عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْـخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ؛ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّـى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : «مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ ، فَإِنَ لَـمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْـمَـانِ».
Dari Abu Sa’îd al-Khudri Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya (kekuasaannya); jika ia tidak mampu, maka dengan lidahnya (menasihatinya); dan jika ia tidak mampu juga, maka dengan hatinya (merasa tidak senang dan tidak setuju), dan demikian itu adalah selemah-lemah iman.’”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh :
1. Muslim (no. 49).
2. Ahmad (III/10, 20, 49, 52-53, 54).
3. Abu Dâwud (no. 1140, 4340).
4. An-Nasâ’i (VIII/111-112).
5. At-Tirmidzi (no. 2172).
6. Ibnu Mâjah (no. 1275, 4013).
7. ‘Abdurrazzâq dalam al-Mushannaf (no. 5649).
8. Abu ‘Awanah (I/35).
9. Ibnu Hibbân (no. 306, 307) dalam at-Ta’lîqâtul Hisân.
10. Abu Ya’la (no. 1005, 1198).
11. Al-Baihaqi dalam Sunannya (III/296-297) dan dalam Syu’abul Iimân (no. 7153).
12. Ath-Thayâlîsi dalam Musnadnya(no. 2310).
13. Ibnu Mandah dalam al-Iimân (no. 179-182).
14. Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ (VII/304, no. 10611; X/27, no. 14387).
Hadits yang semakna juga diriwayatkan dari banyak jalur.
SYARAH HADITS
Hadits di atas menunjukkan kewajiban mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuan. Pengingkaran terhadap kemungkaran hukumnya wajib, karena orang yang hatinya tidak mengingkari kemungkaran, menunjukkan iman telah hilang dari hatinya.[1]
1. Definisi Amar Ma’rûf Nahi Munkar
A. Definisi al-Ma’ruf
ar-Râghib al-Ashfahani rahimahullah (wafat th. 425 H) mengatakan, “al-Ma’rûf adalah satu nama bagi setiap perbuatan yang diketahui kebaikannya oleh akal atau syari’at, sedangkan al-munkar adalah apa yang diingkari oleh keduanya.”[2]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H) mengatakan, “al-Ma’rûf adalah satu nama yang mencakup segala yang dicintai oleh Allâh, berupa iman dan amal shalih.”[3]
Sedang menurut syari’at, al-ma’rûf adalah segala hal yang dianggap baik oleh syari’at, diperintah melakukannya, dipuji dan orang yang melakukannya dipuji pula. Segala bentuk ketaatan kepada Allâh masuk dalam pengertian ini. al-Ma’rûf yang paling utama adalah mentauhidkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan beriman kepada-Nya.[4]
B. Definisi al-Munkar
al-munkar adalah segala yang dilarang oleh syari’at atau segala yang menyalahi syari’at.[5]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “al-Munkar adalah satu nama yang mencakup segala yang di larang Allâh.”[6]
Ketika menerangkan sifat umat Islam, Imam asy-Syaukâni rahimahullah mengakatakan, “Sesungguhnya mereka menyuruh kepada (perbuatan) yang ma’rûf dalam syari’at ini dan melarang dari yang mungkar. Dan yang dijadikan tolok ukur bahwa sesuatu itu ma’rûf atau mungkar adalah al-Kitab (al-Qur’ân) dan as-Sunnah.”[7]
Dari penjelasan ini, jelas bahwa menentukan suatu keyakinan, perkataan atau perbuatan itu ma’rûf atau munkar bukanlah hak pelaku amar ma’rûf nahi munkar. Namun semua itu dikembalikan kepada penjelasan al-Qur’ân dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih.[8]
2. Keutamaan Amar Ma’rûf Nahi Munkar
Imam Ibnu Qudâmah al-Maqdisi rahimahullah (wafat th. 689 H) mengatakan, “Ketahuilah, bahwa amar ma’rûf nahi munkar adalah poros yang paling agung dalam agama. Ia merupakan tugas penting yang karenanya Allâh mengutus para Nabi. Andaikan tugas ini ditiadakan, maka akan muncul kerusakan di mana-mana dan dunia akan hancur.”[9]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Amar ma’rûf nahi munkar merupakan penyebab Allâh Subhanahu wa Ta’ala menurunkan kitab-kitab-Nya dan mengutus para Rasûl-Nya, serta bagian inti agama.”[10]
Di antara keutamaan amar ma’rûf nahi munkar yaitu:
a. Termasuk kewajiban paling penting dalam Islam.
b. Sebagai sebab keutuhan, keselamatan dan kebaikan bagi masyarakat.
c. Menghidupkan hati.
d. Sebagai faktor yang bisa mengundang pertolongan, kemuliaan dan kekuasaan di bumi.
e. Amar ma’rûf nahi munkar termasuk shadaqah.
f. Menolak marabahaya.
g. Orang yang mencegah dari perbuatan mungkar akan diselamatkan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
h. Amar ma’rûf nahi mungkar termasuk sifat-sifat orang mukmin yang shalih.
i. Amar ma’rûf nahi munkar adalah jihad yang paling utama.
j. Amar ma’rûf nahi munkar termasuk sebab dosa diampuni.
k. Amar ma’rûf nahi munkar adalah perkataan yang paling baik dan seutama-utama amal.
3. Akibat dan Pengaruh Jelek Meninggalkan Amar Ma’rûf Nahi Munkar
a. Mendapat laknat Allâh Subhanahu wa Ta’ala , celaan dan kehinaan
b. Kerusakan akan semakin parah.
c. Mendapat hukuman dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
d. Dikuasai oleh musuh-musuh Islam.
e. Do’a tidak dikabulkan.
f. Akan dibinasakan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
g. Akan dimintai pertanggung jawabannya pada hari kiamat.
h. Jatuh dalam kebinasaan, membuat hati sakit atau bahkan mematikannya.
4. Hukum Mengingkari Kemungkaran
Mengingkari kemungkaran dengan tangan dan lisan itu ada dua :
Pertama : Fardhu kifayah.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh (berbuat) yang ma’rûf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” [Ali ‘Imrân/3:104]
Mengenai tafsir ayat ini, al-Hâfizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Maksud ayat ini ialah hendaklah ada segolongan dari umat ini yang siap memegang peran ini (amar ma’rûf nahi munkar)…”[11]
Imam Ibnul ‘Arabi berkata, “Ayat ini dan ayat berikutnya merupakan dalil bahwa amar ma’rûf nahi munkar itu fardhu kifâyah…”[12]
Oleh karena itu wajib bagi ulil amri (pemerintah) untuk menunjuk sejumlah orang yang memiliki kemampuan dan persiapan untuk menjalankan tugas ini. Karena ada beberapa perbuatan mungkar yang tidak bisa diubah kecuali oleh sejumlah orang tertentu yang memiliki ilmu, pemahaman yang benar dan sikap hikmah. Misalnya untuk membantah firqah Bâthiniyah (shufiyah) dan menjelaskan kekeliruan keyakinan mereka dan lainnya. Apabila lembaga ini menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya maka gugurlah kewajiban dari yang lainnya.[13]
Pengingkaran kemungkaran dengan tangan dan lisan, wajib dilakukan sesuai kemampuan.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا عُمِلَتِ الْـخَطِيْئَةُ فِـي الْأَرْضِ كَانَ مَنْ شَهِدَهَا كَرِهَهَا وَقَالَ مَرَّةً : أَنْكَرَهَا كَمَنْ غَابَ عَنْهَا وَمَنْ غَابَ عَنْهَا فَرَضِيَهَا كَانَ كَمَنْ شَهِدَهَا
Jika sebuah kesalahan dilakukan di muka bumi, maka orang yang melihatnya kemudian membencinya (Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: lalu mengingkarinya) sama seperti orang yang tidak melihatnya sementara orang tidak melihatnya namun merestuinya maka sama seperti orang yang melihatnya.[14]
Kedua, Fardhu ‘ain.
Keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya, “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya…,” menunjukkan bahwa mengingkari kemungkaran wajib atas setiap individu yang memiliki kemampuan serta mengetahui kemungkaran atau melihatnya.[15]
Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya amar ma’rûf nahi munkar adalah fardhu kifâyah kemudian terkadang menjadi fardhu ‘ain jika pada suatu keadaan dan kondisi tertentu tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia.”[16]
Jadi, orang yang melihat kesalahan kemudian membencinya dengan hati, sama seperti orang yang tidak melihatnya namun tidak mampu mengingkarinya dengan lisan dan tangannya. Sementara orang yang tidak melihat kesalahan itu kemudian merestuinya, ia sama seperti orang yang melihatnya, namun tidak mengingkarinya padahal ia mampu mengingkarinya. Karena merestui kesalahan-kesalahan termasuk perbuatan haram yang paling buruk serta menyebabkan pengingkaran dalam hati tidak dapat dilaksanakan padahal pengingkaran dengan hati merupakan kewajiban bagi setiap muslim dan tidak gugur dari siapa pun dalam semua kondisi.[17]
Dari penjelasan dapat diketahui bahwa mengingkari kemungkaran dengan hati adalah wajib bagi setiap Muslim dalam semua kondisi, sedang mengingkarinya dengan tangan dan lidah itu sesuai dengan kemampuan. Sebagaimana dalam hadits Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَا مِنْ قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيْهِمْ بِالْـمَعَاصِيْ يَقْدِرُوْنَ عَلَـى أَنْ يُغَيِّرُوْا ثُمَّ لَا يُغَيِّرُوْا إِلَّا يُوْشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللهُ مِنْهُ بِعِقَابٍ.
Tidaklah suatu kaum yang dikerjakan ditengah-tengah mereka berbagai kemaksiatan yang mampu mereka mencegahnya namun tidak mereka cegah, melainkan Allâh pasti akan menurunkan hukuman kepada mereka semua.[19]
Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللهَ لَيَسْأَلُ الْعَبْدَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَقُوْلَ : مَا مَنَعَكَ إِذْ رَأَيْتَ الْـمُنْكَرَ أَنْ تُنْكِرَهُ؟ فَإِذَا لَقَّنَ اللهُ عَبْدًا حُجَّتَهُ قَالَ : يَا رَبِّ ، رَجَوْتُكَ ، وَفَرِقْتُ مِنَ النَّاسِ.
Sesungguhnya Allâh pasti bertanya kepada seorang hamba pada hari Kiamat hingga Dia bertanya, ‘Apa yang menghalangimu dari mengingkari sebuah kemungkaran jika engkau melihatnya?’ Jika Allâh telah mengajarkan hujjah kepada hamba-Nya tersebut, hamba tersebut berkata, ‘Rabb-ku, aku berharap kepada-MU, dan aku tinggalkan manusia.[20]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam khutbahnya,
أَلَا لَا يَمْنَعَنَّ رُجُلًا هَيْبَةُ النَّاسِ أَنْ يَقُوْلَ بِحَقٍّ إِذَا عَلِمَهُ
Ingatlah, janganlah sekali-kali rasa segan kepada manusia menghalangi seseorang untuk mengatakan kebenaran jika ia mengetahuinya.
Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu menangis kemudian berkata, “Sungguh, demi Allah, kita melihat banyak hal kemudian kita segan.”
Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ahmad dengan tambahan,
فَإِنَّهُ لَا يُقَرِّبُ مِنْ أَجَلٍ وَلَا يُبَاعِدُ مِنْ رِزْقٍ أَنْ يُقَالَ بِحَقٍّ أَوْ يُذْكَرَ بِعَظِيْمٍ
Karena mengucapkan yang haq atau mengingatkan tentang suatu yang besar tidak mendekatkan kepada ajal dan tidak menjauhkan dari rezeki.[21]
Hadits tersebut ditafsirkan bahwa penghalang untuk mengingkari kemungkaran itu hanya sekedar segan dan bukannya takut yang menghapus kewajiban mengingkari kemungkaran.[22]
Bagaimana Hukum Mengingkari Kemungkaran Kepada Penguasa?
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الْـجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ (وفي رواية: عَدْلٍ) عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ.
Jihad terbaik ialah mengatakan kalimat yang haq (dalam riwayat lain: adil) kepada pemimpin yang zhalim.[23]
Sa’id bin Jubair Radhiyallahu anhu berkata, “Aku berkata kepada Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anuhma, ‘Aku memerintah kebaikan kepada penguasa dan melarangnya dari kemungkaran?’ Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma menjawab, ‘Jika engkau takut dia membunuhmu, jangan engkau lakukan.’ Aku mengulangi perkataanku itu tadi, namun Ibnu ‘Abbâs c menjawab seperti jawaban semula. Aku mengulangi perkataanku namun Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma tetap berkata seperti semula dan berkata, ‘Jika engkau memang harus melakukannya, maka kerjakan secara empat mata dengannya.’[24]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلَا يُبْدِهِ عَلَانِيَةً ، وَلكِنْ يَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَ إِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkan dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri dengannya. Jika penguasa itu mau mendengar nasihat itu, maka itu yang terbaik dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia telah melaksanakan kewajibannya[25]
Sedangkan membelot dari penguasa dengan mengangkat pedang (senjata) maka dikhawatirkan menimbulkan sejumlah fitnah yang menyebabkan pertumpahan darah kaum Muslimin. Jika seseorang ingin maju mengingkari kemungkaran para penguasa namun pada saat yang sama dikhawatirkan tindakannya akan membawa dampak negatif kepada keluarga dan tetangganya, maka ia sebaiknya tidak melakukannya. Karena tindakannya akan menimbulkan gangguan bagi orang lain. Itulah yang dikatakan oleh Fudhail bin ‘Iyâdh t dan yang lainnya. Jika seseorang khawatir dirinya dibunuh, atau dicambuk, atau dipenjara, atau diborgol, atau diasingkan, atau hartanya dirampas, dan ancaman-ancaman lainnya, maka kewajiban menyuruh para penguasa melakukan kebaikan dan melarang mereka dari kemungkaran menjadi gugur darinya. Ini ditegaskan para imam, diantaranya Imam Mâlik rahimahullah, Ahmad rahimahullah, Ishâq rahimahullah dan lain-lain.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan kaidah ini dengan memberikan contoh dalam pernyataan beliau, “Barangsiapa meneliti fitnah besar dan kecil yang terjadi dalam Islam, dia akan tahu bahwa fitnah itu disebabkan karena melalaikan pokok kaidah ini dan tidak sabar dalam (mengingkari) kemungkaran. Menuntut hilangnya kemungkaran, tetapi lahir darinya kemungkaran yang lebih besar. Dahulu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat satu kemungkaran besar di Makkah dan Beliau n tidak bisa mengubahnya. Bahkan ketika Allâh Subhanahu wa Ta’ala taklukkan Makkah menjadi negeri Islam, Beliau bertekad mengubah Ka’bah dan mengembalikannya sesuai pondasi bangunan Nabi Ibrahim Alaihissallam , tetapi tercegah (walaupun Beliau mampu) oleh kekhawatiran munculnya keburukan yang lebih besar, yaitu khawatir orang-orang Quraisy tidak bisa menerimanya karena mereka baru masuk Islam dan meninggalkan kekufuran. Oleh karena itu, tidak diizinkan mengingkari penguasa dengan tangan, karena menimbulkan kemungkaran yang lebih besar.”[26]
5. Tingkatan Dalam Mencegah Kemunkaran
Amar ma’rûf nahi munkar memiliki tingkatan yang harus diketahui oleh pelakunya sehingga apa yang dilakukannya sesuai dengan tuntutan syari’at dan adab-adab yang mesti diperhatikan. Tingkatan ini telah diterangkan oleh para Ulama dahulu dan yang sekarang, dan mereka senantiasa menasihati para pelaku amar ma’rûf nahi mungkar dengannya.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya syari’at ini berdiri di atas pondasi hikmah dan kemaslahatan dunia-akhirat bagi hamba-hamba Allah. Syari’at ini, seluruhnya adil, rahmat, maslahat dan hikmah. Maka setiap masalah yang keluar dari prinsip keadilan kepada kezhaliman, dari rahmat ke lawannya, dari maslahat ke mafsadat dan dari hikmah kepada kekerasan, maka itu tidak termasuk syari’at meskipun dimasukkan ke dalamnya dengan sebab takwil. Syari’at adalah cermin keadilan Allâh Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-Nya, rahmat-Nya diantara hamba-hamba-Nya, pemeliharaan-Nya di bumi dan hikmah Allah yang merupakan petunjuk paling sempurna yang membuktikan keberadaan Allâh Azza wa Jalla dan kejujuran Rasûl-Nya.”[27]
Beliau rahimahullah juga berkata, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mensyari’atkan kepada ummatnya untuk mengingkari kemungkaran agar terealisasi perbuatan ma’rûf yang dicintai Allâh dan Rasûl-Nya. Apabila mengingkari kemungkaran menimbulkan sesuatu yang lebih mungkar daripadanya dan lebih dimurkai oleh Allâh dan Rasûl-Nya maka tidak diperbolehkan untuk mengingkarinya meskipun Allâh membenci dan memurkai pelakunya. Ini seperti mengingkari para raja dan pemimpin dengan cara memberontak kepada mereka, karena hal itu adalah sumber dari setiap kejelekan dan fitnah sampai akhir masa.”[28]
Beliau rahimahullah melanjutkan, “Menghilangkan kemungkaran memiliki empat tingkatan:
1. Kemungkarannya hilang dan digantikan dengan lawannya, yaitu kebaikan.
2. Kemungkaran berkurang meskipun tidak hilang seluruhnya.
3. Kemungkaran hilang digantikan dengan kemungkaran yang semisalnya.
4. Kemungkaran tersebut digantikan dengan kemungkaran yang lebih berat (lebih besar).
Tingkatan yang pertama dan kedua disyari’atkan (untuk dilakukan). Tingkatan yang ketiga –tentang kebolehannya masuk ke area ijtihad-, dan tingkatan yang keempat haram (untuk dilakukan).
Berikut tingkatan mengubah kemungkaran yang harus diketahui :
a. Mengetahui kemungkaran.
b. Mengingkari kemungkaran dengan tangan dan syarat-syaratnya.
Tingkatan ini disyaratkan dengan adanya kekuasaan, kemampuan, hikmah, pemahaman, dan jauh dari hawa nafsu.
c. Mengingkari kemungkaran dengan lisan dan tahapan-tahapannya.
Tahapan pertama, memberikan pengertian dan pelajaran dengan lemah lembut.
Tahapan kedua, melarang dengan cara memberikan pelajaran dan nasihat.
Tahapan ketiga, tegas dalam memberikan nasihat.
Tahapan keempat, mengancam dan menakut-nakuti dengan adzab Allâh Subhanahu wa Ta’ala.
d. Mengingkari kemungkaran dengan hati
e. Mengingkari kemungkaran dengan pedang atau senjata
6. Perbedaan Tingkatan Tanggung Jawab Manusia Dalam Mengingkari Kemungkaran
Telah disebutkan sebelumnya bahwa Allâh Azza wa Jalla mewajibkan semua kita melakukan amar ma’rûf nahi munkar sesuai dengan kemampuan. Tetapi yang perlu diperhatikan ialah manusia itu berbeda-beda tingkatannya dalam kewajiban ini. Seorang muslim yang awam (minim ilmu) wajib mengerjakan kewajiban ini sesuai kemampuannya. Ia harus menyuruh istri dan anak-anaknya dengan perkara-perkara agama yang telah diketahuinya.
Sedang para ulama memiliki kewajiban yang tidak dimiliki selain mereka karena mereka adalah pewaris para nabi. Jika mereka meremehkan tugas ini maka berbagai kekurangan akan menimpa umat ini, sebagaimana terjadi pada Bani Israil.
Sementara kewajiban pemerintah pada tugas ini sangat besar karena mereka memiliki kekuatan yang dapat memaksa banyak orang untuk kembali dari kemungkaran. Sebab orang yang terpengaruh dengan nasihat dan wejangan itu sangat sedikit. Apabila pemerintah menyepelekan tugas ini, maka ini merupakan bencana besar karena akan menyebabkan tersebarnya kemungkaran serta para pelaku kebatilan dan kefasikan semakin berani melakukan aksi-aksi batil mereka terhadap orang-orang yang berpegang pada kebenaran dan orang-orang yang mengadakan perbaikan.[29]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/245)
[2]. Mufradât fî Gharîbil Qur’ân (hlm. 561)
[3]. Iqtidhâ’ush Shirâtil Mustaqîm (I/106) tahqiq Dr. Nashir bin ‘Abdul Karîm al-‘Aql.
[4]. Haqîqatul Amri bil Ma’rûf wan Nahyi ‘anil Munkar (hlm. 11).
[5]. Lihat al-Kabâir wash Shaghâir ‘Anwâ’uha wa Ahkâmuha (hlm. 205).
[6]. Iqtidhâ’ush Shirâtil Mustaqîm (I/106).
[7]. Irsyâdul Fuhûl (I/247) tahqiq Dr. Sya’bân Muhammad Ismâ’îl.
[8]. Lihat al-Qâ’idatul Muhimmah fil Amri bil Ma’rûf wan Nahyi ‘anil Munkar fî Dhau-il Kitâbi was Sunnah (hlm. 6-7) karya Dr. Hamûd bin Ahmad ar-Ruhaili, dengan diringkas.
[9]. Mukhtashar Minhâjil Qâshidîn (hlm. 156).
[10]. Al-Amru bil Ma’rûf wan Nahyu ‘anil Munkar (hlm. 30) tahqiq Abu ‘Abdillah Muhammad bin Sa’id bin Ruslan.
[11]. Tafsîr Ibni Katsîr (II/91).
[12]. Ahkâmul Qur’ân (I/292).
[13]. Qawâ’id wa Fawâ-id (hlm. 287) dengan diringkas.
[14]. Hasan: HR. Abu Dâwud (no. 4345) dari al-‘Urs bin ‘Amirah al-Kindi. Dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam Hidâyatur Ruwât (no 5069).
[15]. Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id (hlm. 288).
[16]. Syarah Shahiih Muslim (II/23).
[17]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/245).
[18]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/246).
[19]. Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 4338) dan ini lafadznya, Ahmad (I/2, 5, 7), at-Tirmidzi (no. 2168, 3057), Ibnu Mâjah (no. 4005), dan Ibnu Hibbân (no. 304, 305). Lihat Takhrîj Hidâyatur Ruwât (IV/485, no. 5070).
[20]. Shahih: HR. Ahmad (III/27,29), Ibnu Mâjah (no. 4017), al-Humaidi dalam Musnadnya(no.739) dan Ibnu Hibbân (no. 7324- at-Ta’lîqâtul Hisân). Lihat Silsilatul Ahâdîtsish Shahîhah (no. 929).
[21]. Shahih: HR. Ahmad (III/5, 19, 44, 47, 50, 53, 71, 87, 92), at-Tirmidzi (no. 2191), Ibnu Mâjah (no. 4007), dan Ibnu Hibbân (no. 275, 278-at-Ta’lîqâtul Hisân), al-Hâkim (IV/506), Abu Dâwud at-Thayâlisi (no 2265,2270), dan Abu Ya’la (no 1207),Dishahihkan oleh syaikh al-Albâni dalam at-Ta’lîqâtul Hisân ‘ala Shahîh ibni Hibbân(no 275,278) dan dalam Silsilah al-ahâdîts ash-Shahîhah (no 168).
[22]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/248).
[23]. Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 4344), at-Tirmidzi (no. 2174), dan Ibnu Mâjah (no. 4011) dari Abu Sa’id al-Khudri. Diriwayatkan juga oleh Ahmad (V/251, 656), Ibnu Mâjah (no. 4012), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Kabîr (VIII/282, no. 8081), dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 2473), dan selainnya dari Shahabat Abu Umamah. Lihat Silsilatul Ahâdîtsis Shahîhah (no. 491).
[24]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/248).
[25]. Shahih: HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (II/507-508, bab Kaifa Nashîhatur Ra’iyyah lil Wulât, no. 1096, 1097, 1098), Ahmad (III/ 403-404) dan al-Hâkim (III/290) dari Shahabat ‘Iyâdh bin Ghunm Radhiyallahu anhu.
[26]. I’laamul Muwaqqi’iin (IV/338-339). Lihat Dhawaabith al-Amri bil Ma’ruf wan Nahyi ‘anil Munkar (hlm. 39-40).
[27]. I’laamul Muwaqqi’iin (IV/337).
[28]. I’laamul Muwaqqi’iin (IV/338).
[29]. Lihat Qawaa’id wa Fawaa-id (hlm. 288-289)
0 comments:
Post a Comment