بسم الله الرحمن الرحيم
عن نعيم بن عبد الرحمن الأزدي قال: بلغني أن رسول الله قال: «تسعة أعشار الرزق في التجارة». قال نعيم: وكسب العشر الباقي في السائمة،يعني: الغنم.
Dari Nu’aim bin ‘Abdir Rahman al-Azdi, dia berkata: Telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah bersabda: “Sembilan persepuluh (90 %) rezki ada pada (usaha) perdagangan”. Nu’aim berkata: “Usaha sepersepuluh (10 %) sisanya ada pada (ternak) kambing”. Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Musaddad bin Musarhad[1] dan Imam Abu ‘Ubaid[2] dengan sanad keduanya dari Dawud bin Abi Hind, dari Nu’aim bin ‘Abdir Rahman al-Azdi, dari Rasulullah.
Hadits ini adalah hadits yang lemah karena Nu’aim bin ‘Abdir Rahman al-Azdi majhul (tidak dikenal). Imam Ibnu Abi Hatim menyebutnya dalam kitab “al-Jarhu wat ta’diil” (8/461) dengan membawakan riwayat hadits ini dan beliau tidak menyebutkan pujian atau kritikan, demikian pula Imam al-Bukhari dalam kitab “at-Taariikhul kabiir” (8/97). Imam al-Bushiri berkata: “Hadits ini sanadnya lemah karena tidak dikenalnya Nu’aim bin ‘Abdir Rahman”[3]. Sebab lain yang menjadikan hadits ini lemah adalah sanadnya yang mursal (tidak bersambung) karena Nu’aim bin ‘Abdir Rahman al-Azdi tidak pernah bertemu dengan Rasulullah r dan dia adalah seorang Tabi’in(generasi yang datang setelah para Shahabat y). Imam Ibnu Abi Hatim berkata: “Dia meriwayatkan (hadits) dari Rasulullah (secara)mursal (sanadnya tidak bersambung)”[4]. Imam al-‘Iraqi berkata: “Ibnu Mandah berkata tentang Nu’aim bin ‘Abdir Rahman: Ada yang menyebutnya sebagai Shahabat Rasulullah, tapi ini tidak benar. Abu Hatim ar-Razi dan Ibnu Hibban mengatakan bahwa dia adalah seorang Tabi’in, maka hadits ini mursal (tidak bersambung)”[5]. Syaikh al-Albani berkata: “Hadits ini sanadnya lemah karena tidak bersambung (mursal)[6].
Hadits ini juga dikeluarkan oleh Imam Sa’id bin Manshur[7] dalam kitab “as-Sunan” beliau dari jalur yang sama dengan menggandengkan Nu’aim bin ‘Abdir Rahman dengan Yahya bin jabir ath-Thaa-i. Akan tetapi jalur ini tidak bisa mendukung jalur riwayat hadits di atas karena Yahya bin jabir meskipun dia seorang yang terpercaya, tapi dia juga seorang Tabi’in, sehingga sanad jalur ini jugamursal (tidak bersambung) dan memang Yahya bin jabir banyak meriwayatkan hadits mursal. Imam Ibnu Hajar berkata tentangnya: “Dia terpercaya dan banyak meriwayatkan hadits mursal”[8].
Kesimpulannya: hadits ini adalah hadits yang lemah karena sanadnya yang mursal (tidak bersambung), sebagaimana keterangan para ulama Ahli hadits di atas. Karena hadits ini lemah maka tidak boleh dinisbatkan kepada Rasulullah dan tidak bisa dijadikan sebagai dalil (argumentasi) untuk menetapkan bahwa usaha berdagang lebih utama dan lebih menghasilkan banyak keuntungan materi dibanding usaha-usaha lainnya. Cukuplah hadits shahih dari Rasulullah r yang menjelaskan keutamaan usaha berdagang, sehingga kita tidak perlu menjadikan sandaran hadits lemah di atas. Misalnya hadits riwayat istri nabi, Ummu Salamah bahwa para Shahabat menyukai dan mencintai usaha berdagang, demikian juga Rasulullah menyukai dan mencintainya[9].
Tentu saja usaha berdagang yang dicintai Rasulullah r adalah yang dilakukan dengan jujur dan amanah, karena inilah sebab yang menjadikan keberkahan dan kebaikan dalam perdagangan dan jual beli, sebagaimana sabda Rasulullah : “Kalau keduanya (pedagang dan pembeli) bersifat jujur dan menjelaskan (keadaan barang dagangan atau uang pembayaran) maka Allah akan memberkahi keduanya dalam jual beli tersebut, tapi kalau kaduanya berdusta dan menyembunyikan (hal tersebut) maka akan hilang keberkahan jual beli tersebut”[10]. Bahkan seorang pedagang yang mempunyai sifat-sifat terpuji ini akan mendapatkan pahala dan keutamaan besar di sisi Allah, sebagaimana sabda Rasulullah: “Seorang pedagang muslim yang jujur dan amanah (terpercaya) akan (dikumpulkan) bersama para Nabi, orang-orang shiddiq dan orang-orang yang mati syahid pada hari kiamat (nanti)”[11].
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 12 Dzulqa’dah 1434 H Abdullah bin Taslim al-Buthoni
[1] Dinukil dengan sanadnya yang lengkap oleh Imam al-Bushiri dalam kitab “Ithaaful khiyaratil maharah” (3/275, no. 2730) dan Imam Ibnu Hajar dalam kitab “al-Mathaalibul ‘aaliyah” (2/108, no. 1447).
[2] Dalam kitab “Gariibul hadiits” (dinukil oleh Syaikh al-Albani dalam “adh-Dha’iifah” 7/412).
[3] Kitab “Ithaaful khiyaratil maharah” (3/275).
[4] Kitab “al-Jarhu wat ta’diil” (8/461).
[5] Kitab “Takhriiju aha-diitsil Ihyaa’” (2/75).
[6] Kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifah wal maudhuu’ah” (7/412).
[7] Dinukil oleh Syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifah wal maudhuu’ah” (7/412).
[8] Kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 588).
[9] HR ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul kabiir” (23/300, no. 674) dan dinyatakan jayyid (baik/shahih) oleh syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaa-ditsish shahiihah” (no. 2929).
[10] HSR al-Bukhari (no. 1973) dan Muslim (no. 1532).
[11] HR Ibnu Majah (no. 2139), al-Hakim (no. 2142) dan ad-Daraquthni (no. 17), dalam sanadnya ada kelemahan, akan tetapi ada hadits lain yang menguatkannya, dari Abu Sa’id al-Khudri t, HR at-Tirmidzi (no. 1209) dan lain-lain. Oleh karena itu, hadits dinyatakan baik sanadnya oleh imam adz-Dzahabi dan syaikh al-Albani (lihat “ash-Shahiihah” no. 3453).
0 comments:
Post a Comment