Dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مُرُوْا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِيْنَ ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
Suruhlah anak kalian shalat ketika berumur tujuh tahun! Dan pukullah mereka ketika berusia sepuluh tahun (jika mereka meninggalkan shalat)! Dan pisahkanlah tempat tidur mereka (antara anak laki-laki dan anak perempuan)!
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini hasan. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 495; Ahmad, II/180, 187; Al-Hakim, I/197; Dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, II/406, no. 505 dengan sanad hasan, dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya. Hadits ini dinyatakan sebagai hadits hasan oleh Imam an-Nawawi t dalam al-Majmû’ dan Riyâdhush Shâlihîn. Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Sanadnya hasan shahih.” Lihat Shahîh Sunan Abi Dawud, II/401-402, no. 509.
Hadits ini hasan, karena dalam sanadnya ada Sawwar bin Dawud Abu Hamzah al-Muzani as-Shairafi. Dia dikatakan tsiqah oleh Ibnu Ma’in. Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Tidak apa-apa.” Imam ad-Daraquthni berkata, “Tidak bisa dijadikan mutâba’ah, tapi haditsnya bisa dipakai. [Lihat Mîzânul I’tidâl II/345, no. 3611].
Adapun ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, maka sanadnya hasan dan dipakai oleh para Ulama, seperti Imam Ahmad, Imam Ibnul Madini, Imam Ishaq bin Rahawaih, dan Imam al-Bukhâri.
Hadits ini ada syahid dari Sabrah bin Ma’bad al-Juhani Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مُرُوا الصَّبِيَّ بِالصَّلَاةِ إِذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِيْنَ ، وَإِذَا بَلَغَ عَشْرَ سِنِيْنَ فَاضْرِبُوْهُ عَلَيْهَا
Perintahkanlah anak-anakmu untuk shalat ketika telah berumur tujuh tahun. Dan apabila telah berumur 10 tahun belum shalat, maka pukullah ia.[1]
SYARAH HADITS
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allâh terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” [At-Tahrîm/66:6]
‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu mengatakan, “Yaitu ajarkanlah adab dan ilmu kepada mereka.”[2]
‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhu mengatakan, “Hendaklah kalian senantiasa melakukan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan takutlah kalian dalam berbuat maksiat kepada Allâh, serta perintahkanlah keluargamu agar berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla niscaya Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan menyelamatkan kalian dari api neraka.”
Mujâhid rahimahullah mengatakan, “Hendaklah kalian bertakwa kepada Allâh dan hendaklah kalian mewasiatkan kepada keluarga kalian untuk selalu bertakwa kepada Allâh.”
Qatâdah rahimahullah mengatakan, “Hendaklah kalian menyuruh mereka untuk taat kepada Allâh dan melarang mereka berbuat maksiat kepada Allâh! Hendaklah kalian menegakkan perintah kepada mereka agar mereka selalu melaksanakan perintah Allâh. Suruhlah mereka melakukan kebaikan dan bersegera dalam melakukan kebaikan. Apabila kalian melihat mereka berbuat maksiat kepada Allâh, maka hendaklah kalian larang dan cegah.”
Adh-Dhahhak dan Muqatil mengatakan, “Wajib atas seorang Muslim untuk mengajarkan keluarganya, kerabat, dan para budaknya, baik laki-laki maupun perempuan, semua yang Allâh wajibkan atas mereka dan semua yang dilarang oleh Allâh Azza wa Jalla .”[3]
Ayat dalam surat at-Tahrîm ini bentuknya umum, yakni wajib bagi setiap kepala keluarga menjaga anggota keluarganya dari api neraka. Yaitu menyuruh mereka untuk taat kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan untuk menjauhkan semua perbuatan dosa dan maksiat. Wajib mengajak dan mengajarkan kepada mereka bagaimana beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla , juga mentauhidkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala , mengajarkan mereka agar berbakti kepada kedua orang tua, mengerjakan shalat, berbuat kebaikan kepada keluarga, tetangga, sanak kerabat, dan lainnya. Begitu juga wajib melarang mereka dari berbuat syirik, melarang dari beribadah kepada selain Allâh Azza wa Jalla , melarang dari perbuatan keji dan munkar. Serta melarang mereka dari perbuatan dosa dan maksiat.
Orang tua wajib melarang dan mencegah mereka dari perbuatan maksiat, tidak boleh diam.
Perintah yang paling besar adalah tauhid kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , kemudian shalat wajib yang lima waktu sehari semalam. Seorang bapak, wajib memerintahkan istri dan anak-anaknya untuk shalat lima waktu, memperhatikan dan mengawasi mereka. Jangan sampai mereka tidak melaksanakan shalat. Karena meninggalkan shalat merupakan dosa besar yang paling besar setelah syirik.
Imam asy-Syafi’i (wafat th. 204 H) rahimahullah berkata, “Wajib bagi para bapak dan ibu untuk mendidik dan mengajarkan adab kepada anak-anak mereka, dan wajib mengajarkan cara bersuci (berwudhu, mandi, dan lainnya) dan (tata cara) shalat. Boleh orang tua memukul anak-anak mereka bila sudah paham (tentang wajibnya shalat). Anak laki-laki yang sudah bermimpi basah (baligh) dan anak perempuan yang sudah haidh atau genap berusia lima belas tahun, maka mereka sudah wajib mengerjakannya.”[4]
Perintahkanlah istri, anak-anak, dan anggota keluarga yang ada di rumah kita untuk mengerjakan shalat wajib yang lima waktu sehari semalam dan bersabarlah dalam menyuruh mereka melakukannya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا أَصَابَكَ ۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
Wahai anakku! Laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.” [Luqmân/31:17]
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا ۖ لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا ۖ نَحْنُ نَرْزُقُكَ ۗ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَىٰ
Dan perintahkanlah kepada keluargamu mengerjakan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberikan rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik di akhirat) adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” [Thâhâ/20:132]
Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kita dan keluarga kita untuk mengerjakan shalat. Pertama kali, Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyuruh kita untuk shalat, kemudian Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyuruh keluarga kita untuk shalat. Ini memerlukan waktu dan kesabaran. Tidak boleh kita lalai dalam mengajak keluarga kita untuk shalat karena hal ini merupakan tanggung jawab. Dalam contoh realitanya, seorang anak yang pulang sekolah, pulang kuliah, maupun pulang dari bermain, tanyakanlah kepadanya tentang masalah shalat terlebih dahulu sebelum masalah yang lain. Begitu juga kepada sang istri, tanyakanlah tentang shalat ketika sudah tiba waktunya kemudian perintahkanlah untuk mendirikan shalat sehingga kewajiban untuk mengajak dan mengerjakan shalat telah kita tegakkan di lingkungan keluarga.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ ، وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، وَالْأَمِيْرُ رَاعٍ ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَىٰ أَهْلِ بَيْتِهِ ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَىٰ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ ، فَكُلُّكُمْ رَاعٍ ، وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggung jawab atas orang yang dipimpinnya. Seorang amir (raja) adalah pemimpin, seorang suami pun pemimpin atas keluarganya, dan istri juga pemimpin bagi rumah suaminya dan anak-anaknya. Setiap kalian adalah pemimpin dan kamu sekalian akan diminta pertanggungjawabannya atas orang yang dipimpinnya.[5]
Perhatikanlah wahai saudaraku! Apakah keluarga kita telah melakukan shalat pada waktunya setiap hari? Terlebih lagi bimbingan kepada anak kita tentang masalah shalat. Setiap orang tua wajib mengajarkan anaknya yang telah menginjak usia tujuh tahun untuk mengerjakan shalat, bahkan sejak usia dini. Apabila anak itu sudah mencapai sepuluh tahun ke atas, maka ajakan berupa perintah untuk mengerjakan shalat harus lebih tegas lagi. Seorang Muslim harus terus tetap mengajak keluarganya untuk mengerjakan shalat dan tidak boleh berdiam diri tanpa mengajak mereka untuk shalat.
Ingatkanlah selalu keluarga kita tentang kewajiban mendirikan shalat karena shalat adalah perkara yang pertama kali dihisab pada hari Kiamat dan shalat merupakan pesan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terakhir kepada ummatnya. Seandainya kita tidak menyuruh keluarga kita untuk mendirikan shalat, maka ingat akibatnya akan berbahaya bagi kita, sebagai kepala keluarga, kita akan ditanya oleh Allâh Azza wa Jalla pada hari Kiamat.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dalam hadits di atas, yang artinya, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian bertanggung jawab atas orang yang dipimpinnya.”
Maksudnya, setiap kepala rumah tangga akan ditanya oleh Allâh Azza wa Jalla pada hari kiamat tentang keluarga yang dipimpinnya; Apakah dia menyuruh keluarganya untuk taat kepada Allâh Azza wa Jalla dan melarang mereka dari perbuatan maksiat atau tidak? Apakah mereka menyuruh keluarganya melaksanakan shalat atau tidak?
Semua manusia akan dihisab pada hari kiamat, dan yang pertama dihisab pada hari kiamat adalah masalah shalat. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَوَّلُ مَا يُـحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلَاةُ ، فَإِنْ صَلَحَتْ صَلَحَ لَهُ سَائِرُ عَمَلِهِ ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ
Perkara yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya baik, maka seluruh amalnya pun baik. Apabila shalatnya buruk, maka seluruh amalnya pun buruk.[6]
Dalam hadits yang lain, dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ الصَّلَاةُ ، فَإِنْ صَلَحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْـجَحَ ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ ، وَإِنِ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيْضَةٍ ؛ قَالَ الرَّبُّ : اُنْظُرُوْا ! هَلْ لِعَبْدِيْ مِنْ تَطَوُّعٍ ؟ فَيُكَمَّلُ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الْفَرِيْضَةِ ، ثُمَّ يَكُوْنُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَىٰ ذٰلِكَ
Sungguh amalan yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, maka beruntung dan selamat-lah dia. Namun jika rusak, maka merugi dan celakalah dia. Jika dalam shalat wajibnya ada yang kurang, maka Rabb Yang Mahasuci lagi Mahamulia berkata, ‘Lihatlah, apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah.’ Maka shalat wajibnya disempurnakan oleh shalat sunnah tadi. Lalu dihisablah seluruh amalan wajibnya sebagaimana sebelumnya.’”[7]
Wahai saudaraku…
Sekaranglah waktunya untuk kita mengingatkan keluarga kita agar mendirikan kewajiban shalat. Karena waktu begitu pendek, entah kapan nyawa akan dicabut. Ini juga agar generasi sepeninggal kita tetap dalam ketaatan mengerjakan kewajiban mendirikan shalat. Allâh Azza wa Jalla telah mengingatkan tentang generasi mendatang sepeninggal orang-orang yang taat dalam firman-Nya:
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ ۖ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
Maka datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan. [Maryam/19:59]
Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla telah menjelaskan bahwa sepeninggal mereka (orang-orang yang taat), akan ada generasi yang menyia-nyiakan shalat dan mengikuti hawa nafsu serta akan menemui kesesatan.
Bentuk menyia-nyiakan shalat itu banyak, diantaranya melalaikan kewajiban shalat atau melalaikan waktu shalat dengan tidak melaksanakan di awal waktu. Yang dengan itu, mereka akan menemui kesesatan, kerugian dan keburukan.[8]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memerintahkan ummatnya agar mengingatkan putra-putri mereka untuk mengerjakan shalat ketika telah berumur tujuh tahun, dan apabila sudah berumur sepuluh tahun belum mau shalat, maka harus dipukul supaya dia mau shalat.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مُرُوا الصَّبِيَّ بِالصَّلَاةِ إِذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِيْنَ ، وَإِذَا بَلَغَ عَشْرَ سِنِيْنَ فَاضْرِبُوْهُ عَلَيْهَا
Perintahkanlah anak-anakmu untuk shalat ketika telah berumur tujuh tahun. Dan apabila telah berumur 10 tahun belum shalat, maka pukullah ia.[9]
Makna sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pemukulan adalah pukulan fisik bukan pukulan hati dan tidak mengandung konotasi yang lain. Namun, pukulan itu bukan pukulan yang melukai atau mencederai. Pukulan itu adalah pukulan yang mendidik.
Ini adalah ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang merupakan pendidikan Islam.
Kepada setiap kepala rumah tangga, hendaklah ia menyuruh isteri, anak, pembantu dan sopirnya untuk mengerjakan shalat.
Setiap kepala rumah tangga, ayah dan ibu, wajib menyuruh anak-anaknya untuk shalat. Wajib memperhatikan orang yang di bawah tanggungannya, agar mereka melaksanakan shalat wajib yang lima waktu.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
Peliharalah semua salat dan salat wustha. Dan laksanakanlah (salat) karena Allâh dengan khusyuk.” [Al-Baqarah/2:238]
Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan setiap kepala rumah tangga agar anak laki-laki dan perempuan dipisah kamarnya, dipisah tempat tidurnya. Tujuannya agar mereka terbiasa dipisah dalam tidur antara anak laki-laki dan perempuan. Pemisahan ini juga sebagai pencegahan dari hal-hal yang membawa kepada perbuatan keji.
- FAWA’ID
- Setiap kepala rumah tangga bertanggung jawab atas orang-orang yang ada dalam rumah tangganya.
- Setiap orang tua wajib menjaga diri dan keluarganya dari api neraka.
- Setiap orang tua wajib mendidik istri dan anak-anaknya di atas agama Islam yang benar.
- Pertama kali yang wajib diajarkan kepada istri dan anak-anak adalah tentang tauhid, mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allâh saja.
- Wajib bagi orang tua mengajarkan keluarga dan anak-anaknya tentang wudhu dan shalat.
- Orang tua wajib menganjurkan anak-anaknya shalat ketika mereka berumur tujuh tahun.
- Pentingnya masalah tauhid dan shalat.
- Boleh memukul anak bila ia tidak mau shalat, tetapi dengan pukulan yang mendidik dan tidak melukai.
- Umur tamyîz (mulai berpikir dan bisa membedakan antara baik dan buruk) adalah umur tujuh tahun, sedangkan pubertas (mulai beranjak baligh) dimulai umur sepuluh tahun.
- Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membedakan antara umur tujuh tahun dan sepuluh tahun, agar para pendidik memperhatikan fase-fase pendidikan anak.
- Shalat merupakan tiang agama dan yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah masalah shalat.
- Wajib mengerjakan shalat lima waktu dengan ikhlas dan sesuai contoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
- Shalat anak-anak yang sudah mumayyiz (sudah bisa membedakan) adalah sah.[10]
- Orang tua wajib melindungi anak-anak mereka dari hal-hal yang menimbulkan fitnah dalam rumah tangga.
- Orang tua wajib memisahkan tempat tidur anak laki-laki dan perempuan.
- Allâh Azza wa Jalla akan memberikan rahmat, keberkahan, dan cahaya bagi rumah tangga yang melaksanakan ketaatan-ketaatan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , menjauhkan maksiat, dan senantiasa menjaga shalat yang lima waktu.
- Seluruh amal pada hari kiamat, baik dan tidaknya tergantung dari tauhid dan shalatnya.
- Tafsîr Ibni Katsîr, cet. Daar Thaybah.
- Tafsîr ath-Thabari.
- Fat-hul Qadîr.
- Kutubus sittah.
- Musnad Imam Ahmad bin Hanbal.
- Mîzânul I’tidâl, Imam adz-Dzahabi.
- Syarhus Sunnah, Imam al-Baghawi.
- Shahîh Sunan Abi Dawud, Imam al-Albani.
- Shahîh al-Jâmi’is Shaghîr, Imam al-Albani.
- Bahjatun Nâzhirîn Syarah Riyâdhis Shâlihîn, Salim bin ‘Ied al-Hilali.
- Sebaik-Baik Amal Adalah Shalat, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Pustaka at-Taqwa, th. 1437 H/2016 M.
- Sifat Wudhu dan Shalat Nabi, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Pustaka Imam Syafi’i, th. 1437 H/2016 M.
MARAAJI’:
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XX/1438H/2016M.]
_______
Footnote
[1] Shahih: HR. Abu Dawud, no. 494; At-Tirmidzi, no. 407; Ad-Dârimi, I/333; Al-Hakim, I/201 dan lainnya, dari Sahabat Sabrah bin Ma’bad al-Juhani z . Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr, no. 5867 dan Irwâ-ul Ghalîl, no. 247
[2] Tafsîr Ibni Katsîr, VIII/167 dan Fat-hul Qadîr, V/254
[3] Tafsiir Ibni Katsir, VII/167; Tafsîr ath-Thabari, XII/156-157 dan Fat-hul Qadîr, V/253-254
[4] Syarhus Sunnah, II/407, karya Imam al-Baghawi.
[5] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 893, 5188, 5200; Muslim, no. 1829; Ahmad, II/5, 54-55, 111 dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma. Lafazh ini milik al-Bukhâri.
[6] Shahih: HR. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausath, II/512, no. 1880 dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu. Hadits ini dihukumi shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr, no. 2573 dan Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 1358
[7] Shahih: HR. At-Tirmidzi, no. 413; An-Nasa-i, I/232-233 dan al-Baihaqi, II/387. Hadits ini dihukumi shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb, no. 540 dan Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr, no. 2020
[8] Lihat Tafsîr Ibnu Katsir, V/243-244, cet. Daar Thaybah.
[9] Shahih: HR. Abu Dawud, no. 494; At-Tirmidzi, no. 407; Ad-Dârimi, I/333; Al-Hakim, I/201 dan lainnya, dari Sahabat Sabrah bin Ma’bad al-Juhani Radhiyallahu anhu . Hadits ini dihukumi shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr, no. 5867 dan Irwâ-ul Ghalîl, no. 247
[10] Syarhus Sunnah, II/407
_______
Footnote
[1] Shahih: HR. Abu Dawud, no. 494; At-Tirmidzi, no. 407; Ad-Dârimi, I/333; Al-Hakim, I/201 dan lainnya, dari Sahabat Sabrah bin Ma’bad al-Juhani z . Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr, no. 5867 dan Irwâ-ul Ghalîl, no. 247
[2] Tafsîr Ibni Katsîr, VIII/167 dan Fat-hul Qadîr, V/254
[3] Tafsiir Ibni Katsir, VII/167; Tafsîr ath-Thabari, XII/156-157 dan Fat-hul Qadîr, V/253-254
[4] Syarhus Sunnah, II/407, karya Imam al-Baghawi.
[5] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 893, 5188, 5200; Muslim, no. 1829; Ahmad, II/5, 54-55, 111 dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma. Lafazh ini milik al-Bukhâri.
[6] Shahih: HR. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausath, II/512, no. 1880 dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu. Hadits ini dihukumi shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr, no. 2573 dan Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 1358
[7] Shahih: HR. At-Tirmidzi, no. 413; An-Nasa-i, I/232-233 dan al-Baihaqi, II/387. Hadits ini dihukumi shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb, no. 540 dan Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr, no. 2020
[8] Lihat Tafsîr Ibnu Katsir, V/243-244, cet. Daar Thaybah.
[9] Shahih: HR. Abu Dawud, no. 494; At-Tirmidzi, no. 407; Ad-Dârimi, I/333; Al-Hakim, I/201 dan lainnya, dari Sahabat Sabrah bin Ma’bad al-Juhani Radhiyallahu anhu . Hadits ini dihukumi shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr, no. 5867 dan Irwâ-ul Ghalîl, no. 247
[10] Syarhus Sunnah, II/407
0 comments:
Post a Comment