Bagaimana memahami dua buah hadits, yaitu hadits Tsauban radhiallahu ‘anhu di mana NabiShallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا قَالَ ثَوْبَانُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا
“Sungguh saya telah mengetahui bahwa ada suatu kaum dari umatku yang datang pada hari kiamat dengan membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah yang putih. Kemudian Allah menjadikannya debu yang berterbangan.”
Tsauban bertanya, “Wahai Rasulullah, sebutkanlah ciri-ciri mereka dan jelaskanlah perihal mereka agar kami tidak menjadi seperti mereka tanpa disadari.”
Beliau bersabda: “Sesungguhnya mereka adalah saudara kalian dan dari golongan kalian, mereka shalat malam sebagaimana kalian, tetapi mereka adalah kaum yang jika bersendirian mereka menerjang hal yang diharamkan Allah.” (Shahih. HR. Ibnu Majah).
dan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ ، وَإِنَّ مِنْ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ : يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
“Seluruh umatku diampuni kecuali al-mujaahirun (orang yang melakukan al-mujaaharah). Dan termasuk bentuk al-mujaaharah adalah seseorang berbuat dosa pada malam hari, kemudian di pagi hari Allah telah menutupi dosanya namun dia berkata, “Wahai fulan semalam aku telah melakukan dosa ini dan itu.” Allah telah menutupi dosanya di malam hari, akan tetapi di pagi hari dia membuka kembali dosa yang telah ditutup oleh Allah tersebut.” (Shahih. HR. Bukhari dan Muslim).
Penjelasan Isykal
Sebagian orang mengalami kesulitan dalam mengompromikan dua hadits ini dikarenakan secara tekstual kedua hadits ini memiliki kandungan yang bertentangan.
Pada hadits pertama, yaitu hadits Tsauban radhiallahu ‘anhu, pelaku maksiat yang melakukan maksiatnya ketika sendirian, tidak diketahui orang lain, dikatakan amalannya menjadi sia-sia dan diancam siksa nereka.
Sedangkan berdasarkan kandungan hadits kedua, yaitu hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, semestinya mereka yang menyembunyikan maksiatnya termasuk ke dalam golongan yang diampuni. Karena yang tidak diampuni adalah yang menampakkannya (al-mujaahirun).
Pertama: melemahkan hadits Tsauban.
Alasannya adalah sebagai berikut:
Status salah seorang rawi hadits ini bernama “Uqbah bin ‘Alqamah bin Hadij al-Ma’aafiriy dinilai lemah. Al-‘Uqailiy mengatakan,
لا يتابع على حديثه
“Hadits ‘Uqbah tidak memiliki mutaba’ah”
Ibnu ‘Adiy mengatakan,
روى عن الأوزاعي ما لم يوافقه عليه أحد
“Uqbah meriwayatkan hadits dari al-‘Auza’i yang tidak disepakati oleh seorang pun”
Selain itu, matan hadits Tsauban dinilai mungkar dengan alasan ketentuan dalam Islam adalah keburukan tidaklah menggugurkan pahala kebaikan, namun sebaliknya kebaikanlah yang mampu menghilangkan keburukan.
Namun, kedua alasan tersebut kurang tepat mengingat rawi ‘Uqbah bin ‘Alqamah telah dinilai sebagai rawi yang tsiqah oleh banyak ulama, diantaranya adalah Ibnu Ma’in dan An-Nasaa-i.
Alasan ulama menolak periwayatan ‘Uqbah adalah jika riwayat tersebut merupakan periwayatan anaknya, Muhammad, dari ‘Uqbah atau ‘Uqbah membawa suatu riwayat dari al-Auza’i. Sedangkan hadits Tsauban, bukanlah riwayat ‘uqbah dari al-Auza’i dan tidak pula diriwayatkan oleh Muhammad dari beliau. Dengan demikian, minimal sanad hadits ini adalah hasan. Wallahu a’lam.
Adapun penilaian atas kemungkaran matan hadits Tsaubah, maka hal ini pun tidak tepat mengingat makna yang sama dikemukakan dalam surat an-Nisaa ayat 108 di mana Allah ta’ala berfirman,
يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطاً
“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan” (QS. An-Nisaa : 108).
Meski dalam ayat di atas tidak disebutkan dengan jelas perihal gugurnya amalan mereka, namun hal itu dapat dipahami dari makna ayat tersebut. Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam menafsirkan ayat ini,
هَذَا إِنْكَارٌ عَلَى الْمُنَافِقِينَ فِي كَوْنِهِمْ يَسْتَخْفُونَ بِقَبَائِحِهِمْ مِنَ النَّاسِ لِئَلَّا يُنْكِرُوا عَلَيْهِمْ، وَيُجَاهِرُونَ اللَّهَ بِهَا لِأَنَّهُ مُطَّلِعٌ عَلَى سَرَائِرِهِمْ وَعَالَمٌ بِمَا فِي ضَمَائِرِهِمْ؛ وَلِهَذَا قَالَ: {وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لَا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطًا} تَهْدِيدٌ لَهُمْ وَوَعِيدٌ
“Hal ini merupakan pengingkaran terhadap orang-orang munafik yang berupaya menyembunyikan keburukan mereka dari hadapan manusia agar tidak diingkari. Mereka pun pada akhirnya mengakui hal tersebut karena Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang ada di dalam hati mereka. Oleh karena itu, sebagai bentuk ancaman kepada mereka Allah berfirman yang artinya, “padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan” (Tafsiir Ibn Katsiir).
Kedua: Hadits Tsauban berkenaan dengan kaum munafikin, sedangkan hadits Abu Hurairah berkenaan dengan kaum muslimin.
Dengan demikian, tidak ada kontradiksi antara keduanya. Terlebih lagi jika kita memaknai karakter kemunafikan di sini sebagai kemunafikan ‘amaliy yang tidak menafikan ikatan keimanan alias tidak mengeluarkan pelaku perbuatan yang tersebut dalam hadits Tsauban dari lingkup keislaman.
Realita yang ada membenarkan hal tersebut. Jika kita merenungkan kondisi sebagian saudara kita yang nampak secara lahiriah berpegang teguh dengan agama namun terjerumus ke dalam kemungkaran, dan dengan mendengar pengakuan dari mereka sendiri yang telah bertaubat, tentu akan menjumpai hal yang mencengangkan.
Di antara mereka ada yang bermaksiat tatkala bersendirian dengan menyaksikan video dan memandang situs-situs yang mengandung konten tidak senonoh, serta menggunakan identitas palsu agar dapat berkomunikasi dengan lawan jenis non-mahram. Kita dapat melihat bahwa mereka yang melakukan hal tersebut secara lahiriah konsisten terhadap ajaran agama, nampak dalam pakaian, shalat, dan puasa yang dikerjakan. Pada mereka inilah ancaman dalam hadits Tsauban radhiallahu ‘anhu ditujukan, sebagai ancaman karena perbuatan mereka serupa dengan orang-orang munafik, atau dikarenakan mereka menjadi musuh iblis secara lahiriah, namun menjadi teman iblis di kala bersendirian sebagaimana yang dikemukakan oleh sebagian ulama salaf.
Ibnu Hajr al-Haitami rahimahullah mengatakan,
الكبيرة السادسة والخمسون بعد الثلاثمائة : إظهار زي الصالحين في الملأ ، وانتهاك المحارم ، ولو صغائر في الخلوة : أخرج ابن ماجه بسند رواته ثقات عن ثوبان رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : ( لأعلمنَّ أقواماً مِن أمتي يأتون
“Dosa besar ketiga ratus lima puluh enam adalah menampakkan keshalihan di hadapan manusia, namun menerjang perkara yang diharamkan Allah, meski dosa kecil di kala bersendiri. Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanad para perawi yang tsiqah dari Tsauban radhiallahu ‘anhu dari nabi shallallalu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Sungguh saya telah mengetahui bahwa ada suatu kaum dari umatku…”” (az-Zawaajir ‘an Iqtiraafi al-Kabaa-ir).
Ketiga: Sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “إذَا خَلوا بِمَحَارِمِ الله” tidak hanya berarti bahwa pelaku dalam hadits Tsauban melakukan apa yang dilarang Allah tatkala bersendirian di rumah!
Namun dapat diartikan bahwa mereka terkadang melakukan hal tersebut bersama dengan kawan-kawan dan orang yang semisal dengannya. Dengan demikian, dalam hadits Tsauban terkandung penjelasan perihal mereka bersama-sama bersembunyi dari pandangan manusia untuk melakukan apa yang dilarang Allah, bukan berarti bahwa setiap dari mereka menyendiri di rumah masing-masing menerjang larangan Allah.
Mereka itulah yang tidak akan dimaafkan, sementara yang nampak bagi kami pelaku maksiat yang dimaafkan sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah adalah seorang yang dalam keadaan sendirian melakukan kemaksiatan.
Oleh karena itu, dalam hadits Abu Hurairah subjek disebutkan secara tunggal dan spesifik, di mana Allah telah menutupi aib yang dilakukannya di malam hari sebagaimana dalam kalimat “يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ”, sedangkan dalam hadits Tsauban terkandung lafadz jamak/plural mengingat dalam hadits tersebut terdapat kata “قوْم” dan “خَلَوا”.
Asy-Syaikh Muhammad Nashirudin al-Albani rahimahullah mengatakan, “Nampaknya kalimat “خلوا بمحارم الله” bukanlah berarti “سرّاً”(sendiri/rahasia), namun apabila terdapat kesempatan mereka melakukan apa yang dilarang oleh Allah. Dengan demikian kata “خلَوا” bukanlah berarti “سرّاً”, namun memiliki arti yang sama sebagaimana terdapat dalam sya’ir “خلا لكِ الجو فبيضي واصفري”” (Silsilah Huda wa an-Nuur kaset nomor 225).
Keempat: yang disebutkan dalam hadits Tsauban adalah orang yang menghalalkan maksiat atau melampaui batas
Mereka yang disebutkan dalam hadits Tsauban disifati dengan kalimat “ينتهكون محارم الله” (menerjang larangan Allah). Sifat ini menunjukkan akan penghalalan mereka terhadap larangan Allah tersebut atau menunjukkan bahwa mereka sangat melampaui batas dalam melakukannya dalam kondisi tersebut. Melampaui batas karena mereka merasa aman dari makar dan siksa Allah, serta absennya perhatian mereka bahwa sebenarnya Allah pasti mengetahui perbuatan mereka.
Oleh karena itu, mereka berhak memperoleh hukuman berupa gugurnya amalan shalih yang telah dikerjakan oleh mereka. Ancaman yang ada dalam hadits tersebut semata-mata bukan dikarenakan melakukan kemaksiatan. Inilah mengapa Tsauban radhiallahu ‘anhu bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjelaskan sifat mereka karena khawatirpara sahabat juga termasuk di dalam ancaman tanpa disadari. Pertanyaan semisal ini merupakan pertanyaan yang dilakukan untuk mengenal kondisi hati pelaku kemaksiatan tersebut, bukan semata-mata untuk mengetahui perbuatan mereka.
Asy-Syaikh Muhammad al-Mukhtar asy-Syinqithiy hafizhahullah mengatakan, “Maksud dari hadits ini adalah mereka memiliki sifat meremehkan dan … Allah, sehingga terdapat perbedaan antara kemaksiatan yang mendatangkan penyesalan dengan kemaksiatan yang tidak mendatangkan penyesalan bagi pelakunya. Berbeda seorang yang bermaksiat ketika sendiri dengan seorang yang meremehkan Allah, di mana kebaikannya di hadapan manusia merupakan tindakan riya’ meski banyak seperti gunung. Apabila dirinya berada di tengah-tengah orang shalih, dirinya menampakkan amalan yang baik karena berharap sesuatu kepada manusia, bukan berharap pahala kepada Allah. Maka, orang ini mengerjakan amal shalih yang banyaknya seperti gunung, secara lahiriah merupakan kebaikan, akan tetapi tatkala bersendirian dirinya menerjang larangan Allah. Tatkala tersembunyi dari pandangan manusia, dia tidak mengagungkan Allah dan tidak pula takut kepada-Nya.
Berbeda dengan seorang yang bermaksiat ketika bersendirian namun di dalam hatinya terdapat penyesalan, dia tidak menyukai dan membenci kemaksiatan tersebut, serta Allah memberikan karunia penyesalan atas kemaksiatan yang telah dilakukan. Seorang yang bermaksiat dalam kondisi bersendirian namun merasa menyesal dan merasa terluka atas kemaksiatan yang dilakukan, bukanlah dikatakan sebagai orang yang menerjang larangan Allah karena pada asalnya orang tersebut mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, namun syahwat telah menguasainya sehingga dia pun menyesali kemaksiatan tersebut. Adapun orang yang sebelumnyaadalah pribadi yang berkarakter lancang danberani menentang Allah.
Inilah makna dari hadits Tsauban mengingat hadits tersebut tidaklah menerangkan perihal satu orang, dua orang atau berbicara tentang kriteria tertentu, namun hadits tersebut menerangkan sifat-sifat secara sempurna. Di antara manusia ada yang bermaksiat tatkala bersendirian dan hatinya memang menentang Allah. Sedangkan yang lain bermaksiat tatkala bersendiri karena takluk akan syahwat, namun jika ditelisik lebih jauh, terkadang keimanan yang dimilikinya mampu mengalahkan syahwat tersebut dan mampu mencegah dirinya untuk bermaksiat. Akan tetapi dalam beberapa kondisi syahwat membutakannya karena memang syahwat mampu membutakan dan membuat seorang jadi tuli sehingga dia tidak mampu menerima nasehat. Akhirnya dia pun terjerumus ke dalam kemaksiatan dan digelincirkan setan. Allah berfirman,
إِنَّمَا اسْتَزَلَّهُمُ الشَّيْطَانُ بِبَعْضِ مَا كَسَبُوا وَلَقَدْ عَفَا اللَّهُ عَنْهُمْ
“Hanya saja mereka digelincirkan oleh setan, disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau) dan sesungguhnya Allah telah memberi maaf kepada mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun” (Ali ‘Imraan : 155).
Ayat di atas menerangkan bahwa apabila hamba digelincirkan setan hingga bermaksiat, namun di lubuk hatinya masih terdapat pengakuan bahwa dirinya telah berbuat dosa, Allah juga mengetahui tatkala bermaksiat ada penyesalan dalam dirinya, benci akan kemaksiatan tersebut hingga sebagian di antara mereka ketika bermaksiat ada yang berangan-angan agar dirinya diwafatkan sebelum melakukan kemaksiatan tersebut. Orang yang demikian ini sebenarnya orang yang masih mengagungkan Allah, akan tetapi dia belum diberi karunia berupa keimanan yang dapat menghalanginya dari perbuatan maksiat. Dan terkadang Allah mengujinya dengan kemaksiatan tersebut dikarenakan dia telah menghina orang lain, durhaka pada orang tua, atau memutus silaturahim sehingga Allah tidak menurunkan rahmat-Nya. Bisa juga dia menyakiti ulama atau salah seorang wali Allah sehingga Allah pun mengumumkan perang terhadap dirinya. Dengan demikian kondisi orang tersebut layaknya seorang yang sedang dihinakan meski dalam hatinya dia idak ridha terhadap perbuatan tersebut.
Maka, seorang yang bermaksiat tatkala bersendirian memiliki beberapa tingkatan. Di antara mereka melakukan kemaksiatan dan dalam hatinya terdapat sikap lancang dan meremehkan Allah. Anda dapat melihat sebagian pelaku kemaksiatan ketika bermaksiat, di mana tidak ada seorang pun yang melihat dan memperingati dirinya, dia melakukan kemaksiatan tersebut dengan bangga, angkuh, dan pencemoohan terhadap Allah. Mereka mengucapkan kalimat-kalimat penghinaan dan melakukan berbagai perbuatan yang meremehkan kekuasaan Allah, tatkala seseorang menasehatinya dia pun menolak dengan penuh keangkuhan sehingga dirinya menganggap remeh keagungan Allah, agama dan syari’at-Nya. Orang ini secara lahiriah apabila berada di hadapan manusia dia tetap shalat dan berpuasa, namun jika bersendirian dia bermaksiat dan meremehkan keagungan Allah –wal ‘iyaadzu billah-. Orang yang demikian tentu tidak sama dengan mereka yang terkalahkan oleh syahwat, terfitnah dengan apa yang dilihatnya namun menyadari bahwa kemaksiatan yang dilakukannya dapat membawa musibah dan kehancuran. Dia mengerjakan kemaksiatan tersebut, namun hatinya tidak nyaman dengan maksiat tersebut, merasa terluka dan menyesal ketika telah melakukannya.
Dengan demikian, kandungan hadits Tsauban ini tidak bersifat mutlak. Kandungan dari hadits ini hanya mencakup mereka yang bermaksiat di kala bersendirian dan di dalam dirinya terdapat penentangan dan sikap meremehkan ketentuan-ketentuan Allah –wal ‘iyaadzu billah-” (Syarh Zaad al-Mustaq’ni’).
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
0 comments:
Post a Comment