Asalnya, seseorang tidaklah disiksa melainkan karena usahanya sendiri. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”
(QS. Al Mudattsir: 38).Begitu pula dalam ayat,
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
“Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (QS.
Fathir: 18).Kemudian ada beberapa hadits shahih yang menunjukkan bahwa mayit disiksa karena tangisan keluarganya. Muncullah kerancuan dalam memahami hal ini sehingga para ulama pun berselisih.
‘Umar bin Al Khottob, ‘Abdullah bin ‘Umar dan jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa mayit disiksa karena tangisan keluarganya. Namun siksa tersebut dipahami (ditakwil) dengan makna lain sehingga tidak bertentangan dengan hukum asal.
Beberapa dalil yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ
عَلَيْهِ
“Sesungguhnya mayit akan disiksa karena tangisan keluarganya
padanya” (HR. Bukhari no. 1286 dan Muslim no. 927).Dalam hadits lain dari ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبَعْضِ بُكَاءِ أَهْلِهِ
عَلَيْهِ
“Sesungguhnya mayit disiksa karena sebagian tangisan keluarganya
padanya” (HR. Bukhari no. 1287).Beberapa pemahaman terhadap dalil-dalil di atas:
1- Mayit itu disiksa karena tangisan yang dinilai terlarang (haram) yang dilakukan oleh keluarganya, seperti dengan menampar pipi, merobek saku baju dan serasa menentang (ketentuan) Allah Ta’ala. Sedangkan jika tangisannya bukan tangisan haram, maka mayit tidaklah disiksa.
2- Jumhur (mayoritas) ulama memaknai bahwa yang dimaksud mendapatkan siksa adalah jika mayit berwasiat agar ia ditangisi setelah mati.
3- Yang dimaksud mayit disiksa adalah mayit dijelekkan oleh malaikat.
4- Yang dimaksud mendapat siksa adalah jika mayit terlalu sedih sampai melakukan niyahah [1].
5- Yang dipilih Ibnu Hazm, tangisan tersebut dimaksud karena kekuasaan dan kebanggaan si mayit di mana dimanfaatkan bukan dalam jalan ketaatan pada Allah.
Yang lebih tepat dalam memahami hal ini, kita pilih pendapat jumhur ulama yang menyatakan bahwa mayit itu disiksa karena tangisan keluarganya. Tangisan yang dimaksud adalah tangisan yang haram. Dan pemahaman seperti ini tidaklah bertentangan dengan ayat yang disebutkan di awal yang menunjukkan asalnya mayit itu tidak disiksa.
Demikian bahasan ringkas dari kami mengenai permasalahan ini. Moga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
Referensi:
Ahkamul Janaiz Fiqhu Tajhizul Mayyit ‘ala Tafshilil Madzahib, Kholid Hannu, terbitan Dar Al ‘Alamiyah, cetakan pertama, tahun 1432 H.
---
Istirohah Dir’iyyah, Riyadh-KSA, 11 Rabi’ul Akhir 1434 H
rumaysho
0 comments:
Post a Comment