131 - وَعَنْ «حَمْنَةَ بِنْتِ جَحْشٍ قَالَتْ:
كُنْت أُسْتَحَاضُ حَيْضَةً كَثِيرَةً شَدِيدَةً، فَأَتَيْت النَّبِيَّ - صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَسْتَفْتِيهِ، فَقَالَ: إنَّمَا هِيَ رَكْضَةٌ مِنْ
الشَّيْطَانِ، فَتَحَيَّضِي سِتَّةَ أَيَّامٍ، أَوْ سَبْعَةَ أَيَّامٍ، ثُمَّ
اغْتَسِلِي، فَإِذَا اسْتَنْقَأْتِ فَصَلِّي أَرْبَعَةً وَعِشْرِينَ، أَوْ
ثَلَاثَةً وَعِشْرِينَ، وَصُومِي وَصَلِّي، فَإِنَّ ذَلِكَ يُجْزِئُك، وَكَذَلِكَ
فَافْعَلِي كُلَّ شَهْرٍ كَمَا تَحِيضُ النِّسَاءُ، فَإِنْ قَوِيت عَلَى أَنْ
تُؤَخِّرِي الظُّهْرَ وَتُعَجِّلِي الْعَصْرَ، ثُمَّ تَغْتَسِلِي حِينَ
تَطْهُرِينَ، وَتُصَلِّي الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا، ثُمَّ تُؤَخِّرِينَ
الْمَغْرِبَ وَتُعَجِّلِينَ الْعِشَاءَ، ثُمَّ تَغْتَسِلِينَ وَتَجْمَعِينَ بَيْنَ
الصَّلَاتَيْنِ فَافْعَلِي. وَتَغْتَسِلِينَ مَعَ الصُّبْحِ وَتُصَلِّينَ. قَالَ:
وَهُوَ أَعْجَبُ الْأَمْرَيْنِ إلَيَّ» . رَوَاهُ الْخَمْسَةُ إلَّا النَّسَائِيّ،
وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ، وَحَسَّنَهُ الْبُخَارِيُّ
131. Dari Hamnah binti Jahsy , “Aku pernah keluar darah
istihadhah yang banyak dan deras, lalu aku mendatangi Rasulullah meminta
fatwa beliau, maka beliau bersabda, “Darah istihadhah itu hanyalah gangguan
setan, hitunglah masa haidhmu enam atau tujuh hari lalu mandilah, apabila kamu
sudah bersih, shalatlah 24 hari atau 23 hari, puasa dan shalatlah, karena cara
yang demikian cukup bagimu, lakukanlah begitu setiap bulan seperti
perempuan-perempuan yang haidh, apabila kamu kuat mengakhirkan Zhuhur dan
menyegerakan Ashar, kemudian kamu mandi ketika engkau bersih, lalu jamaklah
shalat Zhuhur dan Ashar, lalu kamu akhirkan Maghrib dan segerakan Isya’,
kemudian kami mandi dan menjamakkan antara kedua shalat, maka kerjakanlah. Lalu
kamu mandi untuk shalat Shubuh dan kami melaksanakan shalat Shubuh. Beliau
bersabda, “Yang demikian itu lebih aku sukai dari dua perkara tersebut.”
(HR. Imam yang lima kecuali An Nasa'i dan dishahihkan oleh At Tirmidzi, sedang
Al Bukhari menilainya hasan)
ـــــــــــــــــــــــــــــ
Hamnah binti Jahsy adalah saudara perempuan
Zainab Ummul Mukminin, istri Thalhah bin Ubaidillah.
"Aku pernah keluar darah istihadhah yang
banyak dan deras (dalam Sunan Abu Dawud ada keterangan banyaknya darah
istihadhah, Hamnah berkata, "Darahnya mengalir deras sekali.") lalu aku mendatangi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam meminta
fatwa beliau, maka beliau bersabda, "Darah istihadhah itu hanyalah gangguan
setan (maknanya, bahwa setan telah mendapat jalan untuk membuat
ragu-ragu dalam urusan agamanya, kesucian dan shalatnya, sehingga membuat dia
lupa akan kebiasaannya dalam menentukan masa haidh dan masa sucinya, seakan-akan
menjadi suatu permainan setan, hadits ini tidak bertentangan dengan hadits
sebelumnya yang mengatakan bahwa istihadhah itu dari urat, yang disebut dengan
al-adzil, urat tempat mengalirnya darah istihadhah, karena mengandung
makna bahwa setan yang menggerakkannya sehingga memancar keluar, dan yang lebih
tepat; Bahwa pada hakikatnya darah itu adalah permainan setan, karena tidak
salahnya kalau memahaminya seperti itu) hitunglah masa
haidhmu enam atau tujuh hari lalu mandilah, apabila kamu sudah bersih, shalatlah
24 hari (jika biasanya masa haidhnya enam
hari) atau 23 hari (Jika
biasanya masa haidhnya tujuh hari) puasa dan
shalatlah (terserah kamu, baik yang sunnah
maupun yang fardhu) karena cara yang demikian itu cukup
bagimu, lakukanlah seperti itu (pada bulan-bulan berikutnya. Pada
lafazh Abu Dawud dikatakan, (فَافْعَلِي
كُلَّ شَهْرٍ)
"lakukan setiap bulan”) seperti perempuan-perempuan
yang haidh." (Dalam Sunan Abu Dawud ada tambahan, (
وَكَمَا يَطْهُرْنَ مِيقَاتُ
حَيْضِهِنَّ وَطُهْرِهِنَّ
) "Dan sebagaimana
para perempuan itu bersuci diwaktu-waktu haidh dan suci mereka." Jadi dalam
masalah ini disuruh untuk mengembalikan kepada umumnya kondisi perempuan
lainnya) apabila kamu kuat mengakhirkan Zhuhur dan
menyegerakan Ashar (ini adalah lafazh Abu
Dawud, dan sabdanya, "Dan kamu segerakan Ashar", maksudnya kamu akhirkan
shalat Zhuhur, dengan shalat di akhir waktunya sebelum habis waktu Zhuhur, dan
menyegerakan shalat Ashar dengan melaksanakannya di awal waktunya, dengan
demikian dia melaksanakan semua shalat pada waktunya, seakan-akan dia menjamak
antara dua shalatnya) kemudian kamu mandi ketika engkau
bersih (lafazh ini tidak terdapat dalam Sunan
Abu Dawud, tapi lafadznya begini, (فَتَغْسِلِينَ فَتَجْمَعِينَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ
) "Kamu mandi dan
menjamak dua shalat: Zhuhur dan Ashar", yakni dengan jamak
shuri (seakan-akan menjamak shalat) sebagaimana yang sudah Anda ketahui)
lalu jamaklah shalat Zhuhur dan Ashar
(ini bukan dan lafazh Abu Dawud sebagaimana telah Anda ketahui) kemudian kamu akhirkan Maghrib dan segerakan 'Isya" (dalam
lafazh Abu Dawud, (وَتُؤَخِّرِينَ
الْمَغْرِبَ وَتُعَجِّلِينَ الْعِشَاءَ) "Kamu mengakhirkan Maghrib dan menyegerakan "Isya"",
alangkah bagusnya kalau penulis menghapus yang demikian itu, sebagaimana
Anda ketahui) kemudian kamu mandi, dan menjamakkan antara
kedua shalat, maka kerjakanlah. Lalu kamu mandi untuk shalat Subuh dan kamu
melaksanakan shalat Shubuh', yang demikian itu lebih aku sukai dari dua perkara
tersebut (zhahirnya, itu ucapan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam, tapi Abu Dawud mengatakan, Amr bin Tsabit meriwayatkannya dari Ibnu
Aqil, dia berkata, Hamnah berkata, "Yang demikian itu perkara yang paling aku
sukai", dia tidak mengatakan itu ucapan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam).
Hadits ini diriwayatkan oleh yang lima
kecuali An-Nasa'i, dishahihkan oleh At-Tirmidzi dan dihasankan oleh Al-Bukhari.
Al-Mundziri mengatakan dalam Mukhtashar Sunan Abu Dawud, Al-Khaththabi
mengatakan, "Sebagian ulama tidak mau berpegang pada hadits ini, karena Ibnu
Uqail yang menjadi perawinya dinilai tidak demikian." Abu Bakar Al-Baihaqi
mengatakan, "Hadits ini hanya diriwayatkan sendiri oleh Abdullah bin Muhammad
bin Uqail, yang terdapat perbedaan pendapat tentang berhujjah dengan riwayatnya,
ini akhir pembicaraanya."
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan Ibnu
Majah, At-Tirmidzi mengatakan, "Hadits ini hasan shahih." Ia juga mengatakan,
aku bertanya kepada Muhammad, yakni Al-Bukhari tentang hadits ini, dia
mengatakan, "Itu hadits hasan", Ahmad mengatakan, "Itu hadits hasan
shahih."
Dengan demikian kita bisa mengetahui, bahwa
pendapat yang mengatakan hadits di atas tidak shahih, adalah pendapat yang
salah, karena para ulama menilai hadits tersebut shahih. Sudah Anda ketahui dari
uraian kami yang berdasarkan lafazh dari riwayat Abu Dawud, bahwasanya apa yang
dikutip oleh penyusun di sini bukanlah dari lafazh Abu Dawud, tapi dari salah
satu dari perawi yang lima itu, oleh karena itu maka harus dibatasi ungkapannya
yang mutlak itu dengan sabdanya, "Engkau segerakan shalat Isya""
sebagaimana sabda beliau, "Engkau segerakan shalat Ashar", karena
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memberi petunjuk kepadanya dengan cara
demikian, untuk selalu memperhatikan pelaksanaan setiap shalat pada waktunya.
Shalat ini yang dikerjakan di akhir waktunya (Zhuhur dan Maghrib), dan ini shalat yang mesti
dikerjakan di awal waktunya (Ashar dan Isya’).
Adapun sabdanya, "Enam atau tujuh hari", itu bukanlah
berarti keraguan dari perawi, juga bukan memberi pengertian boleh memilih,
tetapi untuk memberitahukan bahwa masa haidh perempuan antara dua hal itu, ada
yang masa haidhnya enam hari, ada juga yang tujuh hari, maka kembali kepada
orang yang sebaya dengannya, atau yang lebih dekat dengan tabiatnya.
Kemudian sabda beliau "apabila mampu", mengandung
pengertian bahwa hal itu tidak wajib baginya, tapi hanya sunnah, karena yang
wajib adalah berwudhu di setiap akan melaksanakan shalat, setelah mandi sehabis
haidh, setelah berlalunya masa enam atau tujuh hari, itulah perintah pertama
yang ditunjukkan oleh Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam di awal
hadits,
آمُرُك بِأَمْرَيْنِ أَيَّهُمَا
فَعَلْت أَجْزَأَ عَنْك مِنْ الْآخَرِ، وَإِنْ قَوِيت عَلَيْهِمَا فَأَنْتَ
أَعْلَمُ
"Aku menyuruhmu dengan dua perintah, yang apabila kamu
kerjakan salah satunya maka kamu tidak perlu lagi mengerjakan perintah lainnya,
dan jika kamu mampu melaksanakan keduanya kamu lebih tahu."
Kemudian beliau menyebutkan perintah yang pertama, agar dia
memperkirakan masa haidhnya, enam atau tujuh hari, kemudian mandi dan shalat
sebagaimana telah dijelaskan oleh penulis, dan sudah maklum bahwa dia mesti
berwudhu untuk setiap shalat karena keluarnya darah terus menerus dapat
membatalkan wudhu. Hal ini yang tidak dijelaskan dalam riwayat ini, tetapi disebutkannya
dalam riwayat lain.
Lalu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
menyebutkan perintah yang kedua, yaitu menjamak dua shalat dan mandi,
sebagaimana telah Anda ketahui.
Dalam hadits tersebut terkandung dalil bahwa tidak dibolehkan
menjamak dua shalat pada salah satu waktunya karena ada halangan, sebab
andaikata dibolehkan karena ada halangan, maka perempuan yang keluar darah
istihadhah lebih dibolehkan, tetapi malah beliau menyuruh mereka untuk shalat
pada waktunya, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
132 - وَعَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا -
«أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ بِنْتَ جَحْشٍ شَكَتْ إلَى رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - الدَّمَ، فَقَالَ: اُمْكُثِي قَدْرَ مَا كَانَتْ
تَحْبِسُك حَيْضَتُك، ثُمَّ اغْتَسِلِي فَكَانَتْ تَغْتَسِلُ لِكُلِّ صَلَاةٍ»
رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
- وَفِي رِوَايَةٍ
لِلْبُخَارِيِّ: " وَتَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلَاةٍ "، وَهِيَ لِأَبِي دَاوُد
وَغَيْرِهِ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ
132. Dari Aisyah RA, bahwasanya Ummu Habibah binti Jahsy
pernah mengadu kepada Rasulullah tentang darah, beliau bersabda,
“Berhentilah (dari shalat) selama haidh menghalangimu, kemudian
mandilah.” Maka dia pun mandi setiap akan melaksanakan shalat.” (HR. Muslim)
dalam riwayat Al Bukhari, “Dan berwudhulah pada setiap
shalat.”
Riwayat ini disebutkan oleh Abu Daud dan yang lainnya dengan
sanad yang berbeda.
ـــــــــــــــــــــــــــــ
Ummu Habibah pernah menjadi istri
Abdurrahman bin Auf. Anak perempuan Jahsy ada tiga orang, yaitu: Zainab Ummul
Mukminin, Hamnah dan Ummu Habibah, dikatakan bahwa ketiganya biasa istihadhah.
Al-Bukhari menyebutkan bahwa sebagian dari Ummahat Al-Mukminin ada yang keluar
darah istihadhah, jika benar perkataan Al-Bukhari itu, maka di antara tiga orang
itu adalah Zainab. Para ulama telah menghitung perempuan yang biasa keluar darah
istihadhah pada masa hidup Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallatn
jumlahnya ada sepuluh orang.
"Pernah mengadu kepada Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam tentang darah, maka beliau bersabda, "Berhentilah
(dari shalat) selama haidh
menghalangimu (yaitu sebelum mengalirnya darah
terus menerus) kemudian mandilah
(yaitu mandi sehabis masa haidh) maka diapun mandi setiap
akan melaksanakan shalat (yaitu tanpa ada perintah dari Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk berbuat demikian)."
Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim. Dalam
riwayat lain milik Al-Bukhari, "Dan berwudhulah pada setiap shalat." Riwayat ini adalah milik Abu Dawud dan yang lainnya dari jalur
lain.
Hadits tersebut sebagai dalil yang menunjukkan bahwa
perempuan yang keluar darah istihadhahnya dikembalikan kepada salah satu
ciri-cirinya, yakni kebiasaan haidhnya. Ciri-ciri itu diketahui dan dapat
dikenal lewat kebiasaan haidhnya sebelum keluar darah istihadhah, atau sifat
darah yang berwarna hitam yang sudah dikenal, atau kebiasaan lamanya haidh bagi
perempuan lainnya baik enam atau tujuh hari, atau mulai datang dan berakhirnya
haidh. Semuanya telah jelas dalam hadits yang menjelaskan
tentang darah istihadhah, bahwa jika hal itu terjadi berarti haidh telah mulai.
Maksudnya, bisa dikenal berdasarkan dugaan kuat, bukan berdasarkan keyakinan
pasti, baik dia memiliki kebiasaan atau tidak, sebagaimana yang dipahami dari
hadits-hadits - yang menyebutkannya secara mudak, tidaklah yang dimaksudkan
kecuali yang menimbulkan dugaan bahwa itu adalah haidh. Seandainya tanda-tanda
itu banyak, maka akan semakin kuatlah dugaan
itu.
Kemudian ketika timbul dugaan kuat akan habisnya masa haidh,
maka wajib baginya mandi, kemudian berwudhu untuk setiap kali akan shalat, atau
menjamak shalat dengan jamak shuri dengan sekali mandi. Sekarang timbul pertanyaan, apakah boleh melaksanakan jamak shuri
dengan sekali wudhu? Masalah ini tidak ada nash-nya, hanya saja, cara
semacam itu sudah maklum akan kebolehannya pada setiap orang.
Adapun masalah; apakah perempuan yang keluar
darah istihadhahnya boleh melakukan shalat sunnah dengan wudhu shalat fardhu?
Masalah ini juga juga didiamkan, dan para ulama berbeda pendapat dalam masalah
ini semua.
133 - وَعَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ - رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا - قَالَتْ: «كُنَّا لَا نَعُدُّ الْكُدْرَةَ وَالصُّفْرَةَ بَعْدَ
الطُّهْرِ شَيْئًا» . رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَأَبُو دَاوُد، وَاللَّفْظُ
لَهُ.
133. Dari Ummu Athiyah RA, ia berkata, “Kami tidak menganggap
sesuatu yang keruh dan berwarna kuning itu setelah suci sebagai haidh.” (HR. Al
Bukhari dan Abu Daud dan lafazh hadits menurut Abu Daud)
[Al Bukhari 326, Abu Daud
307]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Biografi Perawi
Ummi Athiyah, namanya adalah Nusaibah binti
Ka'b. Ada yang mengatakan binti Al-Harits, beliau dari golongan Anshar.
Ia ikut dalam bai'at Aqabah dan termasuk shahabiyah yang
terkemuka. Ia turut serta bersama Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam peperangan, bertugas merawat yang
sakit dan mengobati yang terluka.
Penjelasan Kalimat
"Kami tidak menganggap sesuatu yang keruh
(yakni, yang membuat warna air keruh dan kotor) dan berwarna kuning (yaitu, air yang dilihat oleh perempuan
kuning seperti nanah) setelah suci (yakni, setelah
melihat gumpalan putih dan kering) sedikitpun
(yakni, kami tidak menganggapnya haidh)."
Tafsir Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan
Abu Dawud dan lafazh tersebut miliknya.
Ucapan Ummu Athiyah "Kami pernah",
menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Ada yang mengatakan
sama dengan hadits yang bersambung sanadnya hingga Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam, karena yang dimaksudkan adalah, kami pada masa Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam, dengan sepengetahuannya, maka menjadi
taqrir (pengakuan) beliau. Ini menurut pendapat Al-Bukhari dan ulama
hadits lainnya, karenanya ia
bisa dijadikan hujjah.
Hadits tersebut menjadi dalil tidak adanya
hukum pada darah yang tidak kental dan berwarna hitam yang sudah dikenal, maka
tidak dianggap haidh setelah dia melihat gumpalan itu. Ada yang mengatakan, ia
seperti benang putih yang keluar dari rahim setelah berhentinya darah haidh atau
setelah keringnya, yaitu keluar apa yang menempel pada dinding rahim dalam
keadaan kering.
Adapun yang dapat dipahami dari ucapannya, "Setelah suci",
yakni, dengan salah satu dari dua perkara, bahwa sebelumnya yang kotor dan
keruh itu dianggap sebagai sesuatu (haidh), mengenai masalah ini terdapat
perbedaan di antara para ulama yang sangat terkenal dalam masalah-masalah
furu'iyah.
134 - وَعَنْ أَنَسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -،
«أَنَّ الْيَهُودَ كَانَتْ إذَا حَاضَتْ الْمَرْأَةُ فِيهِمْ لَمْ يُؤَاكِلُوهَا،
فَقَالَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ
إلَّا النِّكَاحَ» . رَوَاهُ مُسْلِمٌ
134. Dari Anas , “bahwasanya orang-orang Yahudi apabila
perempuan haidh, maka mereka tidak mau makan bersamanya, maka beliau SAW
bersabda, “Lakukanlah segalanya kecuali nikah (bersetubuh).” (HR.
Muslim)
[Muslim: 302]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Syarah Hadits
Hadits tersebut menjelaskan maksud
ayat,
{قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي
الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ}
"Katakanlah, "Haidh itu adalah suatu
kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu
haidh." (QS. Al-Baqarah: 222), bahwa yang diperintahkan untuk menjauhi wanita-wanita (yang sedang
haidh) dan larangan mendekatmya adalah larangan mencampurinya. Yakni, jauhkan
dirimu dari mencampurinya dan jangan mendekatinya untuk mencampurinya. Sedangkan
perbuatan lainnya seperti makan bersama, duduk bersama, berbaring bersama,
semuanya itu boleh.
Biasanya orang-orang Yahudi tidak mau tinggal serumah dengan
istrinya yang sedang haidh, tidak mau bergaul dengannya dan tidak mau makan
bersamanya, sebagaimana dijelaskan oleh hadits yang diriwayatkan oleh
Muslim.
Adapun bersenang-senang dengan mereka, telah
dibolehkan oleh hadits di atas dan hadits berikut ini:
135- وَعَنْ «عَائِشَةَ - رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهَا - قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - يَأْمُرُنِي فَأَتَّزِرُ، فَيُبَاشِرُنِي وَأَنَا حَائِضٌ» . مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ.
135. Dari Aisyah berkata, Rasulullah menyuruhku
mengikat kain, lalu beliau merapat denganku sedangkan aku sedang haidh.
(Muttafaq alaih)
[Al Bukhari 300, Muslim
293]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Tafsir Hadits
Yaitu beliau menempelkan kulitnya ke kulitku di bagian tubuh
di balik kain, hadits tersebut tidak secara tegas menjelaskan bahwa beliau
bersenang-senang dengannya, melainkan hanya menempelkan kulit dengan kulit.
Bersenang-senang dengan yang terdapat di antara lutut dan
pusar dibolehkan oleh sebagian ulama, alasannya adalah sabda beliau,
“Lakukanlah segalanya kecuali nikah (bercampur)", itu yang
dapat dipahami dari hadits ini. Sedangkan yang lainnya
mengatakan makruh, dan yang lainnya mengatakan haram, dan pendapat pertamalah
yang lebih tepat berdasarkan hadits tersebut.
Adapun jika seseorang mencampuri istrinya ketika sedang
haidh, sesunggguhnya ia telah berbuat dosa, tetapi tidak wajib baginya hukuman
apa pun. Ada yang mengatakan wajib baginya bersedekah
berdasarkan hadits beikut ini:
136 - وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا - «عَنْ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فِي
الَّذِي يَأْتِي امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ - قَالَ: يَتَصَدَّقُ بِدِينَارٍ، أَوْ
بِنِصْفِ دِينَارٍ» رَوَاهُ الْخَمْسَةُ، وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ وَابْنُ
الْقَطَّانِ، وَرَجَّحَ غَيْرُهُمَا وَقْفُهُ.
136. Dari Ibnu Abbas tentang orang yang mencampuri istrinya
yang sedang haidh, beliau SAW bersabda, “Dia harus bersedekah satu dinar atau
setengah dinar.” (HR. Khamsah) Al Hakim dan Ibnu Al Qaththan menilai
haditsnya shahih, sedangkan yang lainnya menilai mauquf pada Ibnu Abbas.
[Shahih: Abu Daud 264]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Tafsir Hadits
Hadits tentang masalah ini ada beberapa
riwayat, dan ini salah satu di antaranya. Perawi-perawinya terdapat dalam
Ash-Shahih, di samping itu riwayatnya mudhtharib (hadits yang
diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad
dengan matan yang kontradiksi). Asy-Syafi'i berkata, "Kalau hadits ini benar,
niscaya akan aku jadikan sebagai hujjah." Penulis
mengatakan, "Idhthirab (kegoncangan) dalam hadits tersebut baik sanad
maupun matannya banyak sekali."
Orang yang mengatakan wajib bersedekah adalah Al-Hasan dan
Sa'id, tetapi mereka mengatakan bahwa orang tersebut mesti memerdekakan budak
berdasarkan analogi pada orang yang mencampuri istrinya pada siang hari
Ramadhan. Yang lainnya mengatakan, dia mesti
bersedekah satu dinar atau
setengah dinar. Al-Khaththabi berkata, "Mayoritas ahli ilmu mengatakan tidak ada
sesuatu pun baginya", karena mereka mengira bahwa hadits ini mursal atau
mauquf.
Sedangkan Ibnu Abdi Al-Barr mengatakan, "Alasan orang yang
mengatakan tidak wajib adalah karena idhthirab-nya. hadits ini, sedangkan
hukum asal adalah terlepas dari kewajiban, karena itu tidak boleh dikatakan
wajib bersedekah kepada orang yang miskin dan yang lainnya, kecuali dengan dalil
yang tidak bisa dibantah dan tidak cacat, sedangkan dalam masalah ini tidak ada
dalilnya."
Saya katakan, "Orang yang menyatakan shahih, seperti Ibnu
Al-Qaththan, sesungguhnya ia telah memperhatikan betul dalam mentashhihkannya,
dan ia membantah adanya cacat pada hadits itu, pendapat ini diakui oleh Ibnu
Daqiq Al-'Id dan diperkuatnya dalam kitab Al-Iimam, maka tidak ada
halangan untuk mengamalkan hadits itu.
Sedangkan orang yang menganggapnya tidak shahih, seperti
Asy-Syafi'i dan Ibnu Abd Al-Barr, mereka beralasan bahwa pada asalnya lepas dari
tanggungan, maka tidak ada hujjah yang dapat menghilangkannya.
137 - وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ - رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: «قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - أَلَيْسَ إذَا حَاضَتْ الْمَرْأَةُ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ»
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، فِي حَدِيثٍ طَوِيلٍ.
137. Dari Abu Sa'id Al Khudri, “Rasulullah bersabda,
“Bukankah wanita itu bila haidh tidak boleh shalat dan
puasa.” (Muttafaq alaih dalam hadits yang panjang)
[Al Bukhari 304, Muslim
298]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Lanjutan hadits tersebut adalah,
فَذَلِكَ مِنْ
نُقْصَانِ دِينِهَا
'Yang demikian itu adalah kekurangan agamanya",
Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar dengan lafazh,
«تَمْكُثُ اللَّيَالِيَ مَا تُصَلِّي، وَتُفْطِرُ
فِي شَهْرِ رَمَضَانَ، فَهَذَا نُقْصَانُ دِينِهَا»
'Dia berhenti beberapa malam tidak shalat dan tidak
berpuasa di bulan Ramadban, itulah yang dimaksud dengan kekurangan agamanya.
[Muslim 79]
Tafsir Hadits
Itu adalah hadits yang memberikan pengertian
penetapan beliau padanya untuk meninggalkan shalat dan puasa, keduanya tidak
wajib baginya. Para ulama sudah sepakat bahwa wanita tidak wajib melaksanakan
shalat dan puasa ketika masih haidh, dia hanya wajib
meng-qadha puasa
berdasarkan dalil lainnya.
Adapun tidak bolehnya wanita yang sedang haidh masuk masjid
berdasarkan hadits,
«لَا أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلَا
جُنُبٍ»
"Aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita yang haidh dan
junub", hadits ini telah dibahas sebelumnya. [Dhaif: sudah dijelaskan
kedhaifannya]
Wanita yang haidh juga tidak boleh membaca Al-Qur’an
berdasarkan hadits dari Ibnu Umar secara marfu',
«وَلَا تَقْرَأُ الْحَائِضُ وَلَا الْجُنُبُ
شَيْئًا مِنْ الْقُرْآنِ»
“Wanita yang haidh dan junub tidak boleh membaca
sedikitpun dari Al-Qur’an, meskipun mengenai hadits tersebut terdapat
pembicaraan. [Dhaif: At Tirmidzi 131]
Demikian pula dia tidak boleh menyentuh
mushaf Al-Qur'an, berdasarkan hadits Amr bin Hazm, yang sudah dijelaskan
sebelumnya bersama penguatnya.
Hadits-hadits tersebut tidak kurang dari penetapan hukum
makruh bagi setiap masalah tersebut, meskipun hukumnya tidak mencapai tingkat
haram, karena hadits-hadits tersebut masih diperdebatkan sanadnya, sedangkan
maksud-maksud lafazhnya tidak jelas mengharamkannya.
138 - وَعَنْ «عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى
عَنْهَا - قَالَتْ: لَمَّا جِئْنَا سَرِفَ حِضْت، فَقَالَ النَّبِيُّ - صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - افْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ، غَيْرَ أَنْ لَا
تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي» . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، فِي حَدِيثٍ
طَوِيلٍ.
138. Dari Aisyah RA, ia berkata, “Ketika kami sudah tiba di
Sarif, aku haidh, lalu Nabi SAW bersabda, kerjakanlah segala aktivitas yang
dikerjakan oleh orang yang sedang haji, kecuali thawaf di Ka’bah sampai kamu
suci.” (Muttafaq alaih, dalam hadits yang panjang)
[Al Bukhari 305, Muslim
1211]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
"Ketika kami telah sampai
(yaitu pada tahun haji Wada’ Aisyah melaksanakan Ihram bersama
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam) di Sarif
(nama satu tempat yang terletak antara Makkah dan Madinah) aku haidh, lalu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"Kerjakanlah segala aktivitas yang dikerjakan oleh orang yang sedang haji,
kecuali thawaf di Kabbah, sampai kamu suci"
Muttafaq Alaih, dalam hadits
panjang, yaitu dalam hadits tentang sifat (praktek) haji
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Tafsir Hadits
Dalam hadits tersebut terkandung dalil yang menunjukkan bahwa
wanita haidh sah mengerjakan semua aktivitas haji, kecuali thawaf di baitullah
dan itu sudah disepakati para ulama. Akan tetapi, terdapat
perbedaan pendapat tentang alasannya. Ada yang mengatakan karena syarat thawaf
harus suci. Ada juga yang mengatakan karena wanita yang haidh dilarang memasuki
masjid.
Adapun mengenai shalat sunnah Thawaf dua rakat, sudah
diketahui, bahwa keduanya tidak sah melakukannya, karena keduanya berkaitan
dengan thawaf dan kesucian.
139 - وَعَنْ «مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ - رَضِيَ
اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ -، أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ -: مَا يَحِلُّ لِلرَّجُلِ مِنْ امْرَأَتِهِ، وَهِيَ حَائِضٌ؟ فَقَالَ:
مَا فَوْقَ الْإِزَارِ» . رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَضَعَّفَهُ.
139. Dari Muadz bin Jabal , “Bahwa dia pernah bertanya
kepada Rasulullah SAW, ‘Apa yang halal bagi lelaki terhadap istrinya yang sedang
haidh?’ beliau menjawab, “Segala yang di atas kain.” (HR. Abu Daud dan
dia sendiri menilai hadits lemah)
[Dhaif: Abu Daud 213]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Biografi Perawi
Mu'adz adalah Abu Abdurrahman Mu'adz bin
Jabbal Al-Anshari Al-Khuzraji. Salah seorang yang mengikuti Baiah Al-Aqabah
dari kaum Anshar. Beliau ikut serta dalam perang Badr dan peperangan
lainnya. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
mengutusnya ke Yaman sebagai hakim dan guru, diserahi tugas untuk
mengumpulkan zakat dari para pekerja di Yaman, beliau termasuk shahabat yang
mulia dan alim. Beliau juga pernah diangkat oleh Umar untuk
menjadi gubernur di Syam menggantikan Abu Ubaidah. Beliau meninggal dunia karena
terserang wabah kolera pada tahun 18 H. Ada yang mengatakan tahun 17 H, dalam
usia 38 tahun.
Ia pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam, "Apa yang halal bagi lelaki terhadap isterinya
yang sedang haidh?" Beliau menjawab, "Segala
yang di atas kain."
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, dan dia sendiri menilainya
lemah, dia mengatakan, "Tidak kuat."
Tafsir Hadits
Hadits tersebut sebagai dalil diharamkannya
berdempetan kulit tubuh pada tempat kain, yaitu tubuh antara pusar dan lutut.
Hadits tersebut bertentangan dengan hadits, "lakukanlah segalanya kecuali nikah (bercampur)" telah dijelaskan sebelumnya, dan hadits tersebut lebih shahih dan
lebih rajih dari hadits Mu'adz ini. Andai penulis menggabungkan kedua hadits
tersebut maka lebih baik. Masalah ini sudah dibahas sebelumnya, dalam hadits
dari Aisyah, dia berkata, "Beliau menyuruhku, lalu aku memakai
kain."
140 - وَعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ - رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهَا - قَالَتْ: «كَانَتْ النُّفَسَاءُ تَقْعُدُ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ -
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بَعْدَ نِفَاسِهَا أَرْبَعِينَ يَوْمًا» .
رَوَاهُ الْخَمْسَةُ إلَّا النَّسَائِيّ، وَاللَّفْظُ لِأَبِي دَاوُد. وَفِي لَفْظٍ
لَهُ: وَلَمْ يَأْمُرْهَا النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -
بِقَضَاءِ صَلَاةِ النِّفَاسِ. وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ.
140. Dari Ummu Salamah RA, “Biasanya wanita-wanita yang nifas
pada masa Rasulullah SAW duduk (tidak shalat) setelah nifasnya selama 40 hari.
(HR. Khamsah, kecuali An Nasa'i, dan lafazh ini adalah milik Abu Daud).
[Hasan Shahih: At Tirmidzi 139, Abu Daud
311]
Dan di dalam lafazhnya, “Dan Rasulullah SAW tidak menyuruhnya
meng-qadha’ shalat selama nifas.” Dishahihkan oleh Al Hakim.
[Hasan: Abu Daud
312]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Tafsir Hadits
Sekelompok ulama menilai hadits tersebut
dha'if, An-Nawawi mengatakan, sekelompok ulama fiqh mengatakan hadits ini
lemah dan tidak bisa diterima. Tapi hadits ini punya syahid yaitu hadits
Ibnu Majah dari Anas, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda,
«أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - وَقَّتَ لِلنُّفَسَاءِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا إلَّا أَنْ تَرَى الطُّهْرَ
قَبْلَ ذَلِكَ»
"Beliau menetapkan waktu
bagi para
wanita yang nifas selama
40 hari, kecuali jika dia melihat suci sebelum itu.” [Dhaif sekali: Ibnu Majah 655]
Dan bagi Al-Hakim dari Utsman bin Abi
Al-Ash,
«وَقَّتَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - لِلنِّسَاءِ فِي نِفَاسِهِنَّ أَرْبَعِينَ يَوْمًا»
"Rasulullah menetapkan masa bagi para
wanita dalam nifasnya 40 hari.”[1]
Hadits-hadits ini saling menguatkan antara
satu dengan yang lainnya.
Hadits tersebut juga menunjukkan bahwa darah yang keluar
setelah melahirkan hukumnya berlanjut sampai 40 hari, selama itu perempuan yang
nifas tidak boleh shalat dan puasa. Sekalipun hadits itu tidak
menjelaskan demikian, tapi dapat dipahami dari dalil lainnya.
Hadits Anas memberikan pengertian bahwa
wanita-wanita itu bila sudah melihat suci sebelum 40 hari, berarti dia telah
suci, dan hal ini tidak ada batas minimalnya.
_____________
[1] Berkata Adz Dzahabi dalam At-Talkhish Al
Mustadrak no 624: ‘Abu Bilal Al Asy’ari meriwayatkan secara sendirian dari Ibnu
Syihab, jikan sanad darinya selamat, maka statusnya mursal shahih, karena Al
Hasan tidak mendengar dari Utsman bin Abul Ash. (ebook editor)