Dari ‘Ubâdah bin ash-Shâmit[1] Radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ شَهِدَ أَنْ لَاإِلٰـهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ ، وَأَنَّ مُـحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ، وَأَنَّ عِيْسَى عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوْحٌ مِنْهُ ، وَالْـجَـنَّـةَ حَـقٌّ ، وَالنَّارَ حَـقٌّ ، أَدْخَلَهُ اللهُ الْـجَنَّـةَ عَلَى مَا كَانَ مِنَ الْعَمَلِ.
Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allâh saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya; dan bahwa ‘Isa adalah hamba Allâh dan Rasul-Nya dan kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam serta ruh dari-Nya; dan bahwa surga adalah benar adanya dan neraka adalah benar adanya, maka Allâh pasti memasukkannya ke dalam surga bagaimanapun amal yang telah diperbuatnya.
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh:
Ahmad, V/313
Al-Bukhâri, no. 3435
Muslim, no. 28 [46]
An-Nasâ`i dalam Amalul Yaum wal Lailah, no. 1138, 1139
Abu ‘Awanah, I/9
Ibnu Mandah dalam Kitab al-Îmân, no. 44
Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, no. 55
Al-Bazzar dalam Musnad-nya, no. 2682, 2695
Ath-Thabrani dalam Kitab ad-Du’a, no. 1476
SYARAH HADITS
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ شَهِدَ أَنْ لَاإِلٰـهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ
Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allâh saja
Yaitu orang yang mengucapkan syahadat dengan mengetahui maknanya, meyakininya, dan mengamalkan konsekuensinya secara lahir dan batin. Karena tidak cukup hanya dengan melafazhkan syahadat saja tanpa mengetahui maknanya. Begitu juga mengucapkan syahadat dengan mengetahui maknanya, tetapi tidak mengamalkan konsekuensinya, maka ini juga tidak cukup. Yang wajib adalah mengucapkan, mengetahui, meyakini dan mengamalkan konsekuensi kalimat yang agung ini, yaitu dengan mengesakan Allâh dalam beribadah dan meninggalkan peribadahan kepada selain Allâh. Inilah makna syahadat Lâ ilâha illallâh.
Jika seseorang tidak mengucapkan kalimat syahadat tersebut, maka dia tidak dihukumi Islam, walapun ia mengetahuinya dengan hatinya dan beribadah kepada Allâh dalam amalannya, akan tetapi dia enggan untuk mengucapkan kalimat syahadat. Seseorang tidak dihukumi sebagai seorang Muslim, sampai ia mengucapkan kalimat syahadat, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَيُقِيْمُوْا الصَّلَاةَ، وَيُؤْتُوْا الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوْا ذٰلِكَ عَصَمُوْا مِنِّيْ دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ تَعَالَى.
Aku diperintah memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allâh dan bahwa Muhammad adalah utusan Allâh, mendirikan shalat, dan membayar zakat. Jika mereka melaksanakan hal tersebut, maka darah dan harta mereka terlindungi dariku, kecuali dengan hak Islam dan hisab (perhitungan) mereka diserahkan kepada Allâh”[2]
Begitu juga orang yang mengucapkan kalimat syahadat dengan lisannya tetapi dia tidak meyakini dengan hatinya, maka ia juga bukan seorang Muslim, tetapi seorang munafik. Orang munafik mengucapkan kalimat Lâ ilaha illallâh tetapi mereka berada di neraka yang paling bawah. Mengapa? Karena mereka tidak meyakini maknanya.
Termasuk, para penyembah kubur, mereka mengucapkan kalimat Lâ ilaha illallâh dengan lisan, tetapi mereka tidak mengamalkan konsekuensinya. Mereka menyembah kubur serta berdoa kepada para wali dan orang-orang shalih. Mereka mengikrarkan lafazh kalimat syahadat tetapi menyelisihi maknanya, tidak jauh berbeda dengan orang musyrik yang mengingkari lafazh dan maknanya. Begitu juga orang munafik yang melafazhkan kalimat syahadat tetapi tidak mengimaninya dengan hati mereka. Mereka hampir sama, namun orang munafik lebih jelek dari orang kafir. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا
Sungguh, orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” [An-Nisâ`/4:145]
Kesimpulannya, bahwa kalimat Lâ ilâha illallâh merupakan kalimat yang agung, harus dipenuhi tiga hal berikut:
Mengucapkannya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sudah disebutkan di atas.
Mengetahui maknanya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ
Maka ketahuilah bahwa tiada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) selain Allâh … [Muhammad/47:19]
Mengamalkan konsekuensinya.
Makna yang benar dari kalimat Tauhid لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ (Lâ ilâha illallâh) adalah Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allâh.”
Kalimat syahadat lâ ilâha illallâh memiliki dua rukun: yaitu al-itsbât (penetapan) dan an-nafyu (peniadaan).
Lafazh lâ ilâha berarti peniadaan atau penolakan (an-nafyu) terhadap segala ilah (sesembahan) selain Allâh.
Dan lafazh illallâh berarti penetapan (al-itsbât) bahwa segala bentuk ibadah (penghambaan) itu hanya bagi Allâh semata, tidak ada sesuatu apa pun yang boleh dijadikan sebagai sekutu dalam peribadahan kepada-Nya.
Konsekuensi dari dua rukun tersebut, yaitu seorang Muslim yang sudah mengucapkan kalimat tauhid ini wajib menolak dan mengingkari semua yang disembah selain Allâh. Dan ia pun wajib menetapkan bahwa satu-satunya yang benar dan yang wajib diibadahi hanya Allâh saja. Semua yang disembah dan diibadahi selain Allâh adalah bathil. Kita wajib beribadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla , tidak kepada selain-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
Demikianlah (kebesaran Allâh) karena Allâh, Dia-lah (Tuhan) Yang Haqq (untuk diibadahi). Dan apa saja yang mereka ibadahi selain Dia, itulah yang bathil. Dan sungguh Allâh, Dia-lah Yang Mahatinggi, Mahabesar.” [Al-Hajj/22:62]
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ “Allâh saja, tidak ada sekutu bagi-Nya.” Kalimat wahdahu merupakan penekanan al-itsbât dan kalimat la syarika lahu merupakan penekanan an-nafyu. Jadi kedua kalimat tersebut merupakan penekanan untuk kalimat Lâ ilâha illallâh, karena mengandung al-itsbât dan an-nafyu.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Jika seorang Mukmin bersaksi dengan kalimat tauhid, mengetahui maknanya dan hakikatnya dari segi nafyu dan itsbât, melaksanakan tuntutan (konsekuensi)nya, serta hati, lisan dan anggota badannya melaksanakan syahadat tersebut, maka kalimat yang baik inilah yang mengangkat amalan tersebut. Pangkalnya tertanam kuat dalam hati dan akarnya sampai ke langit, ia mengeluarkan buahnya setiap saat.”[3]
Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata, “Kalimat yang agung ini tidak akan membuahkan manfaat bagi pemeluknya kecuali apabila ia memenuhi syarat-syarat kalimat lâ ilâha illallâh yang tersebut dalam al-Kitab dan as-Sunnah. Allâh Azza wa Jalla telah menyebutkan dalam surah Barâ`ah (at-Taubah) dan surat yang lain tentang orang-orang yang mengucapkan kalimat ini tapi ucapan mereka tidak bermanfaat sama sekali, sebagaimana keadaan kaum ahli kitab dan orang-orang munafik dengan segala macamnya. Kalimat tersebut tidak memberikan manfaat kepada mereka karena mereka tidak mengamalkan syarat-syaratnya.
Di antara mereka ada yang mengucapkannya tapi dia tidak mengetahui kandungan kalimat ini yaitu berupa penolakan terhadap kesyirikan, berlepas dari kesyirikan tersebut, serta jujur dan ikhlas. Ini menyebabkan mereka tidak bisa menerima orang-orang yang mendakwahkan kalimat ini dengan ilmu dan amal, dan menyebabkan mereka tidak mau tunduk atau patuh untuk mengamalkan kandungannya sebagaimana keadaan kebanyakan manusia yang mengucapkannya sejak zaman dahulu maupun sekarang, akan tetapi kasus ini di zaman sekarang lebih banyak.
Di antara mereka ada yang terhalang dari mencintai dan mengamalkan kalimat ini oleh sifat sombong dan hawa nafsunya.
Adapun orang-orang yang beriman dengan iman yang murni, mereka mengucapkannya dan mengamalkan syarat-syaratnya, baik dalam keilmuan, keyakinan, kejujuran, keikhlasan, kecintaan, penerimaan, dan ketundukan. Mereka memusuhi atas dasar kalimat ini, loyal di atas kalimat ini, mencintai karenanya dan membenci karenanya.”[4]
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.
Ini menunjukkan bahwa tidak cukup hanya syahadat Lâ ilâha illallâh, tetapi harus diiringi dengan syahadat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam Rasûlullâh. Jika seseorang bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allâh tetapi ia enggan bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasûlullâh, maka ia belum masuk ke dalam agama Islam. Karena keduanya harus beriringan. Sebagaimana dalam adzan, iqamah, khutbah, jika ada kalimat Lâ ilâha illallâh, maka syahadat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam Rasûlullâh pasti juga masuk ke dalamnya.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.” Ungkapan ini merupakan bentuk penafian (penolakan) terhadap prilaku ifrâth (berlebihan) dan tafrîth (menyepelekan) terhadap Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kata “hamba-Nya” yang terdapat dalam syahadat di atas merupakan bentuk penolakan terhadap prilaku berlebih-lebihan dalam hak Rasul dengan memberi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam salah satu hak Rubûbiyyah. Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba Allâh yang tidak memiliki hak Rubûbiyyah sedikitpun. Allâh Azza wa Jalla menyebutkan Beliau sebagai hamba yang memiliki kedudukan paling mulia.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba yang tidak boleh diibadahi dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang Rasul yang tidak boleh didustakan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam harus ditaati dan diikuti. Orang-orang yang meminta kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , misalnya, meminta agar dimenangkan saat melawan musuh, meminta dipenuhi kebutuhannya, dimudahkan kesulitannya, berarti mereka telah mengangkat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke derajat ulûhiyyah –wal ‘iyâdzu billâh. Mereka tidak mengikrarkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hamba Allâh, bahkan mereka menjadikan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sekutu Allâh dalam rubûbiyyah dan ulûhiyyah. Padahal Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تُطْرُوْنِيْ كَمَـا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ ، إِنَّـمَـا أَنَا عَبْدٌ ، فَقُوْلُوْا : عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ.
Janganlah kamu berlebih-lebihan memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji (‘Isa) putera Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah, ‘‘Abdullah wa Rasûluhu’ (Hamba Allâh dan Rasul-Nya).[5]
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “dan Rasul-Nya.” Potongan kalimat ini merupakan bantahan terhadap orang yang meremehkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Yaitu mereka yang tidak mendudukkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai kedudukannya, dengan mengingkari kerasulan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau mereka mengakui kerasulan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak mengikuti Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan benar. Mereka tidak mengakui Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Rasûlullâh.
Syahadat mereka itu bisa jadi batal atau kurang. Batal, jika mereka tidak mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama-lamanya. Dan kurang, jika mereka mengikuti Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada sebagian perkara dan menyelisihi Beliau pada perkara yang lain karena mengikuti hawa nafsu dan syahwat mereka.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَأَنَّ عِيْسَى عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوْحٌ مِنْهُ
Dan bahwa ‘Isa adalah hamba Allâh dan Rasul-Nya dan kalimat-Nya yang disampaikannya kepada Maryam serta ruh dari-Nya.
Beliau adalah ‘Isa bin Maryam. Allâh Azza wa Jalla menciptakannya dari seorang ibu tanpa ayah. Ini untuk menunjukkan kepada manusia bahwa Allâh Azza wa Jalla berkuasa atas segala sesuatu.
Kisah Maryam yang Allâh Azza wa Jalla sebutkan dalam al-Qur`an yaitu dia tumbuh dari rumah yang baik, rumah ibadah. Ayahnya wafat ketika dia masih kecil, kemudian diasuh oleh Nabi Zakaria q karena bibinya merupakan isteri Zakaria Alaihissallam.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, “Dan bahwa ‘Isa adalah hamba Allâh dan Rasul-Nya.” Ini merupakan bantahan terhadap kaum Yahudi dan Nashrani. Bantahan terhadap Yahudi, karena mereka mengingkari kerasulan ‘Isa Alaihissallamdan menuduhnya dengan tuduhan dusta –wal ‘iyâdzu billâh-. Mereka mengatakan bahwa ‘Isa Alaihissallamadalah anak zina. Semoga Allâh Azza wa Jalla menjelekkan dan menghinakan mereka. Mereka berusaha untuk membunuh Nabi ‘Isa Alaihissallam, tetapi Allâh menyelamatkannya dan mengangkatnya.
Dalam potongan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini juga terdapat bantahan terhadap kaum Nashrani yang tidak menetapkan ‘Isa Alaihissallam sebagai hamba Allâh. Mereka mengaku bahwa Isa adalah anak Allâh, salah satu dari tuhan yang tiga, atau bahkan mengatakan bahwa Isa itu adalah Allâh. Tiga perkataan mereka yang Allâh sebutkan dalam al-Qur`an:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ
Sungguh, telah kafir orang yang berkata, ‘Sesungguhnya Allâh itu dialah al-Masih putra Maryam…’” [Al-Mâ`idah/5:17]
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ
Sungguh, telah kafir orang-orang yang mengatakan bahwa Allâh adalah salah satu dari yang tiga…” [Al-Mâ`idah/5:73]
وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ
dan orang-orang Nasrani berkata, ‘Al-Masih putra Allâh [At-Taubah/9:30]
Perkataan mereka itu kufur dan mereka adalah orang-orang kafir. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ ۖ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ ۖ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ ﴿٧٢﴾ لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ ۘ وَمَا مِنْ إِلَٰهٍ إِلَّا إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۚ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Sungguh, telah kafir, orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya Allâh itu dialah al-Masih putra Maryam.” padahal al-Masih (sendiri) berkata, “Wahai Bani Israil! Beribadahlah kepada Allâh, Rabbku dan Rabbmu.” Sesungguhnya barangsiapa mempersekutukan (sesuatu dengan) Allâh, maka sungguh, Allâh mengharamkan surga baginya, dan tempatnya ialah neraka. Dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang zhalim itu. Sungguh, telah kafir orang-orang yang mengatakan bahwa Allâh adalah salah satu dari yang tiga, padahal tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Allâh Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa adzab yang pedih.” [Al-Mâ`idah/5:72-73]
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya, “dan kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam.” Kalimat yang dimaksudkan adalah firman Allâh kepada ‘Isa Alaihissallam, “كُنْ” (Jadilah). Karena ‘Isa Alaihissallamtercipta tanpa bapak, tetapi beliau tercipta dengan kalimat kun (jadilah), bukan berarti ‘Isa Alaihissallamadalah kalimat tersebut. Nabi ‘Isa Alaihissallamdinamakan kalimat karena beliau diciptakan dengannya, berbeda dengan manusia lain yang tercipta dari bapak dan ibu. Sebagaimana yang Allâh Azza wa Jalla firmankan juga perihal Adam:
إِنَّ مَثَلَ عِيسَىٰ عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ ۖ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa bagi Allâh, seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah, kemudian Dia berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu. [Ali ‘Imrân/3:59]
Jika kalian heran dengan proses penciptaan ‘Isa Alaihissallam yang dilahirkan dari seorang ibu tanpa bapak dan tercipta dengan kalimat kun (jadilah), maka bagaimana kalian tidak takjub dengan proses penciptaan Nabi Adam Alaihissallam yang diciptakan dari tanah tanpa ibu dan bapak, tetapi dengan kalimat kun (Jadilah). Jadi, sebenarnya, tidak ada yang aneh dengan kekuasaan Allâh Azza wa Jalla.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, “serta ruh dari-Nya.” Maksudnya adalah ‘Isa Alaihissallam tercipta dari ruh yang Allâh Azza wa Jalla ciptakan, bukan dari ruh atau dzat Allâh.
Kata مِنْهُ di atas berarti permulaan, artinya ruh itu bermula (tercipta) dari Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana jika kita mengatakan bahwa rezeki itu dari Allâh, artinya rezeki kita itu datang dari Allâh Azza wa Jalla dengan memberi kita kemudahan untuk meraihnya dan Allâh juga yang telah menciptakan rezeki itu buat kita. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ
Dan Dia menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untukmu semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya.” [Al-Jâtsiyah/45:13]
Maknanya, yaitu hal tersebut didapat, diturunkan, dan tercipta dari Allâh Azza wa Jalla .
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَالْـجَـنَّـةَ حَـقٌّ ، وَالنَّارَ حَـقٌّ
dan surga adalah benar adanya dan neraka adalah benar adanya
Yaitu bersaksi bahwa surga dan neraka adalah benar. Keduanya adalah tempat yang sudah ada, sudah diciptakan, kekal dan tidak fana. Surga untuk orang yang bertakwa dan neraka untuk orang kafir.
Sebagaimana yang disebutkan, bahwa tempat tinggal itu ada tiga:
Pertama, dunia yang merupakan tempat beramal dan berusaha.
Kedua, alam barzakh, yaitu alam kubur, antara dunia dan akhirat. Al-Barzakh maknanya yaitu pemisah, kehidupan dalam kubur. Dinamakan al-hayâh al-barzakhiyyah (kehidupan alam kubur), di dalamnya ada hal-hal luar biasa, ada nikmat atau adzab, bisa jadi kubur tersebut menjadi salah satu dari lubang neraka atau salah satu taman surga. Orang yang sudah mati akan tetap berada dalam kuburnya sampai Allâh Azza wa Jalla membangkitkan mereka dan pengumpulan mereka untuk hisâb (perhitungan) dan jazâ` (balasan) amalan.
Ketiga, darul jazâ`, yang merupakan hari kiamat, surga atau neraka. Tempat ini kekal, tidak fana dan tidak akan musnah selama-lamanya. Jika seseorang beriman bahwa dua tempat ini ada, maka keimanan tersebut akan memotivasinya melakukan amal shalih dan bertaubat dari dosa-dosa dan kesalahannya.
Jika ia yakin bahwa surga itu ada dan dia juga yakin bahwa surga itu tidak bisa dimasuki kecuali dengan amal shalih, maka dia akan beramal. Jika ia yakin bahwa neraka itu ada akan menjadi tempat bagi para pelaku maksiat, orang kafir dan pelaku keburukan, maka dia akan berhati-hati dari hal tersebut, menjauhinya dan bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla.
Jadi, beriman kepada hari akhir, surga, dan neraka akan membawa seorang hamba untuk melakukan amal shalih serta bertaubat dari dosa-dosa dan kesalahan yang pernah dilakukannya.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَدْخَلَهُ اللهُ الْـجَنَّـةَ عَلَى مَا كَانَ مِنَ الْعَمَلِ
maka Allâh pasti memasukkannya ke dalam surga bagaimanapun amal yang telah diperbuatnya.
Ini merupakan janji dari Allâh Azza wa Jalla bagi ahlut tauhid. Allâh Azza wa Jalla akan memasukkan mereka ke dalam surga. Ahlut tauhid yaitu orang-orang yang :
bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allâh
bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya
bersaksi bahwa ‘Isa adalah hamba Allâh dan Rasul-Nya dan kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam serta ruh dari-Nya
bersaksi bahwa surga adalah benar adanya dan neraka adalah benar adanya.
Mereka ini adalah ahlut tauhid yang Allâh Azza wa Jalla berjanji akan memasukkan mereka ke dalam surga. Ini merupakan keutamaan tauhid. Dia bisa menjadi sebab masuk surga.
Kemudian, apa makna “bagaimanapun amal yang telah diperbuatnya”?
Tentang kalimat ini, ada dua perkataan ahli ilmu:
Pertama, Allâh pasti memasukkannya ke dalam surga bagaimanapun amal yang telah diperbuatnya, yaitu walaupun ia memiliki keburukan-keburukan selain syirik. Itu tidak menjadi penghalang antara dia dengan surga, baik di awal maupun di akhir. Maka di sini juga terdapat keutamaan tauhid, yaitu tauhid dapat menghapus dosa dengan izin Allâh dan mencegah seseorang dari kekal di dalam neraka.
Kedua, Allâh Azza wa Jalla pasti memasukkannya ke dalam surga bagaimanapun amal yang telah diperbuatnya, yaitu dia masuk surga dan kedudukannya di surga sesuai dengan amalan yang diperbuatnya. Karena penghuni surga berbeda-beda kedudukan mereka sesuai amalan mereka. Di antara mereka ada yang di surga paling tinggi, ada juga yang di bawah itu. Surga itu bertingkat-tingkat, begitu juga neraka. Adapun neraka merupakan tempat yang paling rendah dan surga merupakan tempat yang paling tinggi.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ مِائَةَ دَرَجَةٍ، أَعَدَّهَا اللهُ لِلْمُجَاهِدِيْنَ فِي سَبِيْلِهِ، كُلُّ دَرَجَتَيْنِ مَا بَيْنَهُمَا كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
Sesungguhnya di surga itu ada seratus derajat (tingkat) yang Allâh persiapkan untuk orang yang berjihad di jalan-Nya, yang jarak diantara dua tingkat itu seperti antara langit dan bumi.[6]
Hadits tersebut menunjukkan bahwa surga bertingkat-tingkat, dan manusia tinggal di sana sesuai dengan amalan mereka. Wallâhu a’lam.
FAWAA’ID:
Kalimat syahadat adalah persaksian dengan menghadirkan hati, meyakini dan mengetahui hakikat yang ia persaksikan.
Orang yang bersaksi لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ , maka dia wajib meyakini bahwa tidak ada yang berhak diibadhi dengan benar kecuali hanya Allâh saja.
لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ mempunyai dua rukun yaitu an-nafyu dan al-itsbât.
An-nafyu artinya menafikan (menolak dan mengingkari) semua yang disembah selain Allâh. Adapun al-itsbât yaitu menetapkan seluruh bentuk ibadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla saja.
Syahadat (persaksian) Lâ Ilâha Illallâh yaitu mengucapkan Lâ Ilâha Illallâh dengan mengetahui maknanya serta mengamalkan konsekuensinya, baik secara lahir maupun batin.
Yang dituntut dari kalimat Lâ Ilâha Illallâh (لاَإِلٰـهَ إِلاَّ الله) adalah menafikan atau mengingkari kesyirikan serta mengikhlaskan perkataan serta perbuatan hanya untuk dank arena Allâh Azza wa Jalla , baik itu perkataan hati dan lisan, serta perbuatan hati dan anggota badan.
Kalimat Lâ Ilâha Illallâh merupakan kalimat yang agung, harus dipenuhi tiga hal berikut: mengucapkannya, mengetahui maknanya, dan mengamalkan konsekuensinya.
Dalam kalimat syahadat mengandung pernyataan berlepas diri dari agama orang musyrik.
Berlepas diri dari agama Yahudi dan Nasrani, karena orang Yahudi mengingkari ‘Isa dan orang Nasrani berlebih-lebihan terhadap Nabi ‘Isa Alaihissallamsampai menjadikannya sebagai tuhan. Dan juga, Yahudi dan Nasrani keduanya kafir terhadap Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Berlepas diri dari tiga agama;
– (1) agama kaum musyrikin, yaitu dengan syahadat Lâ Ilâha Illallâh dan Muhammad Rasûlullâh
– (2) agama yahudi dan
– (3) agama nasrani, keduanya dengan bersaksi bahwa ‘Isa adalah hamba Allâh dan Rasul-Nya.
Wajib berlepas diri dari seluruh golongan kafir dan kaum musyrikin yang menyembah selain Allâh Azza wa Jalla .
Keutamaan tauhid, yaitu dengan tauhid yang dimiliki seseorang, Allâh Azza wa Jalla menghapus dosa-dosanya.
Luasnya keutamaan dan kebaikan Allâh Azza wa Jalla .
Hadits ini sebagai bantahan terhadap kelompok sesat Murji`ah yang mengatakan bahwa mengucapkan syahadat saja sudah cukup untuk dikatakan beriman. Menurut mereka, amal tidak masuk iman.
Wajib bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba Allâh dan utusan-Nya dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi dan Rasul yang terakhir.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba yang tidak boleh disembah dan Rasul yang tidak boleh didustakan.
Setiap Muslim dan Muslimah wajib taat kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , menjauhi larangan-larangannya, membenarkan semua yang disampaikan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat-riwayat yang shahih.
Kaum Muslimin wajib beribadah kepada Allâh menurut syari’at yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Kaum Muslimin tidak boleh mengadakan sesuatu yang baru dalam agama yang tidak dicontohkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Orang yang mengucapkan syahadat Muhammad Rasûlullâh maka dia wajib mencintai Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Konsekuensi cinta kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu ittiba’ (mengikuti syari’at) dan ibadah yang dicontohkan oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tidak boleh berbuat syirik dan bid’ah karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang.
Wajib menjauhi sikap ifrâth (berlebihan) dan tafrîth (menyepelekan) pada Nabi-nabi dan orang shalih. Kita tidak boleh mengingkari keutamaan mereka, namun juga tidak berlebihan terhadap mereka sampai memalingkan ibadah yang seharusnya hanya untuk Allâh Azza wa Jalla dialihkan untuk mereka.
Nabi ‘Isa Alaihissallamadalah hamba Allâh dan Rasul-Nya.
Nabi ‘Isa Alaihissallambukan tuhan dan bukan pula anak tuhan.
Orang Yahudi dan Nasrani setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, maka mereka wajib masuk ke dalam agam Islam. Jika tidak, maka mereka kafir dan pasti masuk neraka dan kekal di dalamnya.
Nabi ‘Isa Alaihissallamdiciptakan oleh Allâh Azza wa Jalla tanpa ayah, Beliau diciptakan dengan kalimat كُنْ (jadilah).
Nabi ‘Isa Alaihissallamdiciptakan dari ruh-ruh yang Allâh ciptakan.
Setiap Muslim wajib meyakini bahwa surga dan neraka itu adalah benar.
Setiap Muslim wajib meyakini tentang adanya hari Kiamat, hari dibangkitkan seluruh makhluk menuju Allâh Azza wa Jalla .
Surga dan neraka sudah diciptakan dan sudah ada sekarang.
Setiap Muslim dan Muslimah wajib mentauhidkan Allâh dan menjauhkan syirik serta melakukan amal-amal shalih dengan ikhlas dan ittiba’ agar ia dimasukkan ke surga dengan rahmat Allâh.
Setiap Muslim dan Muslimah wajib menjauhkan perbuatan dosa dan maksiat, karena semua itu bisa menyeretnya ke neraka.
Wajib bertaubat kepada Allâh atas semua dosa dan maksiat.
Orang yang bertauhid kepada Allâh dengan yakin, jujur, dan ikhlas akan dimasukkan ke surga meskipun amalnya sedikit.
Wallaahu a’lam.
MARAAJI’:
Kutubus sittah.
I’lâmul Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamiin, Imam Ibnul Qayyim, tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman.
Qurrotu ‘Uyûnil Muwahhidîn, Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan.
Fat-hul Majîd li Syarhi Kitâbit Tauhîd, Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan.
Al-Qaulul Mufîd ‘ala Kitâbit Tauhîd, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.
I’ânatul Mustafîd, Syaikh Shalih al-Fauzan.
Al-Mulakhkhash fii Syarhi Kitâbit Tauhîd, Syaikh Shalih al-Fauzan.
Dan kitab lainnya.
Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIX/1437H/2016M.]
_______
Footnote
[1] Beliau adalah ‘Ubâdah bin ash-Shâmit al-Anshâri al-Khazraji Abu Walid, salah seorang pembesar dan pejuang Perang Badar yang terkenal. ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu mengirim beliau ke negeri Syam untuk mengajarkan agama di sana. Beliau adalah orang yang pertama kali menjabat sebagai qadhi (hakim) di Palestina. Beliau wafat di ar-Ramalah pada tahun 34H.
[2] Shahih: HR. Al-Bukhari, no. 25; Muslim, no. 22; Ibnu Mandah dalam Kitâbul Îmân, no. 25; Ibnu Hibban, no. 175, 219—at-Ta’liiqaatul Hisaan); ad-Daraquthni, I/512, no. 886; al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra (III/92, 367, VIII/177), dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, no.33
[3] I’lâmul Muwaqqi’iin (II/300), tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman
[4] Qurrotu ‘Uyûnil Muwahhidiî, hlm. 21
[5] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 3445
[6] HR. Al-Bukhâri, no. 7423
0 comments:
Post a Comment