Ada suatu masalah penting di sini yang permasalahannya perlu kami dudukkan dengan benar, yaitu adanya beberapa hadits yang sekilas saling bertentangan. Dalam banyak hadits, khurofat tersebut ditiadakan bahkan dimasukkan kategori kesyirikan. Namun, di sisi lain ada beberapa hadits yang sekilas mengisyaratkan adanya beberapa makhluk yang membawa sial. Bagaimana permasalahannya?! Dan bagaimana komentar ulama mengenainya?! Marilah kita kaji bersama masalah ini secara ilmiah.
Teks Hadits
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « الشُّؤْمُ فِى الدَّارِ وَالْمَرْأَةِ وَالْفَرَسِ ».
Dari Abdulloh bin Umar berkata: “Saya mendengar Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Kesialan itu dalam tiga perkara: kuda, wanita, dan rumah.’”[1]
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنْ كَانَ الشُّؤْم فَفِى الْمَرْأَةِ وَالْفَرَسِ وَالْمَسْكَنِ ».
Dari Sahl bin Sa’ad bahwasanya Rosululloh shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seandainya kesialan itu ada, maka pada wanita, kuda, dan tempat tinggal.”[2]
Bila kita cermati dua hadits di atas, akan kita dapati dua lafazh yang berbeda, pada hadits pertama dengan lafazh tegas dan pada hadits kedua dengan lafazh syarat (seandainya ada).
Sekilas Bertentangan
Sekilas pandang, seakan-akan terjadi kontradiksi antara hadits di atas dengan dalil-dalil dan hadits-hadits yang banyak sekali tentang larangan merasa sial, di antaranya yang paling tegas adalah hadits Abdulloh bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
Hadits ini dengan tegas menyatakan bahwa thiyaroh (tathoyyur) adalah termasuk kesyirikan.
Bagaimana Cara Memadukannya?
Pertama: Sebagian mereka mengatakan bahwa pada asalnya merasa sial itu tidak boleh, tetapi khusus dengan tiga hal di atas maka boleh.[5]
Kedua: Sebagian ulama mengatakan bahwa bolehnya merasa sial dengan tiga hal di atas adalah mansukh (terhapus) dengan hadits-hadits larangan.[6]
Ketiga: Melemahkan dan mengingkari hadits-hadits yang menyatakan kesialan pada tiga hal di atas atau mengingkari ketegasan lafazh tersebut, yang benar menurut mereka adalah dengan lafazh: “Kalau memang ada kesialan pada sesuatu, maka tiga perkara.”[7]
Pendapat yang kuat adalah yang merinci bahwa kesialan itu ada dua macam:
- Kesialan yang haram, seperti keyakinan orang-orang jahiliah yaitu pada hal-hal tertentu yang dianggap membawa sial bahwa hal itu berpengaruh pada keadaan dan merupakan faktor kebaikan dan keburukan, sehingga menghalangi mereka dari keinginan dan tekad mereka. Imam Nawawi v\ berkata tatkala menjelaskan segi kesyirikan thiyaroh: “Sebab mereka berkeyakinan benda tersebut berpengaruh untuk maju mundurnya suatu keinginan.”[8]
- Kesialan yang ditetapkan dalam hadits, yaitu apa yang dijumpai pada hati seorang kebencian pada hal-hal tertentu ketika terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan padanya. Di antara ciri-cirinya:
- Kesialan ini tidak muncul kecuali setelah terjadinya kemadhorotan yang berulang-ulang. Seandainya seorang merasa terkena madhorot dari sesuatu, maka boleh baginya untuk meninggalkannya.
- Kesialan ini muncul karena adanya sifat yang tercela, berbeda dengan kesialan terlarang yang biasanya muncul karena sebab yang tidak jelas, seperti membatalkan rencana bepergian gara-gara melihat seekor burung.
- Dampak dari kesialan ini adalah meninggalkan, dengan tetap berkeyakinan bahwa hanya Alloh saja yang menciptakan dan mengatur kebaikan dan keburukan. Kesialannya bukan karena zat benda tersebut memiliki pengaruh, melainkan karena apa yang Alloh takdirkan pada benda tersebut berupa kebaikan dan kejelekan. Hal ini diperkuat oleh hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang berkata kepada Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rosululloh, dahulu kami berada di rumah dan jumlah kami serta harta kami banyak, tatkala kami pindah rumah lain, jumlah kami dan harta kami menjadi sedikit.” Lalu Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tinggalkan rumah tersebut.”[9]
Dalam hadits ini, Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada orang tersebut pindah rumah tatkala beliau mendapati kebencian mereka, adanya madhorot yang menimpa mereka serta berulangnya hal itu pada mereka. Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk pindah agar hilang perasaan benci dalam hati mereka, bukan karena zat rumah itu memiliki pengaruh.[10]
Demikianlah perincian para ulama dalam masalah ini, sehingga dengan demikian hilanglah anggapan tentang adanya kontradiksi pada hadits-hadits Rosululloh shallalllahu ‘alaihi wa sallam.[11]
Beberapa Masalah Tentang Hadits
Untuk melengkapi pembahasan hadits ini, kami akan sedikit menambahkan beberapa pembahasan seputar hadits ini secara ringkas[12].
1. Definisi tathoyyur
Tathoyyur (thiyaroh) adalah merasa sial karena melihat atau mendengar sesuatu seperti keyakinan orang jahiliah dahulu apabila melihat burung terbang ke arah kanan maka pertanda baik dan bila terbang ke kiri maka pertanda keburukan.
Perlu diketahui bahwa khurofat ini sampai sekarang masih bercokol di sebagian masyarakat. Sebagai contoh, sebagian masyarakat masih meyakini bila ada burung gagak melintas di atas maka itu pertanda akan ada orang mati, bila burung hantu berbunyi pertanda ada pencuri, bila mau beergian lalu di jalan dia menemui ular menyeberang maka pertanda kesialan sehingga perjalanan harus diurungkan.
Demikian pula ada yang merasa sial dengan bulan Muharrom (Suro: Jawa), hari Jum’at Kliwon, ada juga yang merasa sial dengan angka seperti angka 13 dan sebagainya.[13]
2. Hukum thiyaroh
Thiyaroh hukumnya adalah haram dan termasuk kesyirikan yang menodai tauhid seseorang, karena dua hal:
Pertama: Seorang yang merasa sial berarti telah menghilangkan tawakkalnya kepada Alloh dan dia malah berpedoman pada selain Alloh.
Kedua: Seorang yang merasa sial berarti bergantung pada perkara yang tidak ada hakikatnya padahal hanya khayalan belaka, sehingga semua ini dapat menodai tauhid seorang hamba.
Orang yang merasa sial tidak lepas dari dua keadaan:
Pertama: Dia meninggalkan keinginannya karena mengikuti keyakinan sialnya. Ini adalah bentuk kesialan yang paling berbahaya bagi aqidah seorang.
Kedua: Dia melanjutkan keinginannya, namun dengan perasaan takut dan gundah dalam hatinya. Ini juga berbahaya bagi tauhid seorang sekalipun lebih ringan dari yang sebelumnya.
Maka hendaknya bagi seseorang untuk melanjutkan keinginannya dengan lapang dada dan tawakkal yang kuat kepada Alloh tanpa melirik pada kesialan karena hal itu berarti buruk sangka kepada Alloh. Bahkan merasa sial juga bisa sampai kepada derajat syirik besar yang mengelurkan seorang dari Islam yaitu apabila dia menyakini bahwa benda yang dia anggap pembawa sial tadi memiliki pengaruh secara dzatnya, karena dengan demikian berarti dia menjadikan tandingan bagi Alloh dalam masalah penciptaan dan pengaturan.[14]
3. Hukum meninggalkan tiga hal (rumah, istri, kendaraan)
Maksudnya kalau seandainya seorang terkena cobaan pada tiga hal tersebut terus-menerus sehingga dia merasa keberatan dan merasakan kebencian terhadapnya, bolehkah untuk meninggalkannya?! Jawabannya adalah boleh dan ini tidak termasuk kesialan yang dilarang. Imam al-Baghowi rahimahullah mengomentari hadits pembahasan: “Ini adalah petunjuk Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam bagi yang memiliki rumah, istri, atau kuda yang tidak menyenangkannya agar dia berpisah darinya. Kalau rumah maka dengan pindah darinya, kalau istri maka dengan menceraikannya, kalau kuda (kendaraan) maka dengan menjualnya. Dan semua ini tidaklah termasuk thiyaroh yang terlarang.”[15]
4. Tanda-tanda kesialan pada tiga hal dan faktor pengkhususannya
Para ulama menyebutkan bahwa tanda kesialan pada rumah yaitu sempitnya, tetangga yang jelek, sering kena musibah (pencurian, misalnya), jauhnya dari masjid sehingga tak mendengar adzan, dan sebagainya. Tanda kesialan istri yaitu dengan kemandulannya, jelek akhlaknya, selingkuh, dan sebagainya. Adapun tanda kesialan pada kuda adalah sulit ditumpangi, lambat jalannya, dan sebagainya.
Adapun kenapa dikhususkan tiga hal tersebut saja? Jawabannya adalah karena tiga hal itu kebutuhan primer seorang yang selalu berkaitan dengan manusia yaitu rumah, istri, dan kendaraan.[16]
Demikianlah pembahasan yang dapat kami sajikan. Semoga bermanfaat.
Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
[1] HR. Bukhori: 2858 dan Muslim: 2225
[2] HR. Bukhori: 5095 dan Muslim: 2226[3] HR. Ahmad 1/389, Abu Dawud: 3910, Tirmidzi: 1614, dan dishohihkan al-Albani dalam Shohih Sunan Tirmidzi 2/216.
[4] Diringkas dari Ahadits Aqidah karya Sulaiman bin Muhammad ad-Dubaikhi 1/115–129, Darul Bayan al-Haditsiyyah, cet. pertama 1422 H.
[5] Lihat Fathul Bari 10/213 oleh Ibnu Hajar, Ma’alim Sunan 4/236, 237, Ta‘wil Mukhtalifil Hadits hlm. 106 oleh Ibnu Qutaibah, Taisir Aziz Hamid hlm. 377 oleh Sulaiman bin Abdillah, al-Adab Syar’iyyah 4/7 oleh Ibnu Muflih.[6] Lihat at-Tamhid 9/290 oleh Ibnu Abdil Barr.
[7] Lihat Syarh Ma’anil Atsar 4/314 oleh ath-Thohawi, Tahdzibul Atsar 1/31 oleh ath-Thobari, at-Tamhid 9/283 oleh Ibnu Abdil Barr, al-Ijabah li Irodi Mastadrokathu Aisyah ’ala Shohabah hlm. 128 oleh az-Zarkasyi, Silsilah Ahadits ash-Shohihah 1/727, 4/565 oleh al-Albani.
[8] Syarh Muslim 14/471
[9] HR. Abu Dawud: 3917, al-Bukhori dalam Adabul Mufrod: 918 dan dihasankan al-Albani dalam Shohih Sunan Abu Dawud 2/743.
[10] Ta‘wil Mukhtalifil Hadits hlm. 99 oleh Ibnu Qutaibah
[11] Lihat Miftah Dar Sa’adah 3/344 oleh Ibnul Qoyyim, Latho‘if Ma’arif hlm. 83 oleh Ibnu Rojab, Majmu’ Fatawa Ibnu Baz: 142, al-Majmu’ Tsamin oleh Ibnu Utsaimin 1/61.
[12] Diringkas dari risalah Ma’na Hadits asy-Syu’mu fi Tsalatsah oleh Dr. Muhammad bin Abdul Aziz al-Ali.
[13] Lihat risalah at-Tathoyyur oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd dan lihat kembali tulisan Ustadzuna Abu Nu’aim rahimahullah tentang masalah ini dalam Majalah Al Furqon Edisi 5/Th. III hlm. 23.
[14] Lihat Miftah Dar Sa’adah 2/320, Latho‘iful Ma’arif hlm. 71, al-Qoulus Sadid hlm. 18 oleh as-Sa’di, al-Qoulul Mufid 1/560 oleh Ibnu Utsaimin.
[15] Syarh Sunnah 9/13, 12/178–179
[16] Syarh Sunnah 9/14 oleh al-Baghowi, Faidhul Qodir 3/33 oleh al-Munawi.
0 comments:
Post a Comment