Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ أَبِيْ رُقَيَّةَ تَمِيْمِ بْنِ أَوْسٍ الدَّارِيِّ ، عَنْ رَسُوْلِ اللهِ أَنَّهُ قَالَ: اَلدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، قَالُوْا: لِمَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: لِلهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ، وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ، وَعَامَّتِهِمْ.
Dari Abi Ruqayyah, Tamim bin Aus ad-Dari[1]Radhiyallahu anhu, dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama itu adalah nasihat. Agama itu adalah nasihat. Agama itu adalah nasihat.” Mereka (para Sahabat) bertanya, ‘Untuk siapa, wahai Rasûlullâh?’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Untuk Allâh, Kitab-Nya, Rasul-Nya, Imam kaum Muslimin atau Mukminin, dan bagi kaum Muslimin pada umumnya.”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan dari jalur Suhail bin Abi Shalih, dari Atha’ bin Yazid al-Laitsi, dari Abu Ruqayyah, Tamim bin Aus ad-Dari Radhiyallahu anhu .
Hadits ini diriwayatkan oleh:
Imam Muslim (no. 55).
Imam Abu Awanah (I/36-37).
Imam al-Humaidi (no. 837).
Imam Abu Dawud (no. 4944).
Imam an-Nasai (VII/156-157).
Imam Ahmad (IV/102-103).
Imam Ibnu Hibban (at-Ta’lîqâtul Hisân ‘alâ Shahîh Ibni Hibban, no. 4555) dan Raudhatul ‘Uqalâ’ (hlm. 174).
Imam al-Baihaqi (VIII/163).
Imam Muhammad bin Nashr al-Marwazi dalam Ta’zhîm Qadrish Shalâh (II/681 no. 747, 749, 751, 753, 755).
Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (no. 1260-1268).
Imam al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (XIII/93, no. 3514).
Hadits ini memiliki syawâhid (penguat) dari beberapa Sahabat, yaitu:
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ; diriwayatkan oleh Imam an-Nasai (VII/157), at-Tirmidzi (no. 1926), Ahmad (II/297), dan Ibnu Nashr al-Marwazi, dalam Ta’zhîm Qadrish Shalâh (II/682, no. 748). At-Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih.”
Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma ; diriwayatkan oleh Imam ad-Darimi (II/311) dan Ibnu Nashr al-Marwazi (II/687, no. 757-758).
Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma ; diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/351) danath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (no. 11198).
Para ulama ahli hadits menjelaskan bahwasanya hadits di atas Shahih.
MAKNA KOSA KATA
Kata “nasihat” berasal dari bahasa Arab. Diambil dari kata kerja نَصَحَ yang bermakna خَلَصَ, yaitu murni serta bersih dari segala kotoran. Bisa juga bermakna خَاطَ, yaitu menjahit.[2]
Imam al-Khathabi menjelaskan arti kata نَصَحَ sebagaimana dinukil oleh Imam an-Nawawi rahimahullah: “Dikatakan bahwa نَصَحَ diambil dari lafazh ثَوْبَهُ الرَّجُلُ نَصَحَ, yakni apabila dia menjahitnya. Maka mereka mengumpamakan perbuatan penasihat yang selalu menginginkan kebaikan orang yang dinasihatinya dengan usaha seseorang memperbaiki pakaiannya yang robek.”[3]
Imam Ibnu Rajab rahimahullah menukil ucapan Imam al-Khathabi rahimahullah: “Nasihat ialah kata yang menjelaskan sejumlah hal, yaitu menginginkan kebaikan pada orang yang diberi nasihat.” Hal ini juga dikemukakan oleh Ibnul Atsir rahimahullah.[4]
Kesimpulan: Nasihat adalah kata yang dipakai untuk mengungkapkan keinginan memberikan kebaikan kepada orang yang diberi nasihat. [5]
SYARAH HADITS
Hadits ini merupakan ucapan yang singkat dan padat, yang hanya dimiliki Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ucapan yang singkat namun mengandung berbagai nilai dan manfaat penting. Semua hukum syari’at, baik ushul (pokok) maupun furu’ (cabang) terdapat padanya. Bahkan satu kalimat saja “Wa li Kitâbihi” sudah mencakup semuanya. Karena Kitab Allâh mencakup seluruh permasalahan agama, baik ushul maupun furu’, perbuatan maupun keyakinan.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ
“Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab.” [Al-An’âm/6:38]
Oleh karena itu, ada ulama yang berpendapat bahwa hadits ini merupakan poros ajaran Islam. Dalam hadits ini Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakan agama sebagai nasihat. Padahal beban syari’at sangat banyak dan tidak terbatas hanya pada nasihat. Lalu apakah maksud Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Para Ulama telah memberikan jawaban.
Pertama: Hal ini bermakna, bahwa hampir semua agama adalah nasihat, sebagaimana halnya sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اَلْحَجُّ عَرَفَةُ
Haji itu adalah wukuf di ‘Arafah.[6]
Kedua: Agama itu seluruhnya adalah nasihat. Karena setiap amalan yang dilakukan tanpa disertai ikhlas, maka tidak termasuk agama.[7] Setiap nasihat untuk Allâh Azza wa Jalla menuntut pelaksanaan kewajiban agama secara sempurna. Inilah yang disebut derajat ihsan. Tidaklah sempurna nasihat untuk Allâh Azza wa Jalla tanpa hal ini. Tidaklah mungkin dicapai bila tidak disertai kesempurnaan cinta yang wajib dan sunnah. Diperlukan kesungguhan mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dengan melaksanakan sunnah-sunnah secara sempurna dan meninggalkan hal-hal yang haram dan makruh secara sempurna pula.[8]
Ketiga: Nasihat meliputi seluruh bagian Islam, iman, dan ihsan sebagaimana telah dijelaskan dalam hadits Jibril.
Dengan demikian jelaslah keterangan para ulama tentang maksud sabda Nabi: “Agama itu nasihat.” Karena nasihat adakalanya bermakna pensifatan sesuatu dengan sifat kesempurnaan Allâh, Kitab-Nya, dan Rasul-Nya. Adakalanya merupakan penyempurnaan kekurangan yang terjadi, berupa nasihat untuk pemimpin dan kaum Muslimin pada umumnya, sebagaimana rincian selanjutnya dalam hadits ini.
1. Nasihat untuk Allâh Azza wa Jalla
Imam Muhammad bin Nashr al-Marwazi rahimahullah (wafat th. 294 H) berkata: “Nasihat hukumnya ada dua: yang pertama wajib dan yang kedua sunnah. Adapun nasihat yang wajib untuk Allâh, yaitu perhatian yang sangat dari pemberi nasihat untuk mengikuti apa-apa yang Allâh cintai, dengan melaksanakan kewajiban dan dengan menjauhi apa-apa yang Allâh haramkan. Sedangkan nasihat yang sunnah adalah dengan mendahulukan perbuatan yang dicintai Allâh daripada perbuatan yang dicintai oleh dirinya sendiri. Yang demikian itu, bila dua hal dihadapkan pada diri seseorang, yang pertama untuk kepentingan dirinya sendiri dan yang lain untuk Rabbnya, maka dia memulai mengerjakan sesuatu untuk Rabbnya terlebih dahulu dan menunda apa-apa yang diperuntukkan bagi dirinya sendiri. Ini adalah penjelasan nasihat untuk Allâh secara global, baik yang wajib maupun yang sunnah. Adapun perinciannya akan kami sebutkan sebagiannya agar bisa dipahami dengan lebih jelas.
Nasihat yang wajib untuk Allâh adalah menjauhi larangan-Nya dan melaksanakan perintah-Nya dengan seluruh anggota badan selagi mampu melakukannya. Apabila ia tidak mampu melakukan kewajibannya karena alasan tertentu seperti sakit, terhalang, atau sebab lainnya, maka ia tetap berniat dengan sungguh-sungguh untuk melaksanakan kewajiban tersebut setelah penghalang tadi hilang.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلَا عَلَى الْمَرْضَىٰ وَلَا عَلَى الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ ۚ مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِنْ سَبِيلٍ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Tidak ada dosa (karena tidak pergi berperang) atas orang yang lemah, orang yang sakit dan orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka infakkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allâh dan Rasul-Nya. Tidak ada alasan apa pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allâh Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [At-Taubah/9: 91]
Allâh Azza wa Jalla menamakan mereka sebagai “al-muhsinîn” (orang-orang yang berbuat kebaikan) karena perbuatan mereka berupa nasihat untuk Allâh dengan hati-hati mereka yang ikhlas ketika mereka terhalang untuk berjihad dengan jiwa raganya. Dalam kondisi tertentu terkadang seorang hamba dibolehkan meninggalkan sejumlah amalan, tetapi tidak dibolehkan meninggalkan nasihat untuk Allâh meskipun disebabkan sakit yang tidak memungkinkannya melakukan sesuatu dengan anggota tubuh, bahkan dengan lisannya, namun akalnya masih sehat, maka belum hilang kewajiban memberikan nasihat untuk Allâh dengan hatinya, yaitu dengan penyesalan atas dosa-dosanya dan berniat dengan sungguh melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh Allâh kepadanya dan meninggalkan apa-apa yang Allâh larang atasnya. Jika tidak (yaitu tidak ada amalan hati, berupa cinta, takut, dan harap kepada Allâh dan niat untuk melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan-Nya), maka ia tidak disebut sebagai pemberi nasihat untuk Allâh dengan hatinya. Juga termasuk nasihat untuk Allâh ialah taat kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wajibkan kepada manusia berdasarkan perintah Rabb-Nya. Dan termasuk nasihat yang wajib untuk Allâh ialah dengan membenci dan tidak ridha terhadap kemaksiatan orang yang berbuat maksiat, dan cinta kepada ketaatan orang yang taat kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Sedangkan nasihat yang sunnah, bukan yang wajib, ialah dengan berjuang sekuat tenaga untuk lebih mengutamakan Allâh Azza wa Jalla daripada segala apa yang ia cintai dalam hati dan seluruh anggota badan bahkan dirinya sendiri, lebih-lebih lagi dari orang lain. Karena seorang penasihat apabila bersungguh-sungguh kepada orang yang dicintainya, dia tidak akan mementingkan dirinya, bahkan berupaya keras melakukan hal-hal yang membuat orang yang dicintainya itu merasa senang dan cinta, maka begitu pula pemberi nasihat untuk Allâh Azza wa Jalla . Barangsiapa yang melakukan ibadah nafilah (sunnah) untuk Allâh tanpa dibarengi dengan kerja keras, maka dia adalah penasihat berdasarkan tingkatan amalnya, tetapi ia tidak melaksanakan nasihat dengan sebenarnya secara sempurna.”[9]
Imam an-Nawawi rahimahullah (wafat th. 676 H) menyebutkan bahwa termasuk nasihat untuk Allâh adalah dengan berjihad melawan orang-orang yang kufur kepada-Nya dan berdakwah mengajak manusia ke jalan Allâh. Adapun makna nasihat untuk Allâh adalah beriman kepada Allâh, menafikan sekutu bagi-Nya, tidak mengingkari sifat-sifat-Nya, mensifatkan Allâh dengan seluruh sifat yang sempurna dan mulia, mensucikan Allâh dari semua sifat-sifat yang kurang, melaksanakan ketaatan kepada-Nya, menjauhkan maksiat, mencintai karena Allâh, benci karena-Nya, loyal (mencintai) orang yang taat kepada-Nya, memusuhi orang yang durhaka kepada-Nya, berjihad melawan orang yang kufur kepada-Nya, serta senantiasa mengakui nikmat-Nya, dan bersyukur atas segala nikmat-Nya ….[10]
Ibnu Rajab rahimahullah (wafat th. 795 H) menyebutkan bahwa termasuk nasihat untuk Allâh adalah dengan berjihad melawan orang-orang yang kufur kepada-Nya dan berdakwah mengajak manusia ke jalan Allâh.[11]
Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi rahimahullah (wafat th. 1163 H) berkata: “Nasihat untuk Allâh maksudnya ialah agar seorang hamba menjadikan dirinya ikhlas kepada Rabb-nya dan meyakini bahwa Dia adalah Ilah Yang Maha Esa dalam Uluhiyyah-Nya, dan bersih dari noda syirik, tandingan, penyerupaan, serta segala apa yang tidak pantas bagi-Nya. Allâh mempunyai segala sifat kesempurnaan yang sesuai dengan keagungan-Nya. Seorang Muslim harus mengagungkan-Nya dengan sebesar-besarnya pengagungan, melakukan amalan zhahir dan batin yang Allâh cintai dan menjauhi apa-apa yang Allâh benci, mencintai apa-apa yang Allâh cintai dan membenci apa-apa yang Allâh benci, meyakini apa-apa yang Allâh jadikan sesuatu itu benar sebagai suatu kebenaran, dan yang bathil itu sebagai suatu kebathilan, hatinya dipenuhi dengan rasa cinta dan rindu kepada-Nya, bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya, sabar atas bencana yang menimpanya, serta ridha dengan takdir-Nya.”[12]
2. Nasihat untuk Kitabullah.
Al-Imam Muhammad bin Nashr al-Marwazi rahimahullah berkata: “Sedangkan nasihat untuk Kitabullah ialah dengan sangat mencintainya dan mengagungkan kedudukannya karena al-Qur-an itu adalah Kalamullâh, berkeinginan kuat untuk memahaminya, mempunyai perhatian yang besar dalam merenunginya, serius dan penuh konsentrasi membacanya untuk mendapatkan pemahaman maknanya sesuai dengan yang dikehendaki Allâh untuk dipahami, dan setelah memahaminya ia mengamalkan isinya. Begitu pula halnya seorang yang menasihati dari kalangan hamba, dia akan mempelajari wasiat dari orang yang menasihatinya. Apabila ia diberikan sebuah buku dengan maksud untuk dipahaminya, maka ia mengamalkan apa-apa yang tertulis dari wasiat tersebut. Begitu pula pemberi nasihat untuk Kitabullah, dia dituntut untuk memahaminya agar dapat mengamalkannya karena Allâh sesuai dengan apa yang Allâh cintai dan ridhai, kemudian menyebarluaskan apa yang dia pahami kepada manusia, dan mempelajari al-Qur-an terus-menerus didasari rasa cinta kepadanya, berakhlak dengan akhlaknya, serta beradab dengan adab-adabnya.”[13]
Hal ini diwujudkan dalam bentuk iman kepada Kitab-kitab Samawi yang diturunkan Allâh dan meyakini bahwa al-Qur-an merupakan penutup dari semua Kitab-kitab tersebut. Al-Qur-an adalah Kalam Allâh yang penuh dengan mukjizat, yang senantiasa terpelihara, baik dalam hati maupun dalam lisan. Allâh sendirilah yang menjamin hal itu. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.” [Al-Hijr /15: 9][14]
Menurut Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi rahimahullah nasihat untuk kitab-Nya adalah dengan meyakini bahwasanya al-Qur’an itu Kalamullah. Wajib mengimani apa-apa yang ada di dalamnya, wajib mengamalkan, memuliakan, membacanya dengan sebenar-benarnya, mengutamakannya daripada selainnya, dan penuh perhatian untuk mendapatkan ilmu-ilmunya. Dan di dalamnya terdapat ilmu-ilmu mengenai Uluhiyyah Allâh yang tidak terhitung banyaknya. Dia merupakan teman dekat orang-orang yang berjalan menempuh jalan Allâh dan merupakan wasilah (jalan) bagi orang-orang yang selalu berhubungan dengan Allâh. Al-Qur-an sebagai penyejuk mata bagi orang-orang yang berilmu. Barangsiapa yang ingin sampai di tujuan, maka ia harus menempuh jalannya. Karena kalau tidak, ia pasti sesat. Seandainya seorang hamba mengetahui keagungan Kitabullah, niscaya mereka tidak akan meninggalkan-nya sedikit pun.
Lebih rincinya, nasihat untuk Kitabullah dilakukan melalui beberapa hal berikut:[15]
a. Membaca dan menghafal al-Qur-an.
Dengan membaca al-Qur’an akan didapatkan berbagai ilmu dan pengetahuan. Disamping itu akan melahirkan kebersihan jiwa, kejernihan perasaan, dan mempertebal ketakwaan. Membaca al-Qur’an merupakan kebaikan dan merupakan syafaat yang akan diberikan pada hari Kiamat kelak.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اِقْرَؤُوْا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيْعًا لِأَصْحَابِهِ
Bacalah al-Qur-an, karena pada hari Kiamat ia akan datang untuk memberi syafa’at kepada orang yang membacanya.[16]
Sedangkan menghafal al-Qur’an merupakan keutamaan yang besar. Melalui hafalan, hati akan lebih hidup dengan cahaya Kitabullah, manusia juga akan segan dan menghormatinya. Bahkan dengan hafalan itu derajatnya di akhirat akan semakin tinggi, sesuai dengan banyaknya hafalan yang dimiliki.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ : اِقْرَأْ وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِي الدُّنْيَا، فَإِنَّ مَنْزِلَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَؤُهَا.
Dikatakan kepada orang yang hafal al-Qur-an: ‘Bacalah dan naiklah! Bacalah dengan tartil sebagaimana engkau membacanya di dunia dengan tartil. Karena kedudukanmu (di Surga) sesuai dengan ayat terakhir yang engkau baca. [17]
Membacanya dengan tartil dan suara yang bagus sehingga bacaannya dapat masuk dan diresapi.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ.
Bukan golongan kami orang yang tidak membaca al-Qur’an dengan irama.[18]
b. Mentadabburi nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ayatnya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
Maka tidakkah mereka menghayati al-Qur’an ataukah hati mereka sudah terkunci.[Muhammad /47:24]
c. Mengajarkannya kepada generasi Muslim agar mereka ikut berperan dalam menjaga al-Qur-an.
Mempelajari dan mengajarkan al-Qur’an adalah kunci kebahagiaan dan ‘izzah (kejayaan) umat Islam.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ.
Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari dan mengajarkan al-Qur’an.[19]
d. Memahami dan mengamalkannya.
Seorang Muslim wajib membaca al-Qur’an dan harus berusaha memahaminya serta berusaha untuk mengamalkannya. Bagaimanapun, buah dari membaca al-Qur’an baru akan kita peroleh setelah memahami dan mengamalkannya. Oleh karena itu, alangkah buruknya jika kita memahami ayat al-Qur’an namun tidak mau mengamalkannya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ ﴿٢﴾ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan. (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allâh jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan..[Ash-Shaff /61:2-3][20]
3. Nasihat untuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Al-Imam Muhammad bin Nashr al-Marwazi rahimahullah mengatakan: “Sedangkan nasihat untuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masa hidupnya ialah dengan mengerahkan segala kemampuan secara sungguh-sungguh dalam rangka taat, membela, menolong, memberikan harta (untuk perjuangan menegakkan agama Allâh) bila Beliau menginginkannya, dan bersegera untuk mencintai Beliau.
Adapun setelah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal, maka dengan perhatian dan kesungguhan untuk mencari sunnahnya, akhlak, dan adab-adabnya, mengagungkan perintahnya, istiqomah dalam melaksanakannya, sangat marah dan berpaling dari orang yang menjalankan agama yang bertentangan dengan Sunnahnya, marah terhadap orang yang menyia-nyiakan Sunnah Beliau hanya untuk mendapatkan keuntungan dunia, meskipun ia meyakini akan kebenarannya, mencintai orang yang memiliki hubungan dengan beliau, dari kalangan karib kerabat atau familinya, juga dari kaum Muhajirin dan Anshar, atau dari seorang Sahabat yang menemani Beliau sesaat di malam atau siang hari, dan dengan mengikuti tuntunan Beliau dalam hal berpenampilan dan berpakaian.”[21]
Yang dimaksud nasihat untuk Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah dengan meyakini bahwa Beliau adalah seutama-utama makhluk dan kekasih-Nya.
Allâh Azza wa Jalla mengutusnya kepada para hamba-Nya agar Beliau mengeluarkan mereka dari segala kegelapan kepada cahaya, menjelaskan kepada mereka apa-apa yang membuat mereka bahagia dan apa-apa yang membuat mereka sengsara, menerangkan kepada mereka jalan Allâh yang lurus agar mereka sukses mendapatkan kenikmatan Surga dan terhindar dari kepedihan api Neraka, dan dengan mencintainya, memuliakannya, mengikutinya serta tidak ada kesempitan di dadanya terhadap apa-apa yang Beliau putuskan. Tunduk serta patuh kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti orang yang buta mengikuti petunjuk jalan orang yang awas matanya.
Orang yang sukses adalah orang yang sukses membawa kecintaan dan ketaatan pada Sunnahnya dan orang yang rugi adalah orang yang terhalang dari mengikuti ajarannya. Barangsiapa yang taat kepada Beliau, maka ia taat kepada Allâh dan barangsiapa yang menentangnya, maka ia telah menentang Allâh dan kelak akan diberikan balasan yang setimpal.[22]
Hal ini diaplikasikan (diterapkan) dalam bentuk membenarkan risalahnya, membenarkan semua yang disampaikan, baik dalam al-Qur-an maupun as-Sunnah, serta mencintai dan mentaatinya. Mencintai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan ittiba’ (mengikuti) kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan taat kepadanya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah (Muhammad): ‘Jika kamu mencintai Allâh, ikutilah aku, niscaya Allâh mencintaimu dan mengam-puni dosa-dosamu.’ Allâh Maha Pengampun, Maha Penyayang.[ Ali ‘Imran/3:31]
Ketaatan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan bentuk ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla .
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ۖ وَمَنْ تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
Barangsiapa menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya dia telah menaati Allâh. Dan barangsiapa berpaling (dari ketaatan itu), maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka. [An- Nisâ’/4:80] [23]
4. Nasihat untuk para pemimpin kaum Muslimin.
Al-Imam Muhammad bin Nashr al-Marwazi rahimahullah berkata: “Sedangkan nasihat untuk para pemimpin kaum Muslimin ialah dengan mencintai ketaatan mereka kepada Allâh, mencintai kelurusan dan keadilan mereka, mencintai bersatunya umat di bawah pengayoman mereka, benci kepada perpecahan umat dengan sebab melawan mereka, mengimani bahwa dengan taat kepada mereka dalam rangka taat kepada Allâh, membenci orang yang keluar dari ketaatan kepada mereka (yaitu membenci orang yang tidak mengakui kekuasaan mereka dan menganggap halal darah mereka), dan mencintai kejayaan mereka dalam taat kepada Allâh.” [24]
Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi rahimahullah berkata: “Makna nasihat untuk para pemimpin kaum Muslimin ialah nasihat yang ditujukan kepada para penguasa mereka, yaitu dengan menerima perintah mereka, mendengar, dan taat kepada mereka dalam hal yang bukan maksiat, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal maksiat kepada al-Khaliq. Tidak memerangi mereka selama mereka belum kafir, berusaha untuk memperbaiki keadaan mereka, membersihkan kerusakan mereka, memerintahkan mereka kepada kebaikan, melarangnya dari kemungkaran, serta mendoakan mereka agar mendapatkan kebaikan. Karena, dalam kebaikan mereka berarti kebaikan bagi rakyat dan dalam kerusakan mereka berarti kerusakan bagi rakyat.” [25]
Yang dimaksud dengan pemimpin kaum Muslimin adalah para penguasa, wakil-wakilnya, atau para ulama. Agar penguasa ditaati, maka penguasa tersebut harus dari orang Islam sendiri. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allâh dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allâh (al-Qur-an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allâh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [An-Nisâ’/4: 59]
Nasihat untuk pemimpin adalah dengan mencintai kebaikan, kebenaran, dan keadilannya, bukan lantaran individunya. Karena, melalui kepemimpinannyalah kemaslahatan kita bisa terpenuhi. Kita juga senang dengan persatuan umat di bawah kepemimpinan mereka yang adil dan membenci perpecahan umat di bawah penguasa yang semena-mena.
Nasihat untuk para pemimpin dapat juga dilakukan dengan cara membantu mereka untuk senantiasa berada di atas jalan kebenaran, mentaati mereka dalam kebenaran, dan mengingatkan mereka dengan cara yang baik.[26]
Termasuk prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah ialah tidak mengadakan provokasi atau penghasutan untuk memberontak kepada penguasa meskipun penguasa itu berbuat zhalim. Tidak boleh melakukan provokasi, baik dari atas mimbar, tempat khusus atau pun umum, dan media lainnya. Karena yang demikian menyalahi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Salafush Shalih.
Menjelek-jelekkan penguasa, membeberkan aibnya, menyebutkan kekurangan-nya, menampakkan kebencian kepadanya dihadapan umum atau melalui media lainnya tidak ada manfaatnya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَكْرَمَ سُلْطَانَ اللهِ فِي الدُّنْيَا أَكْرَمَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللهِ فِي الدُّنْيَا أَهَانَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Barangsiapa yang memuliakan penguasa di dunia, akan dimuliakan Allâh di akhirat, dan barangsiapa yang menghinakan penguasa di dunia, maka Allâh akan hinakan dia pada hari Kiamat. [27]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kita untuk bersabar terhadap kezhaliman penguasa. Dan dengan kesabaran itu Allâh akan berikan ganjaran yang besar. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ، فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا، فَمَاتَ عَلَيْهِ إِلَّا مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً .
Barangsiapa yang tidak menyukai sesuatu dari pemimpinnya maka hendaklah ia bersabar terhadapnya. Sebab, tidak seorang manusia keluar dari penguasa lalu ia mati di atasnya, melainkan ia mati dengan kematian Jahiliyyah.[28]
Diperintahkan kepada kita untuk memberikan nasihat kepada penguasa dengan cara yang baik, yakni dengan mendatangi penguasa tersebut. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِيْ سُلْطَانٍ فَلَا يُبْدِهِ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ يَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ.
Barangsiapa ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkan dengan terang-terangan, hendak-lah ia pegang tangannya lalu menyendiri dengan-nya. Bila penguasa itu mau mendengar nasihat itu maka ituyang terbaik, dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia telah melaksanakan kewajiban amanah yang dibebankan kepadanya.[29]
Sesungguhnya tidak ada kebaikan bagi masyarakat yang tidak mau menasihati penguasanya dengan cara yang baik. Juga tidak ada kebaikan, bagi penguasa yang menindas rakyatnya dan membungkam orang-orang yang berusaha menasihatinya bahkan menutup telinganya rapat-rapat agar tidak mendengar suara-suara kebenaran. Dalam kondisi seperti ini, yang terjadi justru kerendahan dan kehancuran. Ini sangat mungkin terjadi jika masyarakat Muslim telah menyeleweng dan jauh dari syari’at Islam.
Adapun para ulama, nasihat yang dilakukan untuk Kitabullah dan Sunnah Rasûlullâh, dilakukan dengan jalan membantah berbagai pendapat sesat yang berkenaan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Menjelaskan berbagai hadits, apakah hadits tersebut shahih atau dha’if. Mereka juga mempunyai tanggung jawab yang besar untuk selalu menasihati para penguasa, dan senantiasa menyerukan agar mereka berhukum dengan hukum Allâh dan Rasul-Nya. Jika mereka lalai dalam mengemban tanggung jawab ini sehingga tidak ada seorang pun yang menyerukan kebenaran di depan penguasa, maka kelak Allâh akan menghisabnya.
Kepada para ulama hendaklah mereka terus-menerus berusaha datang menyampaikan kebenaran dan nasihat yang baik kepada pemerintah (penguasa) dan sabar dalam melakukannya karena menyampaikan kalimat yang baik termasuk seutama-utama jihad.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ [وَفِي رِوَايَةٍ: حَقٍّ] عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ.
Jihad yang paling utama adalah mengatakan keadilan (dalam riwayat lain: kebenaran) di hadapan penguasa yang semena-mena.[30]
Mereka pun akan dimintai pertanggungjawaban jika justru memuji penguasa yang semena-mena, apalagi menjadi corong mereka.
Sedangkan nasihat kita untuk para ulama ialah dengan senantiasa mengingatkan akan tanggung jawab itu, mempercayai hadits-hadits yang mereka sampaikan, jika memang mereka bisa dipercaya. Juga dengan jalan tidak mencerca mereka, karena ini dapat mengurangi kewibawaannya dan menjadikan mereka bahan tuduhan.[31]
5. Nasihat untuk seluruh kaum Muslimin.
Makna nasihat untuk kaum Muslimin pada umumnya adalah dengan menolong mereka dalam kebaikan, melarang mereka berbuat keburukan, membimbing mereka kepada petunjuk, mencegah mereka dengan sekuat tenaga dari kesesatan, dan mencintai kebaikan untuk mereka sebagaimana ia mencintainya untuk diri sendiri karena mereka semua adalah hamba-hamba Allâh. Maka seorang hamba harus memandang mereka dengan kacamata yang satu, yaitu kacamata kebenaran.[32]
Nasihat untuk masyarakat Muslim bisa dilakukan dengan cara menuntun mereka kepada berbagai hal yang membawa kebaikan dunia dan akhiratnya. Sangat disayangkan bahwa kaum Muslimin telah mengabaikan tugas ini. Mereka tidak mau menasihati Muslim yang lain, khususnya yang berkaitan dengan urusan akhirat.
Nasihat tersebut seharusnya tidak terbatas dengan ucapan, tetapi harus diikuti dengan amalan. Dengan demikian nasihat tersebut terlihat nyata dalam masyarakat Muslim, sebagai penutup keburukan, pelengkap kekurangan, pencegah dari bahaya, pemberi manfaat, amar ma’ruf nahyu mungkar, penghormatan terhadap yang besar, kasih sayang terhadap yang kecil, dan menghindari penipuan dan kedengkian.[33]
Nasihat Yang Paling Baik Di Antara Kaum Muslimin
Nasihat yang paling baik adalah nasihat yang diberikan ketika seseorang dimintai nasihat. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ ….
Jika seseorang meminta nasihat kepadamu, maka nasihatilah ia ….[34]
Termasuk nasihat yang paling baik adalah nasihat yang dilakukan seseorang kepada orang lain di saat orang tersebut (yang dinasihati) tidak ada di hadapannya. Ini dilakukan dengan cara menolong dan membelanya.[35]
Kedudukan Orang Yang Memberikan Nasihat
Amal para Rasul ialah menasihati manusia kepada sesuatu yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat. Allâh Azza wa Jalla berfirman menceritakan hamba-Nya, Nabi Hud Alaihissallam:
أُبَلِّغُكُمْ رِسَالَاتِ رَبِّي وَأَنَا لَكُمْ نَاصِحٌ أَمِينٌ
Aku menyampaikan kepadamu amanat Rabbku dan pemberi nasihat yang tepercaya kepada kamu. [Al-A’râf /7:68]
Dan Dia menceritakan Nabi Shalih Alaihissallam yang berbicara kepada kaumnya, setelah mereka dibinasakan oleh Allâh Azza wa Jalla:
فَتَوَلَّىٰ عَنْهُمْ وَقَالَ يَا قَوْمِ لَقَدْ أَبْلَغْتُكُمْ رِسَالَةَ رَبِّي وَنَصَحْتُ لَكُمْ وَلَٰكِنْ لَا تُحِبُّونَ النَّاصِحِينَ
Kemudian dia (Shalih) pergi meninggalkan mereka sambil berkata: ‘Wahai kaumku! Sungguh, aku telah menyampaikan amanat Rabbku kepadamu dan aku telah menasihati kamu. Tetapi kamu tidak menyukai orang yang memberi nasihat [Al-A’râf /7:79]
Cukuplah seseorang dikatakan mulia dengan melaksanakan amalan hamba-hamba Allâh yang paling mulia, yaitu para Nabi dan Rasul. [36]
Demikianlah hakikat nasihat. Mudah-mudahan Allâh menjadikan kita sebagai hamba-Nya yang selalu saling menasihati. Sehingga memiliki sebagian sifat-sifat orang yang beruntung sebagaimana telah difirmankan Allâh Azza wa Jalla :
وَالْعَصْرِ ﴿١﴾ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿٢﴾ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Demi masa, sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran. [Al-‘Ashr /103:1-3]
Hukum Memberikan Nasihat
Diriwayatkan dari Jarir bin Abdillah Radhiyallahi anhu , ia berkata:
بَايَعْتُ رَسُوْلَ اللهِ عَلَى إِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ.
Aku membai’at Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tetap mengerjakan shalat, menunaikan zakat, dan menasihati setiap Muslim.[37]
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Nasihat hukumnya adalah fardhu kifayah. Artinya apabila ada seseorang yang sudah mengerjakannya, maka gugurlah kewajiban dari yang lain. Dan nasihat ini adalah wajib menurut kadar kemampuan.”
Syaikh Nazhim Muhammad Sulthan berkata: “Saya berpendapat bahwa nasihat dengan maknanya yang menyeluruh, sebagaimana yang sudah dijelaskan, hukumnya ada yang fardhu ‘ain, ada yang fardhu kifayah, ada yang wajib, dan ada juga yang sunnah. Karena Rasûlullâh menjelaskan bahwa agama adalah nasihat. Sedangkan hukum-hukum agama ada yang wajib, sunnah, fardhu ‘ain, dan fardhu kifayah.”[38]
ADAB-ADAB MEMBERIKAN NASIHAT
Di antara adab nasihat dalam Islam adalah menasihati saudaranya dengan tidak diketahui orang lain. Karena barangsiapa yang menutupi keburukan saudaranya, maka Allâh akan menutupi keburukannya di dunia dan akhirat.
Sebagian ulama berkata: “Barangsiapa yang menasihati seseorang dan hanya ada mereka berdua, maka itulah nasihat yang sebenarnya. Barangsiapa yang menasihati saudaranya di depan banyak orang, maka yang demikian itu mencela dan merendahkan orang yang dinasihati.”
Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata: “Seorang Mukmin adalah orang yang menutupi aib dan menasihati. Sedangkan orang fasik adalah orang yang merusak dan mencela.”
Al-Imam Ibnu Hibban rahimahullah (wafat th. 354 H) mengatakan: “Nasihat adalah kewajiban seluruh manusia, sebagaimana kami telah sebutkan, tetapi dalam tehnik penyampaiannya harus secara rahasia, tidak boleh tidak. Karena, barangsiapa menasihati saudaranya di hadapan orang lain, maka berarti ia telah mencelanya. Dan barangsiapa yang menasihatinya secara rahasia, maka berarti ia telah memperbaikinya. Sesungguhnya penyampaian dengan penuh perhatian kepada saudaranya sesama Muslim adalah kritik yang membangun, lebih besar kemungkinannya untuk diterima daripada penyampaian dengan maksud mencelanya.”
Kemudian Imam Ibnu Hibban rahimahullah menyebutkan dengan sanadnya sampai kepada Sufyan, ia menuturkan: “Saya berkata kepada Mis’ar: ‘Apakah engkau suka bila ada orang lain memberitahumu akan kekurangan-kekuranganmu?’ Ia menjawab: ‘Apabila yang datang adalah orang yang memberitahukan kekurangan-kekuranganku dengan cara menjelek-jelekkanku, maka aku tidak senang. Tetapi bila yang datang kepadaku adalah seorang pemberi nasihat, maka aku senang.’” [39]
Abu Hatim (Imam Ibnu Hibban) mengatakan: “Nasihat apabila dilakukan seperti apa yang telah kami sebutkan, akan melanggengkan kasih sayang serta menyebabkan terwujudnya hak ukhuwah atau persaudaraan.”[40]
Al-Imam Abu Muhammad bin Ahmad bin Sa’id Ibnu Hazm rahimahullah (wafat th. 456 H) berkata: “Maka wajib atas seseorang untuk selalu memberikan nasihat, baik yang diberi nasihat itu suka ataupun benci, tersinggung ataupun tidak tersinggung. Apabila engkau memberikan nasihat kepada seseorang, maka nasihatilah secara rahasia, jangan di hadapan orang lain dan cukup dengan memberikan isyarat tanpa terus terang secara langsung, kecuali orang yang dinasihati tidak memahami isyaratmu, maka harus secara terus terang. Jangan engkau memberikan nasihat dengan syarat harus diterima darimu. Jika engkau melampaui batas adab-adab tadi maka engkau akan tergolong orang yang zhalim, bukan pemberi nasihat, dan engkau dianggap gila ketaatan serta gila kekuasaan, bukan pemberi amanat dan pelaksana hak ukhuwah. Ini bukanlah termasuk hukum akal dan hukum persahabatan, melainkan hukum rimba seperti seorang penguasa dengan rakyatnya, dan tuan dengan hamba sahayanya.”[41]
Imam asy-Syafi’i t berkata dalam sya’irnya:
تَغَمَّدْنِي بِنُصْحِكَ فِي انْفِرَادِيْ* وَجَنِّبْنِيْ النَّصِيْحَةَ فِي الْجَمَاعَةْ
فَإِنَّ النُّصْحَ بَيْنَ النَّاسِ نَوْعٌ * مِنَ التَّوبِيْخِ لَا أَرْضَى اسْتِمَاعَهْ
وَإِنْ خَالَفْتَنِيْ وَعَصَيْتَ قَوْلِيْ *فَلَا تَجْزَعْ إِذَا لَمْ تُعْطَ طَاعَةْ
Tutupilah kesalahanku dengan nasihatmu ketika aku seorang diri
hindarilah menasihatiku di tengah khalayak ramai
karena memberikan nasihat di hadapan banyak orang sama saja
dengan memburuk-burukkan, aku tidak sudi mendengarnya
jika engkau menyalahiku dan tidak mengikuti ucapanku
maka janganlah engkau kaget bila nasihatmu tidak ditaati.[42]
FAWA’ID HADITS
Nasihat memiliki kedudukan yang besar dan agung dalam agama Islam, dan merupakan pokok agama.
Nasihat ditujukan kepada Allâh, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum Muslimin, dan kepada kaum Muslimin pada umumnya.
Wajibnya menasihati para pemimpin kaum Muslimin dengan cara yang dibenarkan menurut syari’at Islam.
Anjuran menasihati kaum Muslimin dalam perkara dunia dan akhirat mereka.
Wajibnya memurnikan kecintaan kepada Allâh, mengagungkan hak-hak-Nya dan taat kepada-Nya sebagai realisasi nasihat untuk Allâh.
Wajibnya membaca, mempelajari, serta mentadaburkan al-Qur-an. Wajib memahami al-Qur-an dan as-Sunnah mengikuti pemahaman Salafush Shalih.
Wajib ikhlas dalam beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla .
Wajib ikhlas dalam memberikan nasihat.
Tidak boleh khianat dalam memberikan nasihat
Nasihat dikatakan agama karena iman terdiri dari perkataan dan perbuatan.
Nasihat termasuk dari iman. Karena itulah Imam al-Bukhari memasukkan dalam kitab Shahîh-nya, dalam Kitab “al-Îmân”.
Baiknya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengajarkan agama kepada para Sahabatnya, karena Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut secara global kemudian merincinya.
Para Sahabat sangat berkeinginan keras untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Bila ada yang tidak jelas, mereka bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Dakwah itu harus dimulai dari yang paling penting kemudian yang penting.
Wajibnya beriman dengan apa yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, taat kepadanya, membenarkan dan menghidupkan sunnah-sunnah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
MARAJI’
Kutubus sittah dan kitab hadits lainnya.
Ta’zhiim Qadrish Shalaah, Imam Muhammad bin Nashr al-Marwazi. Tahqiq dan Takhrij: Dr. Abdurrahman bin Abdul Jabbar al-Fariyuwa’i, cet. Maktabah ad-Daar, cet. I, Madinah an-Nabawiyyah.
Syarah Shahih Muslim,al-Imam an-Nawawi.
Syarhus Sunnah,al-Imam al-Baghawi.
Fat-hul Baari, al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Atsqalani.
An-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits, Ibnul Atsiir.
Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqiq: Syaikh Syu’aib al-Arnauth dan Ibrahim Baajis.
Syarhul Arba’iin an-Nawawiyyah, al-‘Allamah Muhammad Hayat as-Sindi. Tahqiq: Hikmat bin Ahmad al-Hariri, cet. I, Daar Ramaadi, th.1415 H.
Irwaa-ul Ghaliil fii Takhriiji Ahaadiits Manaaris Sabiil, Syaikh Imam al-Albani.
Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah, Syaikh Imam al-Albani.
Qawaa’id wa Fawaa-id minal ‘Arba’iin an-Nawawiyyah, Syaikh Nazhim Muhammad Sulthan.
Al-Waafi fii Syarhil Arba’iin an-Nawawiyyah, Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
Syarhul Arba’iin an-Nawawiyyah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.
Fiqih Nasehat, Fariq bin Ghasim Anuz.
Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas.
Dan kitab-kitab lainnya yang disebutkan dalam catatan kaki.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02-03/Tahun XXI/1438H/2017M.Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله تعالى ]
_______
Footnote
[1] Tamim bin Aus ad-Dari Radhiyallahu anhu, beliau adalah Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Ruqayyah. Nama lengkapnya Tamim bin Aus bin Kharijah bin Suud bin Jadzimah al-Lakhmi al-Filasthini ad-Dari. Dulunya ia adalah seorang Nasrani dan sebagai rahib dan ahli ibadah penduduk Palestina. Kemudian ia pindah ke Madinah lalu masuk Islam bersama saudaranya, Nu’aim, pada tahun 9 H. Ia menetap di Madinah sampai akhirnya pindah ke Syam setelah terjadinya pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan Radhiyallau anhu.
[2] Lihat Lisanul Arab (XIV/158-159) bagian kata “Nashaha”, cet. I/Dâr Ihya-ut Turats al-Arabi, th. 1408 H.
[3] Syarah Shahîh Muslim (II/37).
[4] Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/219); lihat juga an-Nihâyah fî Gharibîl Hadîts (hlm. 919),cet. Dâr Ibnul Jauzi.
[5] Al-Wafi (hlm. 41).
[6] Shahih: HR. Abu Dawud (no. 1949), an-Nasai (V/256), dan at-Tirmidzi (no. 2975). Lihat Fat-hul Bâri (I/138).
[7] Fat-hul Bâri (I/138).
[8] Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/218).
[9] Ta’zhîmu Qadrish Shalâh (II/691-692).
[10] Syarah Shahîh Muslim (II/38) oleh Imam an-Nawawi.
[11] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/222).
[12] Lihat Syarhul Arba’în an-Nawawiyah (hlm. 47-48) oleh Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi rahimahullah, cet. I—Dâr Ramadi, th. 1415 H.
[13] Ta’zhîm Qadrish Shalâh (II/693).
[14] Lihat al-Wâfî fî Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah (hlm. 42).
[15] Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah (hlm. 48) oleh Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi.
[16] Shahih: HR. Muslim (no. 804) dari Abu Umamah al-Bahili I.
[17] Shahih: HR. Abu Dawud (no. 1464) dan at-Tirmidzi (no. 2914) dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu anhuma.
[18] Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 7527) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[19] Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 5027) dari Utsman bin Affan Radhiyallahu anhu.
[20] Lihat al-Wâfi fî Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah (hlm. 42-43).
[21] Ta’zhîmu Qadrish Shalâh (II/693).
[22] Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah (hlm. 48) karya Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi rahimahullah.
[23] Al-Wafi (hlm. 43).
[24] Ta’zhîm Qadrish Shalâh (II/693-694).
[25] Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah (hlm. 48) oleh Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi rahimahullah.
[26] Al-Wafi (hlm. 44).
[27] Hasan: HR. Ahmad (V/42, 48-49) dari Abi Bakrah, Nufai’ bin Harits I. Hadits ini hasan, lihat Silsilatul Ahâdîts ash-Shahîhah (V/375-376).
[28] Shahih: HR. Muslim (no. 1849 [56]).
[29] Shahih: HR. Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah pada Bab “Kaifa Nashihatur Ra’iyyah lil Wulât” (II/ 507-508 no. 1096, 1097, 1098), Ahmad (III/403-404), dan al-Hakim (III/290) dari Iyadh bin Ghunm Radhiyallahu anhu. Lafazh ini milik Ibnu Abi Ashim.
[30] Shahih: HR. Abu Dawud (no. 4344), at-Tirmidzi (no. 2174), dan Ibnu Majah (no. 4011) dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 491).
[31] Al-Wafi (hlm. 44-45).
[32] Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah (hlm. 48), Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi rahimahullah.
[33] Lihat al-Wâfî fî Syarah al-Arba’în an-Nawawiyyah (hlm. 45).
[34] Shahih: HR. Muslim (no. 2162 [5]) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu .
[35] Al-Wafi (hlm. 45).
[36] Qawâ’id wa Fawâ-id (hlm. 94-95).
[37] Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 57) dan Muslim (no. 56).
[38] Qawâ’id wa Fawâ-id minal Arba’în an-Nawawiyyah (hlm. 95).
[39] Al-Wâfi fî Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah (hlm. 46).
[40] Raudhatul ‘Uqalâ’ wa Nuzhatul Fudhalâ’ (hlm. 176-177).
[41] Kitâbul Akhlaq was Siyar (hlm. 122-123).
[42] Diwân Imam asy-Syafi’i (hlm. 275). Dikumpulkan dan disusun oleh Muhammad Abdurrahim, cet. Darul Fikr.
0 comments:
Post a Comment