عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إنِّي لَا أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلَا جُنُبٍ. رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وابن خزيمة وغيرهما
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi perempuan yang sedang haidh dan orang yang sedang junub”[1]
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ الْمَسْجِدَ لاَ يَحِلُّ لِجُنُبٍ وَلاَ لِحَائِضٍ . واه ابن ماجه
Dan dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya masjid tidak halal bagi orang yang sedang junub dan perempuan yang sedang haidh.”[2]
Kedua riwayat di atas sering dianggap sebagai dua hadits yang berbeda, tapi pada kenyataannya keduanya adalah satu hadits dengan sanad yang bertemu pada seorang rawi, sehingga merupakan kesalahan besar jika dianggap sebagai dua hadits yang berbeda.[3]
Kedua riwayat hadits ini bertemu pada rawi yang bernama Jasrah bintu Dajjâjah, karena hafalannya buruk maka dia guncang dalam meriwayatkan hadits ini, kadang dia meriwayatkan dari ‘Aisyah x dan kadang dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma.
Derajat Hadits Ini Dihukumi Lemah Karena Dua Sebab Kelemahan:
Al-Idhthirâb (rawi yang guncang/tidak tetap) dalam meriwayatkannya, karena ini menunjukkan ketidaktelitian dan juga menunjukkan bahwa hafalan perawi ini lemah.[4]
Rawi ini yang bernama Jasrah bintu Dajjajah tidak dikuatkan oleh seorangpun yang bisa dijadikan sebagai sandaran, bahkan Imam al-Bukhâri melemahkan riwayatnya dan berkata, “Dia punya beberapa (riwayat) yang aneh (lemah).[5]
Oleh karena itu, sejumlah ulama Ahli hadits menegaskan kelemahan hadits ini, seperti Imam Ahmad, al-Baihaqi, al-Khaththabi, ‘Abdul Haq al-Isbili, Ibnu Hazm dan Syaikh al-Albani.[6]
Imam al-Khaththabi berkata: “Mereka (para ulama Ahli hadits) menghukumi hadits ini sebagai hadits lemah.”[7]
Kemudian ada dua riwayat lain yang semakna dengan hadits ini, akan tetapi riwayat yang pertama sangat lemah karena ada rawi yang matrûk (ditinggalkan riwayatnya karena kelemahannya yang fatal) dan riwayat yang kedua palsu karena ada rawi yang kadzdzab (selalu berdusta). Berdasarkan ini, maka kedua riwayat ini sama sekali tidak bisa mendukung dan menguatkan hadits di atas.
Karena hadits ini lemah, maka dia tidak bisa dijadikan sebagai argumentasi untuk melarang orang yang sedang junub atau wanita yang sedang haidh berdiam di masjid.
Adapun firman Allâh Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, dan (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali orang yang lewat saja (musafir), sampai kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh (mengumpuli) perempuan (istrimu), kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allâh Maha Pema’af lagi Maha Pengampun [An-Nisâ’/4: 43]
Maka pendapat yang benar tentang makna ayat ini adalah yang dikemukakan oleh dua Sahabat yang mulia, ‘Abdullah bin ‘Abbâs dan ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhuma. Kedua Sahabat ini menyebutkan bahwa makna ’âbiru sabîl dalam ayat tersebut bukanlah “orang yang lewat di masjid atau melintasi masjid”, tapi maknanya adalah “musafir atau orang yang sedang melakukan perjalanan”. Ucapan keduanya dinukil oleh Imam Ibnu Jarîr dalam tafsir beliau (4/97) dengan sanad yang shahih.
Adapun pendapat lain tentang maknanya yang diriwayatkan dari beberapa Sahabat Radhiyallahu anhum, Ibnu Mas’ud, Anas bin Mâlik, Jabir bin ‘Abdillah dan lain-lain Radhiyallahu anhum, maka semua riwayat tersebut lemah dan tidak bisa dinisbatkan kepada para Sahabat tersebut Radhiyallahu anhum.
Jadi, pendapat yang terkuat dalam masalah ini adalah pendapat yang membolehkan orang yang sedang junub atau haidh untuk masuk masjid dan menetap di dalamnya dengan syarat menjaga agar najis tidak sampai jatuh dan mengotori masjid. Pendapat ini lebih kuat karena dalil-dalil yang mereka jadikan sebagai argumentasi adalah dalil-dalil yang shahih dan jelas maknanya menunjukkan kebolehan hal ini.
Pendapat inilah yang dikuatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah dan al-Muzani rahimahullah, murid utama Imam asy-Syâfi’i rahimahullah, sebagaimana yang telah kami nukilkan sebelumnya. Juga dikuatkan oleh Imam Ibnu Hazm[8], Ibnul Mundzir dan Syaikh al-Albani.
Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Sekelompok para Ulama membolehkan orang yang junub untuk masuk (dan menetap) di masjid. Sebagian dari mereka berargumentasi dengan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , (yang artinya), “Sesungguhnya orang Mukmin tidak najis”[9]. Imam Ibnul Mundzir berkata, “Pendapat inilah yang kami ucapkan (kuatkan).”[10]
Meskipun demikian, orang yang sedang junub atau wanita yang sedang haidh dinjurkan dan lebih utama baginya untuk berwudhu sebelum masuk masjid.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Imam Ahmad berpendapat bahwa orang yang sedang junub jika dia berwudhu maka boleh menetap di masjid, karena atsar yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad t dan Sa’id bin Manshur rahimahullah dalam “as-Sunan” dengan sanad yang shahih, bahwa para Sahabat g dulu melakukan hal itu. Imam Sa’id bin Manshûr meriwayatkan dengan sanadnya dari ‘Atha’ bin Yasar dia berkata, “Aku melihat beberapa orang Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di masjid dalam keadaan mereka sedang junub, jika mereka telah berwudhu seperti wudhu ketika shalat”. Sanad hadits ini (shahih) sesuai dengan syarat Imam Muslim, wallahu a’lam”[11].
Syaikh al-Albani berkata, “Bisa jadi berwudhu (bagi orang yang junub atau haidh sebelum masuk masjid) dianjurkan (lebih utama), karena ini merupakan perbuatan para Sahabat Radhiyallahu anhum, wallahu a’lam[12].
Oleh Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XIX/1436H/2015.]
_______
Footnote
[1] HR. Abu Dawud, no. 232; Ishaq bin Rahuyah dalam al-Musnad, no. 1783; Ibnu Khuzaimah, 2/284 dan al-Baihaqi, 2/442
[2] HR. Ibnu Mâjah, no. 645
[3] Lihat penjelasan Syaikh al-Albani kitab Tamâmul minnah, hlm. 118
[4] Ibid.
[5] Kitab at-Târîkh al-Kabîr , 2/67
[6] Lihat kitab Tamâmul minnah, hlm. 118-119
[7] Dinukil oleh Imam Ibnu Hajar dalam Tahdzîbut Tahdzîb, 1/320
[8] Kitab al-Muhalla bil Âtsâr, 2/186
[9] HR. Al-Bukhâri, 1/109.
[10] Kitab Tafsir al-Qurthubi, 5/192
[11] Kitab Tafsir Ibni Katsir, 1/665
[12] Kitab Ats-Tsamrul Mustathaab fi Fiqhis Sunnati wal Kitâb, hlm 754.
0 comments:
Post a Comment