shalat atau shalawat secara bahasa adalah doa. Adapun sholawat Allah atas Rasul, maknanya adalah, sebagaimana yang dikatakan oleh Abul ‘Aliyah, bahwa shalawat Allah kepada Nabi-Nya adalah pujian Allah kepadanya dihadapan penduduk langit.[Shahih Bukhari] Shalawat hamba kepada Nabi berarti doa (permohonan) agar Allah memujinya di hadapan penduduk langit.

Muhammad adalah nama Nabi dan Rasul terakhir. Al-Baiquni mensifatinya dengan sebaik-baik nabi yang diutus. Hal ini sesuai sabda Rasulullah, “Aku adalah tuan (sayyid) seluruh manusia pada hari kiamat.”[HR Bukhari (3340), Muslim (327)]

وَذِيْ مِنَ اقْسَامِ الحَدِيْثِ عِدَّةْ          وَكُلُّ وَاحِدٍ أَتَى وَحَدَّهْ
Dan inilah diantara beberapa dari macam-macam hadis
Setiap macamnya akan datang (dalam nadzm ini) beserta definisinya
Penulis menyebutkan bahwa nadzm ini mencakup beberapa macam istilah hadis beserta definisinya. Macam-macam istilah hadis terbagi menjadi tiga; (1) yang hanya berhubungan dengan matan; seperti marfu’ (2) yang hanya berhubungan dengan sanad; seperti ‘aaly dan naazil (3) yang berhubungan dengan keduanya; seperti shahih dan hasan.

[Al-Taqrirat al-Saniyyah, Syarh al-Mandzumah al-Baiquniyyah, Hasan al-Masyath] 

Dan penulis akan menyebutkan tiga puluh dua macam hadis dalam nadzm ini.
Hadis adalah setiap yang disandarkan kepada Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan, sifat penciptaannya (yang berhubungan dengan jasad) atau akhlaknya.

Selain istilah hadis ada istilah khabar dan atsar. Khabar lebih umum dari hadis; karena ia mencakup yang disandarkan kepada Nabi atau yang lainnya dari kalangan para sahabat, tabi’in atau yang setelahnya. Sementara atsar hanya untuk yang disandarkan kepada selain Nabi.

أَوَّلُهَا الصَّحِيْحُ وَهْوَ مَا اتَّصَلْ          إِسْنَادُهُ وَلَمْ يُشَذَّ أَوْ يُعَلْ
Yang pertama dari macam-macam itu adalah istilah shahih; ia adalah yang bersambung
Sanadnya dan tidak syadz, serta tidak ada illah

Pertama adalah istilah shahih. Secara bahasa, Shahih adalah benar. Adapun menurut Istilah ahli hadis, sebagaimana dalam bait ini, ia adalah hadis: 

(1) yang bersambung sanadnya; yaitu bahwa setiap rawi menerima riyawatnya dari orang yang diatasnya (syaikh/guru) dengan cara-cara pengambilan (talaqqi/tahammul) hadis yang muktabar (diakui); seperti dengan sama’ (mendengar), ‘ard (membaca didepan syaikh), ijazah, dll.

Sanad secara bahasa adalah sandaran. Dalam istilah ilmu hadis, ia adalah hal-ihwal yang berhubungan dengan jalan/jalur periwayatan hingga sampai ke matn.

[Sebagian orang mendefenisikan sanad dengan, “Silsilah para perowi yang menyampaikan kepada matn”. Definisi ini kurang tepat dari sisi penggunaan kata “silsilah” yang menunjukkan ketersambungan (ittishal), karena sesungguhnya sanad mencakup yang bersambung atau tidak.]

Hadis shahih juga 

(2) bukan hadis yang syadz; yaitu hadis yang riwayatnya menyelesihi yang lebih kuat darinya, baik dari sisi jumlah atau ketsiqahan para perowinya. Ia juga 

(3) bukan hadis yang terdapat padanya illah; yaitu sebab yang tersembunyi yang mencacati kesahihan hadis tersebut.

يَرْوِيْهِ عَدْلٌ ضَابِطٌ عَنْ مِثْلـِهِ          مُعْتَمَدٌ فِي ضَبْطِهِ  وَنَقْلِهِ
Yang meriwayatkannya (hadis shahih) seorang yang adil dan dhabith, dari orang yang sepertinya
Dapat diandalkan dalam hal dhabt (hapalan)nya dan naql (kitab)nya

Dalam bait ini, penulis melanjutkan sisa dari definisi hadis shahih yang sekaligus memuat syarat-syaratnya. Hadis shahih harus diriwayatkan 

(4) oleh perawi yang memiliki sifat adil; ia adalah sifat yang membawa kepada takwa; menjauhi dosa-dosa besar dan tidak terus-menerus dalam dosa-dosa kecil. Berarti, perawi yang adil adalah seorang muslim, berakal, baligh, selamat dari kefasikan berupa perbuatan dosa besar dan terus-menerus melakukan dosa kecil.

Perawi hadis shahih juga harus memiliki sifat dhabt 
(5); yaitu kemampuan menyampaikan hadis kepada murid-muridnya sebagaimana yang ia terima dari gurunya, baik dari hapalan atau dari catatannya. Dari sini dhabt dibagi dua:
  • Dhabt Shadr: yaitu kemampuan menghapal dengan baik riwayat yang dia dengar dari gurunya hingga ia mampu menghadirkannya kapan saja ia kehendaki.
  • Dhabt Kitab: yaitu kehati-hatiaannya dalam menjaga dan merevisi catatan riwayat-riwayatnya hingga tidak terjadi sesuatu yang dapat merubahnya dari sejak ia meneriwa riwayat itu hingga menyampaikannya.
Dari dua bait diatas, dapat disimpulkan bahwa syarat hadis shahih adalah lima:
  1. Sanadnya bersambung
  2. Para perawinya adil
  3. Para perawinya dhabith
  4. Tidak Syadz
  5. Tidak terdapat illah.
Tiga syarat yang disebutkan pertama adalah syarat yang harus ada (syuruth wujudiyyah), dan dua syarat yang disebutkan terakhir adalah syarat yang harus tidak ada (syuruth intifaiyyah)

Definisi hadis shahih yang disebutkan penulis diatas adalah untuk shahih lidzatihi. Adapun definisi hadis shahih lighairihi adalah hadis hasan lidzatihi yang datang dengan dua jalur periwayatan atau lebih hingga saling menguatkan antara satu dan yang lainnya.

وَالْحَسَنُ الْمَعْرُوْفُ طُرْقًا وَغَدَتْ          رِجَالُهُ لا كَالصَّحِيْحِ اشْتَهَرَتْ
Dan hasan adalah yang terkenal jalur-jalurnya dan kodisi
Para rilaj (perawi)nya terkenal namun tidak seperti hadis shahih

Yang kedua dari macam-macam hadis adalah istilah hasan. Secara bahasa, hasan adalah sesuatu yang disukai oleh hati. Adapun secara istilah, sebagaimana yang disebutkan penulis, hadis hasan adalah hadis yang jalur-jalurnya terkenal; maksud dari ungkapan Baiquny ini adalah sanadnya tersambung. Para perawinya, dalam hal ‘adalah dan dhabt juga terkenal, namun tidak seterkenal para perawi hadis shahih; maksudnya adalah bahwa perawi hadis hasan derajatnya dibawah hadis shahih dari sisi dhabt. Dan inilah yang membedakan hadis hasan dengan hadis shahih. Kualifikasi perawi hadis hasan memiliki kekurangan dari sisi dhabt (khafif ad-dhabt)

Selain sifat-sifat diatas, hadis hasan juga tentu saja disyaratkan tidak syadz dan tidak terdapat padanya illah sebagaimana syarat yang terdapat pada hadis shahih.

وَكُلُّ مَا عَنْ رُتْبَةِ الْحُسْنِ قَصُرْ          فَهْوَ الضَّعِيْفُ وَهْوَ أَقْسَامًا كَثُرْ
Dan setiap hadis yang derajatnya lebih rendah dari hadis hasan
Maka ia adalah dha’if, dan ia memiliki macam-macam yang banyak

Kemudian penulis masuk pada pembahasan hadis yang ketiga; yaitu hadis dhaif. Penulis mendefinisikan hadis dhaif sebagai; hadis yang derajatnya lebih rendah dari hadis hasan, yang tentu saja terlebih lagi dari hadis shahih. Maksudnya, hadis dhaif adalah hadis yang tidak terkumpul padanya sifat hadis hasan dan shahih dengan hilangnya satu atau lebih dari syarat-syaratnya. Hadis dhaif memiliki macam yang banyak, yang diantaranya akan disebutkan oleh penulis dalam nadzmnya ini.

Kedhaifan suatu hadis kembali kepada dua sebab utama[Lihat Nukhbah al-Fikar dengan Syarhnya Nuzhatu An-Nadhzar, Al-Hafidz Ibnu Hajar, hal. 97]:
  1. Keterjatuhan dalam sanad. Hadis dhaif yang disebabkan hal ini adalah: mursal, munqathi, mu’dhal dan mu’allaq, serta mudallas dan mursal khafi.
  2. Kecacatan dalam perawi. Hadis dhaif yang disebabkan hal ini diantaranya adalah: mu’allal, mudhtharib, munkar, syadz, mudraj, maqlub, matruk, dll.
============

وَمَا أُضِيْفَ لِلنَّبِي الْمَرْفُـوْعُ          وَمَا لَتَابِـعٍ هُوَ الْمَقْطُوْعُ
Dan yang disandarkan kepada Nabi adalah marfu’
Dan yang disandarkan kepada tabi’in adalah maqthu’
Pada bait ini penulis menjelaskan dua istilah hadis yang hanya terkait dengan matn; ia adalah marfu’ dan maqthu’. Khabar, dari sisi kepada siapa ia disandarkan memiliki beberapa kondisi:
  1. Disandarkan kepada Nabi. Inilah yang disebut marfu’
  2. Disandarkan kepada Shahabat. Inilah yang disebut mauquf (sebagaimana akan datang dalam nadzm ini)
  3. Disandarkan kepada tabi’in dan yang setelahnya. Inilah yang disebut maqthu’
Istilah-istilah ini hanya berkaitan dengan soal penisbatan matnnya, terlepas dari kondisi sanadnya yang muttashil (bersambung) atau tidak. Maka hardis marfu’ bisa saja ia mursal, munqathi, mu’allaq dll, atau ia shahih, hasan atau dhaif.
Hadis marfu’ terbagi dua: (1) marfu’ sharih; marfu’ yang jelas, seperti “Nabi bersabda”, atau “Nabi melakukan ini” (2) marfu’ hukmi; marfu’ yang tidak secara terang menunjukkan dari Nabi, karena lafadznya dinisbatkan kepada sahabat. Seperti jika salah seorang sahabat mengabarkan sesuatu yang berkaitan dengan perkara ghaib, atau hal-hal yang tidak mungkin keluar dari sekedar pendapat.
وَالْمُسْنَدُ الْمُتَّصِـلُ الْإِسْنَادِ مِنْ          رَاوِيْهِ حَتَّى الْمُصْطَفَى وَلَمْ يَبِنْ
Dan musnad adalah yang muttashil (bersambung) sanadnya dari
Perawinya hingga sampai ke Mushthafa (Nabi) dan tidak terputus
Pada bait ini, penulis menjelaskan istilah musnad. Ia adalah hadis yang sanadnya bersambung (muttashil) dan sampai kepada nabi (marfu’). Ini adalah pendapat yang dipilih oleh penulis sesuai dengan pendapat al-Hakim an-Naisaburi.
[Ada tiga pendapat untuk istilah musnad. Pertama, pendapat al-Hakim, sebagaimana dalam nadzm al-Baiquny. Kedua, pendapat al-Khathib, musnad adalah yang sanadnya bersambung sampai ke matn. Pendapat ini mengandaikan bahwa musnad sama dengan muttashil. Ketiga, pendapat Ibnu abdil barr, musnad adalah yang sampai kepada Nabi, baik sanadnya muttashil atau munqathi’. Pendapat ini mengandaikan bahwa musnad sama dengan marfu’. Lihat al-Baits al-hatsits, hal. 42]
وَمَا بِسَمْعِ كُلِّ رَاوٍ يَتَّصِـلْ          إِسْنَادُهُ لِلْمُصْطَفَى فَالْمُتَّصِلْ
Dan Hadis yang dengan mendengarnya setiap rawi, bersambung
Sanadnya sampai ke al-Mushthafa (Nabi), maka ia disebut muttashil
Pada bait ini, al-Baiquny menjelaskan istilah muttashil; ia adalah hadis yang sanadnya bersambung sampai ke Nabi, karena setiap rowi mendengar langsung dari syaikhnya. Namun definisi al-Baiquny ini dapat dikritik. Pertama, dari sisi penggunaan sama’ (mendengar). Ketersambungan sanad tidak hanya disahkan oleh cara penerimaan hadis dengan sama’ saja, melainkan juga dengan cara penerimaan hadis yang lain (wujuh tahammul), seperti ard’ (membaca di depan syaikh), ijazah, dan yang lainnya yang terdapat dalam kitab-kitab musthalah.
Kedua, dari sisi penggunaan kata mushthafa (Nabi). Hadis muttashil tidak disyaratkan matnnya hanya sampai kepada Nabi saja (marfu’), melainkan juga yang sampai kepada sahabat (mauquf) dan tabi’in (maqthu’).
مُسَلْسَلٌ قُلْ مَا عَلَى وَصْفٍ أَتَى          مِثْلُ  أَمَا وَاللهِ  أَنْبَانِي الْفَتَى
Musalsal –katakanlah- adalah hadis yang datang dengan sifat tertentu
Seperti telah mengabarkan kepadaku seorang yang adil
Hadis muslasal adalah hadis yang secara berturut-turut diriwayatkan oleh masih-masih perowinya dengan sifat periwayatan tertentu. Musalsal ada dua macam:
Pertama, musalsal qauly (dalam perkataan). Contohnya adalah yang disebutkan penulis, “mengabarkan kepadaku seorang yang adil”. Disebut musalsal karena setiap rowi dalam sanadnya mengatakan ungkapan tersebut ketika meriwayatkan kepada perawi yang dibawahnya.
كَـذَاكَ قـَدْ حَدَّثَنِيهِ قَـائِمَا          أَوْ بَعْدَ أَنْ حَدَّثَنِيْ تَبَسّـَمَا
Begitu juga “ia telah menyampaikan kepadaku dalam keadaan berdiri”
Atau “setelah menyampaikan kepadaku ia tersenyum”
Bait ini contoh untuk jenis musalsal yang kedua, musalsal fi’ly (dalam perbuatan). Setiap rowi yang meriwayatkan hadis mengatakan “ia telah menyampaikan kepadaku dalam keadaan berdiri”, atau, “setelah menyampaikan kepadaku ia tersenyum”
عَزِيْزُ مَرْوِي اثْنَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةْ          مَشْهُوْرُ مَرْوِيْ فَوْقَ مَا ثَلَاثَةْ
Aziz adalah (hadis) yang dirwayatkan dua atau tiga
Masyhur adalah (hadis) yang diriwayatkan lebih dari tiga
Pada bait ini, penulis menjelaskan istilah hadis aziz dan masyhur. Sebelum masuk pembahasan ini, mari kita petakan dulu klasifikasi hadis dari sisi jumlah jalur periwayatannya. Hadis, dari sisi ini terbagi menjadi dua
[Lihat Nukhbah al-Fikar dengan Syarhnya Nuzhatu An-Nadzhar, Al-Hafidz Ibnu Hajar, hal. 37 – 53.]:
Pertama, mutawatir [Hadis mutawatir merupakan bahasan yang pada asalnya tidak termasuk dalam cakupan ilmu musthalah, karena sifatnya yang tidak membutuhkan penelitian lagi terhadap sanadnya. Yang pertama kali memasukan mutawatir dalam ilmu musthalah hadis adalah al-Khatib al-Baghdadi dalam “al-Kifayah”, Lihat al-Manhaj al-Muqtarah li fahmi al-Musthalah, DR. As-Syarif Hatim al-Auni, hal. 82]. Ia adalah hadis yang diriwayatkan dengan jalur periwayatan yang banyak yang seluruh perowinya tidak mungkin bersepakat dalam kedustaan.
Kedua, ahad. Ia adalah hadis yang diriwayatkan dengan jalur periwayatan yang terbatas, yang tidak sampai kepada derajat mutawatir. Hadis ahad ini kemudian dibagi menjadi tiga:
1. Gharib
Hadis gharib adalah hadis yang hanya diriwayatkan dengan satu jalur periwayatan. (akan datang penyebutannya dalam nadzm ini)
2. Aziz
Hadis aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua atau tiga jalur periwayatan. ini sebagaimana pendapat yang dipilih penulis[Ia adalah pendapat Ibnu Mandah dan Ibnu Thahir, Hawasyi al-Baiquniyyah, hal. 14]. Pendapat lain, yang merupakan pendapat terkenal dikalangan mutaakhirin adalah: aziz adalah hadis yang diriwayatkan dengan dua jalur periwayatan saja.
3. Masyhur
Hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan dengan lebih dari tiga jalur periwayatan namun tidak sampai derajat mutawatir. Ini juga pendapat yang dipilih penulis[Ia adalah pendapat Ibnu Mandah dan Ibnu Thahir, Hawasyi al-Baiquniyyah, hal. 14]. Pendapat yang terkenal di kalangan mutakhirin adalah; masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga jalur periwayatan atau lebih, dan tidak sampai pada derajat mutawatir.
Maksud dari jumlah jalur periwayatan ini adalah jumlah minimal yang ada dalam tingkatan-tingkatan sanad (thabaqat as-sanad). Artinya, untuk menentukan suatu hadis apakah ia gharib, aziz atau masyhur, cukup melihat jumlah terkecil yang ada dalam tingkatan sanad tersebut, dan tidak disyaratkan adanya jumlah tersebut dalam semua tingkatan (thabaqah).
مُعَنْعَنٌ كَعَنْ سَعِيْدٍ عَنْ كَرَمْ          وَمُبْهَمٌ مَا فِيْهِ رَاوٍ لَمْ يُسَمْ
Mu’an’an seperti ‘an (dari) Sa’id ‘an (dari) Karam
Dan Mubham adalah hadis yang padanya ada rowi yang tidak bernama
Pada potongan bait pertama, penulis menyebutkan istilah mu’an’an hanya dengan menyebutkan contohnya, tanpa mendefinisikan. Hadis mu’an’an adalah hadis yang diriwayatkan dengan menggunakan lafadz ‘an (dari), yang dalam istilah ilmu hadis termasuk bentuk penyimakan yang tidak secara jelas memberi faidah sama’(mendengar) secara langsung (shighah muhtamilah).
Para ulama berbeda pendapat dalam hukum sanad mu’an’an ini. Apakah ‘an’anah itu memberi faidah ittishal (ketersambungan) antara kedua rowi tersebut atau tidak. Dikatakan, bahwa sanadnya munqathi’/mursal (tidak bersambung). Adapun pendapat masyoritas ulama adalah bahwa sanadnya muttashil, selama si mu’an’in (rawi yang meriwayatkan dengan lafadz ‘an) ini selamat dari sifat tadlis dan adanya kemungkinan bertemu atau satu zaman antara keduanya. Ibnu Shalah dan Abdilbarr mengklaim ijma atas hal ini.[Lihat Tadrib al-Rawi, hal. 113]
Pada potongan bait yang kedua, penulis menyebutkan istilah mubham. Ia adalah hadis yang terdapat padanya seorang rowi yang tidak disebutkan namanya. Baik ia terjadi pada sanad atau pata matn. Contoh pada sanad adalah “dari Sufyan, dari seorang laki-laki”. Contoh dalam matn adalah, “datang seorang laki-laki kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”. jika terjadi pada sanad, maka ia berpengaruh pada hukum hadisnya. Namun jika terjadi pada matn, maka ia tidak berpengaruh pada hukum hadisnya.
= Ada tiga pendapat dalam soal syarat kedua (selain selamat dari tadlis) untuk ketersambungan sanadnya. Pertama, pendapat Imam Bukari yang menyatakan tetapnya pertemuan (tsubut al-Liqa). Kedua, pendapat Imam Muslim yang menyatakan bahwa syarat tetapnya pertemuan (tsubut al-liqa) adalah pendapat yang tidak pernah ada pendahulunya. Imam Muslim berpendapat bahwa kemungkinan bertemu (imkan al-liqa) dan satu zaman sudah cukup untuk menetapkan bahwa si mu’an’in mengambil langsung hadis yang bersangkutan dari rowi yang diatasnya. Ketika, pendapat Abu al-Mudzaffar yang menyatakan bahwa selain bertemu, harus dengan lamanya penyertaan (thuul as-shuhbah). Lihat al-baits al-Hatsits, hal. 49

================

وَكُلُّ مَا قَلَّتْ رِجَالُهُ عَلاَ           وَضِدُّهُ ذَاكَ الَّذِيْ قَدْ نَزَلاَ
Dan setiap hadis yang sedikit rijalnya, maka ia tinggi (aaly)
Dan yang sebaliknya, maka ia turun (nazil)

Selanjutnya penulis menyebutkan istilah aaly dan nazil. Kedua istilah ini adalah diantara bahasan hadis yang hanya terkait dengan sanad, dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan matn. Sanad Aaly adalah sanad yang jumlah perawinya sedikit. Sehingga antara seorang muhaddis dengan Rasulullah hanya terdapat beberapa jumlah perawi saja. Sedangkan nazil adalah kebalikan dari aaly, ia adalah sanad yang jumlah perawinya banyak.
Tentu saja masalah aaly dan nazil ini bersifat relatif. Karena sebuah sanad terkadang disebut aaly saat dibandingkan dengan suatu sanad, namun disebut nazil jika dibandingkan dengan sanad yang lain. Begitu juga dengan sanad nazil.
Kemudian, sanad aaly jelas lebih baik dari sanad nazil, karena sanad aaly menjadikan seorang muhaddis tidak terpaut jarak yang jauh dengan Rasulullah. Selain itu, sanad aaly juga membuat penelitian terhadapnya menjadi lebih mudah karena sedikitnya jumlah perawi. Oleh karena itu, sanad aaly adalah sesuatu yang kerap menjadi kebanggaan para ahli hadis di zaman riwayat.
وَمَا أَضَفْتَهُ إِلَى الْأَصْحَابِ مِنْ           قَوْلٍ وَفِعْلٍ فَهْوَ مَوْقُوْفٌ زُكِنْ
Dan (khabar) yang engkau sandarkan kepada sahabat dari
Perkataan dan perbuatan, maka ia adalah mauquf (sebagaimana) diketahui

Bait ini menyebutkan definisi hadis mauquf yang telah lalu penyebutannya dalam klasifikasi hadis dari sisi kepada siapa ia disandarkan. Hadis mauquf adalah hadis yang disandarkan kepada para sahabat, baik terkait dengan perkataan, perbuatan, penetapan atau sifat. Maka, ia juga disebut atsar, sebagaimana penjelasan yang  telah lalu mengenai perbedaan hadis, khabar dan atsar.
Hal ini dengan catatan jika apa yang disandarkan kepada sahabat tersebut tidak terdapat padanya qarinah (indikasi) bersumber dari Nabi. Jika padanya terdapat qarinah tersebut, maka sebagaimana dalam pembahasan hadis marfu’, ia termasuk hadis marfu hukmi.
Adapun sahabat, para ulama mendefinisikan sahabat sebagai, orang yang bertemu dengan Nabi dalam keadaan mengimani kenabiannya dan mati dalam keadaan itu, walaupun sebelumnya pernah murtad –menurut pendapat yang shahih.[Nuzhah al-Nadzar.]
وَمُرْسَلٌ مِنْهُ الصَّحَابِيُّ سَقَطْ            وَقُلْ غَرِيْبٌ مَا رَوَى رَاوٍ فَقَطْ
Dan mursal adalah (sanad) yang darinya seorang sahabat jatuh
Dan katakanlah: (hadis) gharib adalah yang diriwayatkan oleh satu perowi saja

Pada potongan bait yang pertama, al-Baiquny mendefinisikan hadis mursal sebagai, hadis yang pada sanadnya jatuh; tidak disebutkan sahabatnya. Gambarannya adalah, seorang rowi pada tingkatan (thabaqah) tabi’in meriwayatkan dari Rasulullah; seorang tabi’in berkata, berkata Rasulullah.
Hadis mursal termasuk macam hadis dhaif yang disebabkan oleh keterjatuhan dalam sanad. Karena seorang tabi’in tidak mungkin meriwayatkan langsung dari Rasulullah. Sisi kedhaifannya ditilik dari adanya kemungkinan bahwa seorang tabi’in itu meriwayatkan dari tabi’in yang lain yang tidak diketahui kestiqahannya. Oleh karena itu, definisi mursal al-Baiquny ini kurang tepat. Karena beliau menyebutkan bahwa yang jatuh dalam sanad mursal adalah seorang sahabat, sementara bukanlah sebuah kepastian bahwa yang jatuh itu adalah sahabat. Karena tabi’in tidak selalu meriwayatkan dari sahabat, melainkan juga sering meriwayatkan hadis dari sesama tabi’in.
Adapun mursal sahabat; yaitu seorang sahabat yang meriwayatkan dari Rasulullah suatu hadis yang tidak didengarkan secara langsung, maka ia termasuk hadis shahih, karena kemungkinan besar bahwa seorang sahabat tersebut mendengar dari sahabat yang lain. Dan semua sahabat adalah adil; tidak perlu diteliti lagi soal ketsiqahannya.
Pada potongan bait yang kedua, al-Baiquny mendefinisikan istilah hadis gharib yang telah lalu penyebutannya dalam klasifikasi hadis dari sisi jumlah jalur periwatannya beserta istilah hadis aziz dan masyhur (silahkan dirujuk kembali). Hadis gharib adalah hadis dengan satu jalur periwayatan saja.
وَكُلُّ مَا لَمْ يَتَّصِلْ بِحَالِ           إِسْنَادُهُ مُنْقَطِعُ الْأَََََََوْصَالِ
Dan setiap hadis yang tidak bersambung, pada kondisi apapun
Sanadnya, maka ia adalah munqathi
Bait ini menjelaskan tentang hadis munqathi; ia adalah hadis yang sanadnya terputus, dengan jatuhnya seorang rawi, di mana pun keterputusannya itu. Namun seorang rawi yang jatuh tersebut tidak berada pada tingkat setelah tabi’in (mursal) dan tidak pada tingkat setelah muhaddis/mushannif kitab (mu’allaq), serta keterputusannya tidak lebih dari satu secara berturut-turut (mu’dhal).
وَالْمُعْضَلُ السَّاقـِطُ مِنْهُ اثْنَانِ            وَمَا أَتَى مُدَلَّسًا نَوْعَـانِ
Dan mu’dhal adalah yang terjatuh dari (sanad)nya dua (perawi)
Dan hadis mudallas ada dua macam

Pada potongan bait yang pertama, al-Baiquny mendefinisikan hadis mu’dhal; ia adalah hadis yang terjatuh dari sanadnya dua orang perawi secara berturut-turut. Ulama hadis menyebutkan dengan syarat “berturut-turut”, jika tidak maka ia tetap disebut munqhathi.
Pada potongan bait yang kedua, al-Baiquny memulai pembahasan hadis mudallas dengan hanya menyebutkan jumlah macamnya saja; yaitu dua. Keduanya didefinisikan dalam dua bait berikutnya.
اَلْأَوَّلُ الْإِسْقَاطُ لِلشَّيْخِ وَأَنْ           يَنْقُلَ عَمَّنْ فَوْقَهُ بِعَنْ وَأَنْ
Yang pertama adalah menjatuhkan seorang syaikh (guru) dan
Meriwayatkan dari orang yang diatasnya (syaikh) dengan ‘an dan an
Apa yang penulis sampaikan pada bait ini sebetulnya adalah definisi tadlis (perbuatannya), bukan hadis mudallas itu sendiri. Disebut hadis mudallas karena dalam sanadnya terdapat tadlis. Secara bahasa, tadlis berasal dari “dalas”, yang artinya bercampurnya perkataan atau gelap.[ Al-Tuhfah al-Zainiyyah, hal. 13] Adapun secara istilah akan disebutkan dalam setiap jenisnya.
Al-Baiquny menyebutkan dua saja dari macam-macam tadlis:
Pertama, seorang rawi mudallis menjatuhkan syaikh/guru yang diatasnya dan meriwayatkan dari orang yang diatas syaikhnya tersebut dengan lafadz penyimakan yang mengandung kemungkinan menerima langsung, atau tidak; seperti lafadz ‘an (dari), anna fulan qoola (bahwa si fulan berkata)
[Artinya bukan lafadz penyimakan yang secara jelas menyatakan sama’ (mendengar) atau menerima secara langsung, seperti “haddastanaa” atau “akhbarana”.], 
yang nota bene si syaikh yang diatas orang yang dijatuhkannya tersebut adalah syaikh si mudallis yang ia biasa mendengar hadis darinya.
Dalam ungkapan lain, si rowi mudallis meriwayatkan dari seorang syaikh yang ia biasa menerima hadis darinya, sebuah hadis yang dalam kesempatan itu sebenarnya tidak ia dengar langsung dari syaikhnya itu.
Tadlis macam yang pertama ini biasa disebut dengan tadlis isnad.
وَالثَّانِ لاَ يُسْقِطُهُ لَكِنْ يَصِفْ           أَوْصَافَهُ بِمَا بِهِ لاَ يَنْعَـرِفْ
Dan kedua tidak menjatuhkannya, akan tetapi mensifati
Sifat-sifatnya dengan yang tidak dikenal
Kedua, sorang rawi mudallis tidak menjatuhkan syaikh yang diatasnya sebagaimana macam tadlis yang pertama, akan tetapi menyebutkan syaikhnya tersebut dengan sifat yang tidak lazim dikenal orang. Yang dimaksud sifat disini adalah kunyahnya, atau nisbatnya atau laqabnya. Misalnya, syaikh tersebut terkenal dengan kunyah Abu Abdillah, namun karena suatu hal, si mudallis menggantinya dengan kunyah yang lain yang tidak terkenal misalnya Abu Muhammad.
Tadlis macam yang kedua ini biasa disebut tadlis syuyukh.
وَمَا يُخَالِفْ ثِقَةٌ فِيْهِ الْمَلاَ         فَالشَّاذُ وَالْمَقْلُوْبُ قِسْمَانِ تَلاَ
Dan (hadis) seorang tsiqah yang menyelisihi banyak orang
Ia disebut (hadis) syadz, dan (hadis) maqlub memiliki dua macam berikut

Pada bait ini, al-Baiquny menyebutkan definisi hadis syadz dan jumlah macam hadis maqlub, yang pada bait selanjutnya akan penulis sebutkan keduanya.
Adapun hadis syadz, al-Baiquny mendefinisikannya sebagai hadis yang diriwayatkan oleh rawi tsiqah, namun rawi tsiqah tersebut menyelisihi riwayat yang diriwayatkan oleh para perawi tsiqah lain yang lebih kuat, atau lebih banyak jumlahnya. Dan hadis syadz termasuk macam hadis dha’if.
Sementara hadis maqlub, ia ada dua macam:
إِبْدَالُ رَاوٍ مَا بِرَاوٍ قِسْمُ             وَقَلْبُ إِسْنَادٍ لِمَتْنٍ قِسْمُ
Mengganti salah seorang rawi hadis dengan rawi yang lain, ini macam (pertama)
Dan mengganti suatu sanad dengan matn yang lain, ini macam (kedua)
Pertama, terjadi pergantian seorang rawi yang terkenal meriwayatkan sebuah hadis dengan rawi lain yang satu thabaqah, yang tidak terkenal meriwayatkan hadis tersebut. Misalnya hadis yang terkenal dari rawi bernama Salim bin Abdillah bin Umar, kemudian diganti menjadi dari rawi bernama Nafi Maula Ibnu Umar.[Taqrib, Nawawi dangan syarhnya Tadrib al-Rawi, hal. 108]
Kedua, terjadi pergantian sebuah sanad bagi suatu matn dengan sanad lain yang bukan bagi matan tersebut.

===================

وَالْفَرْدُ مَا قَيَّدْتَـهُ بِثـِقَةِ         أَوْ جَمْعٍ اوْ قَصْرٍ عَلىَ رِوَايَةِ
Dan hadis fard (menyendiri) adalah yang engkau ikat dengan rawi tsiqah
Atau dengan jamaah, atau dengan pembatasan pada sebuah riwayat

Selanjutnya hadis fard, yang secara bahasa artinya menyendiri. Hadis fard terbagi dua. Pertama, fard mutlak; yaitu hadis yang diriwayatkan dengan satu jalur periwayatan. seorang rawi menyendiri dalam periwayatan hadis tersebut dan tidak ada yang menyepakatinya.
Kedua, fard nisbi; yaitu hadis yang kesendiriannya terkait dengan sisi tertentu. Sisi-sisi inilah yang diantaranya disebutkan al-Baiquny dalam bait diatas:
  • Rawi tsiqah: seperti jika dikatakan, “Hadis ini, tidak ada rawi tsiqah yang meriwayatkannya kecuali si fulan.” Hadis yang seperti ini disebut fard dari sisi perawi tsiqah, walaupun  hadis itu diriwayatkan oleh perawi-perawi lain, namun dhaif.
  • Jamaah: seperti dikatakan, “Hadis ini hanya diriwayatkan oleh penduduk Madinah.”
  • Terbatas pada periwayatan tertentu: seperti dikatakan, “Hadis ini, tidak ada perawi yang meriwayatkan dari si fulan kecuali si fulan.” Walaupun hadisnya sendiri masyhur dari jalur periwayatan perawi yang lain.
Istilah fard juga semakna dengan gharib. Namun dari sisi pemakaian, para ulama hadis lebih sering menggunakan istilah fard untuk yang muthlak, dan istilah gharib untuk yang nisbi.
وَمَا بِعِلَّةٍ   غُمُوْضٍ أَوْ خَفَا           مُعَلَّـلٌ عِنْدَهُمُ قَـدْ عُرِفَا
Dan hadis yang (terdapat padanya) ‘illah (kecacatan) yang samar atau tersembunyi
(disebut) mu’allal dalam istilah mereka (ahli hadis) telah diketahui

Pada bait ini, al-Baiquny menyebutkan istilah mu’allal, atau juga yang biasa dikenal oleh para ahli hadis dengan istilah ma’luul. Sebagainama yang terdapat pada redaksi Imam Bukhari dan Imam Tirmidzi, dan ini termasuk lahn (menyelisihi kaidah bahasa)[Taqriib, dengan syarh Tadrib Ar-Rawi, hal. 134].
Hadis mu’allal atau ma’lul adalah hadis yang padanya terdapat kecacatan (illah) yang mencacati hadis, yang bersifat tersembunyi, walaupun secara zahir hadis itu selamat dari kecacatan.[‘Ulum al-Hadis, hal. 116]
Jika kecacatan hadis mu’allal itu bersifat tersembunyi, maka bagaimanakah kecacatan tersebut dapat ditemukan oleh para ahli hadis? Para ahli hadis menemukan kecacatan itu dengan cara mengumpulkan semua jalur-jalur periwayatan yang ada terkait hadis tersebut dan membandingkan antara sebagian dengan sebagian yang lainnya. Dengan indikasi-indikasi (qarinah-qarinah) tertentu yang menunjukkan adanya kesalahan atau kecacatan setelah pengumpulan dan perbandingan itu, maka para ulama hadis menyatakan bahwa hadis tersebut dinyatakan mu’allal atau ma’lul.
Perlu diketahui bahwa ilmu ‘ilal (mengetahui ‘illah-‘illah hadis) hanya dikuasai oleh para huffadz dan Imam dari kalangan ahli hadis. Karena ia membutuhkan wawasan yang sangat luas terhadap jalur-jalur hadis yang banyak.
وَذُوْ اخْتِلاَفِ سَنَدٍ أَوْ مَتْنِ           مُضْطَرِبٌ عِنْدَ أُهَيْلِ الْفَنِّ
(hadis) yang padanya terdapat perselisihan dalam sanad atau matn
Adalah mudhtharib dalam istilah ahli ilmu hadis

Al-Baiquny selanjutnya menyebutkan istilah mudhtharib, yang secara bahasa artinya goncang. Ia adalah hadis yang terjadi perselisihan baik pada sanadnya atau matnnya atau keduanya dari seorang rawi atau lebih.
Gambarannya adalah ketika seorang perawi atau lebih meriwayatkan suatu hadis dengan bentuk lebih dari satu; misalnya suatu hadis diriwayatkan terkadang dengan peniadaan dan terkadang diriwayatkan dengan penetapan, atau terkadang dengan tambahan suatu lafadz terkadang tidak, atau terkadang diriwayatkan dengan maushul (bersambung) terkadang dengan mursal, dan seterusnya. Dengan catatan bahwa perselisihan itu (1) tidak mungkin untuk dikompromikan satu dengan yang lainnya (jama’) dan (2) tidak mungkin untuk dikuatkan salah satu dari yang lainnya (tarjih).
وَالْمُدْرَجَاتُ فِي الْحَدِيْثِ مَا أَتَتْ           مِنْ بَعْضِ أَلْفَـاظِ الرُّوَاةِ اتَّصَلَتْ
Dan mudraj dalam hadis adalah lafadz yang datang
Dari sebagian lafadz para perawi yang bersambung (dengan hadis)
Idraaj adalah salah satu bentuk tambahan kepada hadis yang bukan bagian dari hadis tersebut. Hadis yang dimasuki tambahan itu disebut mudraj. Yaitu ketika salah seorang perawi baik dari kalangan sahabat, tabi’in atau yang setelahnya menyertakan sebagian lafadz yang bukan lafadz Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tanpa ada pemisahan sehingga seolah-olah bagian dari hadis.
Idraj terdapat dalam matn dan sanad. Idraj dalam matn bisa terjadi di awal, di tengah atau di akhirnya. Dan yang di akhir adalah yang paling banyak terjadi. Diantara contoh untuk mudraj di awal adalah hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ketika beliau melihat sekelompok orang yang tidak menyempurnakan wudhu mereka, kemudian berkata, “Sempurnakanlah wudhu kalian” karena aku mendengar Nabi bersabda, “Celakahlah bagi yang bagian belakang kakinya tidak terbasuh karena neraka.”
Lafadz “Sempurnakanlah wudhu kalian” adalah perkataan Abu Hurairah. Akan tetapi sebagian para perawi menyertakan lafadz itu ke dalam bagian dari hadis.
وَمَا رَوَى كُلُّ قَرِيْنٍ عَنْ أَََخِهْ             مُدَبَّجٌ فَاعْرِفْهُ حَقٍّا وَانْتَخِهْ
Dan hadis yang diriwayatkan oleh setiap qarin dari saudaranya
Mudabbaj, ketahuilah dengan benar dan banggalah (karena mengetahuinya)
Pada bait ini disebutkan istilah mudabbaj. Sebelum mengetahui istilah ini, kita harus mengetahui terlebih dahulu istilah qarin. Qarin adalah teman dalam periwayatan yang setara dari sisi umur dan sanad atau dalam guru.[Taqrib, syarh Tadrib, vol. 2 hal. 141]
Ketika dua perawi qarin saling meriwayatkan satu sama lain, inilah yang disebut mudabbaj. Contohnya riwayat masing-masing dari Abu Hurairah dan Aisyah, atau riwayat masing-masing dari Imam Ahmad dan Imam Syafi. Penamaan mudabbaj diambil dari “diibaajatai al-wajh” (dua sisi wajah); yaitu kedua pipi, karena kesamaan keduanya.[Tuhfah Zainiyyah, hal. 15, Hawasyi al-Baiquniyyah, hal. 10]
Kata-kata al-Baiquny “dan banggalah (karena mengetahuinya)” adalah isyarat bahwa mengetahui mudabbaj memiliki faidah tersendiri; yaitu selamat dari sangkaan adanya tambahan dalam sanad.
مُتَّفِقٌ لَفْظًا وَخَطًّا مُتَّفِقْ           وَضِدُّهُ فِيْمَا ذَكَرْنَا الْمُفْتَرِقْ
Muttaafiq (sama) dari sisi lafadz dan khath (cara penulisan) disebut muttafiq
Dan kebalikan dari apa yang telah kami sebutkan (muttafiq) adalah muftariq

Bait ini menyebutkan tentang istilah muttafiq dan muftariq. Keduanya adalah istilah yang menjadi satu kesatuan dalam hal mengenal nama-nama, nasab-nasab atau yang lainnya dari para perawi hadis. Muttafiq dan muftariq adalah nama rawi yang sama (muttafiq) dari sisi lafadz dan cara penulisannya, namun berbeda (muftariq) dari sisi orangnya. Seperti nama al-Khalil bin Ahmad. Ada enam orang perawi dengan nama ini.
مُؤْتَلِفٌ مُتَّفِقُ الْخَطِّ فَقَطْ              وَضِدُّهُ مُخَتَلِفٌ فَاخْشَ الْغَلَطْ
Mu’talif adalah yang sama dari sisi cara penulisan (khath) nya saja
Dan kebalikannya mukhtalif, hendaklah khawatir dari kekeliruan
Bait ini menyebutkan istilah mu’talif dan mukhtalif yang juga istilah yang menjadi satu kesatuan seperti istilah muttafiq dan muftariq. Mu`talif dan mukhtalif adalah nama atau yang lainnya (nasab, nama bapak dll) yang sama (mu`talif) dari sisi cara penulisannya saja, sementara dalam hal lainnya berbeda (mukhtalif). Contohnya nama سلّام Sallaam (dengan mentasydidkan huruf lam) dengan Salaam  سلام (dengan tanpa tasydid).
=============================
وَالْمُنْكَرُ الفَرْدُ بِهِ رَاوٍ غَدَا           تَعْدِيْلـُهُ لاَ يَحْمِلُ التَّفَرُّدَا
Munkar adalah hadis yang menyendiri seorang rawi dengannya, dalam kondisi
Keadilannya tidak mencapai derajat rawi yang pantas menyendiri
Munkar, menurut kebanyakan para ahli ilmu adalah hadis yang seorang rawi menyendiri sementara rawi tersebut bukanlah orang yang pantas menyendiri dalam riwayat seperti ini. Menyendiri maksudnya adalah hadis yang ia riwayatkan itu tidak dikenal dari para perawi yang lain, baik dari jalur periwayatan ia sendiri atau dari jalur periwayatan yang lain.
Dari definisi ini, munkar memiliki kaitan yang erat dengan gharib dan fard. Bedanya hanyalah istilah munkar khusus untuk yang salah satu perawinya adalah orang yang tidak mencapai derajat rawi yang pantas/boleh menyendiri dalam periwayatan tersebut.
Inilah pendapat yang dianut oleh al-Baiquny. Definisi lain menyebutkan bahwa munkar adalah riwayat seorang rawi yang dha’if, dan pada saat yang sama bertentangan dengan riwayat rawi yang tsiqah. Dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Hajar dalam Nukhbah al-Fikar.
Diantara contoh hadis munkar adalah: hadis dari Hammam bin Yahya, dari Ibnu Juraij, dari Az-Zuhriy, dari Anas ia berkata, “Jika Rasulullah masuk WC, maka beliau melepaskan cincinnya.”
Abu Dawud berkata, “Hadis ini munkar, hadis ini lebih dikenal dari jalur Ibnu Juraij, dari Ziyad bin Sa’ad, dari Az-Zuhriy, dari Anas, “Bahwa Nabi memakai cincin dari daun kemudian membuangkan.” Dan wahm (kekeliruan) dalam hadis itu dari Hammam, dan tidak meriwayatkannya kecuali Hammam.”[Syarh Nuhkbah Al-Fikar, Thariq bin Awadhullah bin Muhammad, hal. 155]
مَتْرُوْكُهُ مَا وَاحِدٌ بِهِ انْفَرَدْ           وَاجْتَمَعُوْا لِضَعْفِهِ فَهُوَ كَرَدْ
Yang matruk (dari hadis) adalah yang seorang rawi menyendiri
Dan mereka (para ulama hadis) sepakat atas kedhaifannya, maka ia tertolak
Matruk adalah hadis yang diriwayatkan secara menyendiri oleh seorang rawi yang para ulama ahli hadis sepakat atas kedha’ifannya, baik karena rawi tersebut adalah orang yang tertuduh suka berdusta, atau seorang yang fasik, atau sering lalai dan melakukan kekeliruan. Dari kata-kata “sepakat atas kedha’ifannya” maka riwayat seorang rawi yang tidak dhaif bukan hadis matruk, dan riwayat seorang rawi yang diperselisihkan kedhaifannya juga bukan hadis matruk.
Hadis matruk ini hukumnya seperti hadis yang tertolak atau palsu (maudhu). Maksudnya hadis matruk seperti hadis palsu dalam ketertolakannya, namun ia lebih ringan darinya.
وَالْكَذِبُ الْمُخْتَلَقُ الْمَصْنُوْعُ           عَلَى النَّبِيِّ فَهُوَ الْمَوْضُوْعُ
Dan (hadis) yang dusta, dibuat dan palsu
Atas Nabi, maka ia adalah hadis maudhu
Terakhir dari nadzm al-Baiquny ini adalah hadis maudhu’. Disebut maudhu’ karena derajatnya yang sangat rendah. Ia adalah hadis dusta dan palsu yang dibuat atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dusta yang dimaksud dalam definisi hadis mudhu adalah dusta yang dilakukan dengan sengaja, atau tidak.
Imam Suyuthi berkata, “Hadis maudhu ada dua macam: pertama, dilakukan secara sengaja. Ini dilakukan oleh para pendusta. Kedua, terjadi karena kesalahan, bukan karena kesengajaan. Ini dilakukan oleh para perawi yang mukhtalith dan mudhtarib (sering keliru) dalam hadis.[Al-Fatawa, hal. 2/9, Syarh Nukhbah, Thariq bin Awadhullah, hal. 273]
Dengan berakhirnya pembahasan maudhu, maka berakhir pula materi ilmu musthalah hadis yang dibahas dalam nadzm yang sangat ringkas ini. Sebagai penutup, al-Baiquny kemudian berkata:
وَقَدْ أَتَتْ كَالْجَوْهَرِ الْمَكْنُوْنِ           سَمَّيْتُهَا مَنْظُوْمَةَ الْبَـيْقُوْنِي
Dan bait-bait ini telah datang bagaikan mutiara yang tersembunyi
Saya namai dengan mandzumah al-baiquny
فَوْقَ الثَّلاَثِيْـنَ بِأَرْبَعٍ أَتَتْ           أَبْيَاتُهَا ثُمَّ بِخَيْرٍ خُتِمَتْ
Datang dengan tigapuluh empat
Baitnya, kemudian dengan kebaikan ia ditutup
Demikianlah syarah ringkas ini selesai ditulis –dengan keutamaan dari Allah-. Mudah-mudahan Allah senantiasa menerima amal-amal shaleh kita, mengampuni kesalahan-kesalahan dan kekeliruan-kekeliruan kita, sesungguhnya Allah Mahamendengar dan Mahamengabulkan permohonan.
Wallahu ‘alam, wa Shallallahu wa sallama wa baaraka ‘alaa Muhammadin wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa man tabi’ahu bi ihsaanin ilaa yaumiddin.

0 comments:

Post a Comment

 
Pusat Kajian Hadits © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top